Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Vertigo

17 Mei 2010   05:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:10 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hartanti sempoyongan mendekap perutnya yang meluap mual. Tertatih mundur merayap ke pojokan berusaha meredam pusaran dalam kepala yang terus membuat ruangan sempit itu berputar-putar di matanya. Para penghuni sel lainnya memperhatikan dengan seksama. Kuatir perempuan itu mengotori lantai dengan muntahannya. Ya, hanya itu! Hartanti membatin dengan nyeri. Tak ada lagi yang peduli pada kesehatan, apalagi perasaannya.

Dia bukan lagi Hartanti Bayunegoro yang membawahi sebuah konglomerasi dengan omset fantastis yang selalu meningkat dari waktu ke waktu. Produk-produk andalannya tak mungkin tidak diperlukan setiap kepala di republik ini. Laba yang berlipat dari modal produksi tak terdeteksi para konsumen jelata yang dininabobokan harga retail murah dan iming-iming hadiah langsung ratusan juta rupiah KALAU BERUNTUNG! Ah, itu paling menelan dua-tiga persen saja dari total keuntungan bersih yang diraup. Strategi bisnisnya yang handal telah menghasilkan jaringan silaturahmi mutualistis dengan pihak berwenang di berbagai level lintas instansi. Beberapa RUU pun telah sukses menjadi UU sebagai bentuk win win solution untuk memperluas area pemasaran beberapa produk yang ‘sedikit bermasalah’ dengan bahan pengawet dan pewarna buatan yang disinyalir memicu kuantitas radikal bebas penyebab kanker.

“Setiap orang punya potensi kanker dalam keadaan dorman’, Hartanti mendoktrin jajaran humasnya, “Radikal bebas yang berlebihan akan membangunkannyadan membuat orang kena kanker, tapi produk kita baru bisa memicu kanker kalau dikonsumsi terus-menerus setiap hari sebanyak empat-lima bungkus.”

Lalu Hartanti membeberkan fakta tambahan bahwa uang jajan senilai dua ribu lima ratus rupiah setiap hari pastilah terlalu mewah untuk anak-anak yang orangtuanya mulai sering makan nasi aking. Perlu menunggu beberapa hari bagi anak itu untuk dapat membeli lagi produk mereka. Selama masa penantian itulah zat pengawet memegang peranan.

Dan seperti kasus-kasus sebelumnya, hasil briefing akan diolah sedemikian rupa oleh para staf humasnya untuk dijadikan topik obrolan saat jamuan makan malam yang digelar untuk menghormati Bapak Anu. Banyak kesepahaman yang bisa dicapai dalam setiap irisan steak dan tegukan wine. Perusahaan yang sangat menghargai kerja keras Bapak Anu tersebut akan menyalurkan bentuk aspirasinya melalui beasiswa yang akan ditransfer ke rekening anaknya yang sedang kuliah di Melbourne. Produk perusahaan pun leluasa membanjiri pasaran dan kontroversi radikal bebas cukup menjadi sebuah wacana yang segera saja terlupakan.

Begitu lancar dan menyenangkan, tak pernah meleset dari rencana. Hartanti mengenang sembari menyandarkan diri ke dinding kusam di belakangnya. Mengatur napas satu-satu mencoba menghalau perputaran nyeri yang menghujam otaknya. Saat ini mestinya dia tengah menikmati hanami bersama para penduduk Kyoto sembari lesehan di bawah pohon sakura menyantap sushi dan minum sake. Kalau saja Rahadian brengsek itu tidak mengacaukannya!

Rahadian Mangkudiningrat yang dinikahinya lima tahun silam dengan berbagai pertimbangan yang matang. Melewati berbagai perhitungan weton rumit yang melibatkan seorang ahli pawukon kepercayaan kedua orangtua Hartanti yang berdarah biru dan kukuh menjalankan tradisi leluhur mereka. Terlahir pada hari Rabu Kliwon membuat Hartanti memiliki wuku Maktal. Cantik, terampil berbicara, cerdik, dan kedudukan tinggi yang diraih bersamaan dengan limpahan harta adalah paket keberuntungan hidupnya dalam terawang ahli pawukon itu.

“Pantangannya adalah perselisihan”, sang ahli bertutur dengan suara dalam, “Semua bentuk perselisihan atau permusuhan besar dengan siapa pun mesti dihindari karena bisa jadi kenaasan hidup.”

Maka dari beberapa calon menantu yang diajukan, ayah-ibu Hartanti menjatuhkan pilihan pada Rahadian yang dinilai paling rendah potensinya memicu konflik dengan Hartanti. Bibit, bebet, lan bobot-nya sangat memenuhi syarat. Kedua orangtua lelaki itu bergelar bangsawan serta sukses secara finansial lewat investasi properti. Rahadian sendiri tampan, pandai bergaul, dan menyandang titel master. Hanya saja di anak-emaskan sebagai satu-satunya cah lanang di antara sepuluh cah wadon menumpulkan daya juang dan mengikis ambisinya. Rahadian lebih suka menikmati clubbing atau pesiar bersama segerombolan teman ketimbang memikirkan strategidiversifikasi usaha. Dia merasa sudah cukup puas dengan menjadi penerus dan mempekerjakan staf yang direkomendasikan orangtuanya untuk menjalankan bisnis. Selama tak ada kerugian yang mencolok, semua baik-baik saja bagi Rahadian.

Ketika mereka dipertemukan, tak ada keluhan yang berarti. Hartanti yang secara wuku berlambang kayu Negari memanglah sosok yang cantik, tak sulit bagi Rahadian untuk menyukainya. Sebaliknya Hartanti menilai Rahadian juga tidak akan memalukan untuk sesekali mendampinginya dalam acara-acara sosial. Yang terpenting lelaki itu terlihat mudah diatur. Jadi dia bisa memberikan cucu yang diidam-idamkan orangtuanya tanpa mengganggu kenikmatannya membesarkan perusahaan. Ayah dan ibu Hartanti juga yakin, calon mantu yang anak manja itu pastilah tak akan cari gara-gara dalam perkawinan mereka selama kesenangannya tak diusik. Jadi Hartanti tak perlu berhadapan dengan keapesannya.

Pernikahan dengan resepsi mewah pun digelar. Bulan madu yang sukses disusul kelahiran anak pertama. Roda kehidupan yang lancar dan makmur terbentang di depan mata. Hartanti dengan kemampuan manajemennya yang tanpa cela memfasilitasi semua kegemaran suaminya dan Rahadian cukup tahu diri untuk tidak mengomentari gaya hidup teragenda istrinya. Sang buah hati yang masih orok pun mendapat perawatan maksimal tim pengasuh yang bekerja di bawah supervisi seorang dokter anak dengan bayaran tinggi. Ah, begitu lancar dan menyenangkan, sebersit senyum mengembang di bibir Hartanti yang masih belum beranjak duduk di pojok sel.

Sampai suatu malam di tengah kenyamanan berbincang dengan seorang teman di klab, ponsel Rahadian berdebam-debam dalam sakunya. Suara panik baby sitter menggelontarkan segalon kecemasan yang nyaris membuat leher lelaki itu tercekik. Membuatnya setengah kesetanan memacu mobil ke rumah.

Sekar yang baru berumur dua tahun tergolek lunglai dalam boks. Pipi tembamnya yang menggemaskan memerah dihajar demam. Tubuh kecilnya itu menggigil tak beraturan, mulut Sekar meracau tak jelas. Begitu lemah, begitu tak berdaya, dan Rahadian tiba-tiba saja didera ketakutan luar biasa. Dia meraih Sekar ke dalam dekapannya lalu dengan dengan emosi bergolak menginterogasi baby sitter. Terbata-bata wanita malang itu menjelaskan bahwa dokter sudah dipanggil dan obat pun sudah diberikan tapi kondisi Sekar malah memburuk, makanya dia perlu izin Rahadian untuk membawa bocah itu ke rumah sakit yang dirujuk dokter.

Pertama kalinya seumur hidup, Rahadian dipaksa menjalani prosesi yang memeras habis ketahanan mentalnya. Tak mudah memasukkan jarum infus ke lengan Sekar yang begitu kecil. Setelah beberapa kali uji coba yang membuat bocah itu menjerit-jerit barulah akhirnya urat darah yang pas ditemukan. Isak lirih anaknya begitu memilukan sebelum akhirnya Sekar terlelap karena kecapekan.

Ingatan akan sepasang mata jernih Sekar, gelak tawa dan celotehnya yang lucu makin menancapkan perasaan bersalah di lubuk hati Rahadian. Keseimbangan batinnya goyah. Belum pernah dia merasakan betapa laparnya dia akan kehadiran seorang teman. Seperti saat ini, Hartatilah yang pertama melintas dalam ingatannya. Dengan tangan masih gemetaran, dia melakukan panggilan ke ponsel istrinya yang tengah melakukan lawalan bisnis di Ottawa.

“Ada apa, mas?” jernih dan manis seperti biasanya suara Hartati, “Aku sedang persiapan meeting, ndak bisa ngobrol lama-lama.”

“Sekar diopname,” mendadak Rahadian merasa pilu, “Dia demam tinggi dan menjerit-jerit waktu diinfus tadi…” lelaki itu kehilangan kata.

“Halo, mas?” sapa Hartanti memutus jeda yang cukup lama, “Aku mesti pergi, jangan kuatir soal Sekar karena rumah sakit itu bagus, dia pasti sembuh.”

“Sekar masih kecil, jeng. Dia butuh kita.” Rahadian tiba-tiba saja mengeras, “Sekali ini aku minta, delegasikan tugasmu pada staf dan segera pulang.”

“Maaf, dua hari lagi aku baru bisa pulang.” Hartanti tak kehilangan kelembutannya meski dongkol dengan nada memerintah Rahadian.

Lelaki itu memutus percakapan dengan putus asa sekaligus geram. Kehadiran para kakek dan nenek belakangan ini tak jua bisa memupus keperihan Rahadian. Kejadian menyedihkan itu ingin ia bagi dengan seseorang, tapi bahkan Hartanti sekalipun menolak berada di sisinya. Rahadian tak punya nyali untuk mengontak teman-temannya yang notabene tak ada pertalian apapun dengan Sekar.

Kepahitan itu kian terasa saat Hartanti kembali sesuai jadwal dan menanggapi dengan ringan sesuatu yang bagi Rahadian adalah sebuah tragedi. Sekar akhirnya sembuh dan makin dalam saja mencuri hati ayahnya dengan segala keluguan yang menggemaskan. Rahadian kini semakin banyak meluangkan waktu menemani Sekar minum susu dan bermain. Mereka berdua kerap mengunjungi arena permainan atau sekedar mencari barang lucu di mall. Rahadian bahkan mengenalkan Sekar pada kelompok sosialnya. Tak sulit bagi putri mungil semanis Sekar untuk menjadi idola para om dan tante.

Hartanti pun sesuai kebiasaannya menunjukkan perhatian pada Sekar dengan limpahan gaun lucu, boneka mahal dan apa saja yang bisa ditukar dengan uang. Hidup pun kembali lancar dan menyenangkan seperti semula.

Sampai malam itu menjelang pukul dua belas, Hartanti pulang ke rumah berbekal otak yang penat dan mendapati Rahadian duduk di ruang tengah menunggunya.

“Tumben, mas. Nggak ke klab?” Hartanti mencium pipi suaminya.

“Lagi bosen aja.” Rahadian menatap wajah cantik yang terlihat capek itu, “Maaf, kamu pasti lelah. Tapi ada yang mesti kubicarakan karena besok pagi-pagi sekali diajeng pasti sudah berangkat.”

“Ndak apa-apa, mas. Silahkan.” Hartanti kini menghadapkan wajah ke arah suaminya.

“Besok ulang tahun Sekar…”

“Jangan kuatir soal itu, sudah kusuruh stafku mengatur pesta ultah anak kita di Hotel Kumala.” Hartanti memberondong sembari tersenyum manis, “Undangan sudah disebar seminggu lalu dan sekalian bagi santunan buat yatim piatu.”

Rahadian ternganga. Manajemen kerja efektif Hartati terdengar begitu menakutkan.

“Kok aku ndak diajak ngomong?”

“Mas terima rapih aja, pokoknya besok kita bertiga senang-senang, oke?” Hartanti mengerdipkan sebelah matanya sambil beranjak pergi, “Aku mandi dulu ya, mas?”

Rahadian tak berkutik. Keinginannya mengajak Hartati untuk merayakan ulang tahun Sekar bertiga saja, buyar sudah. Tapi naluri kebapakannya yang mulai bersemi tak sudi dilindas begitu saja.

Terjadilah insiden itu, Sekar dan Rahadian menghilang tepat dua jam sebelum pesta digelar. Ponsel lelaki itu dimatikan sehingga Hartanti betul-betul kehilangan kontak. Meski panik dan murka, Hartanti tahu the show must go on perfectly!

Hartanti tampil prima dalam pesta yang melibatkan banyak selebritis sebagai pengisi acara maupun sebagai tamu undangan. Tak ada segurat pun emosi negatif yang melintas di wajah cantik dalam balutan make up yang sempurna itu ketika keberadaan Sekar dan Rahadian dipertanyakan para pelipur infotainmen.

“Pesta ini adalah perwujudan rasa syukur bagi segenap handai tolan dan sekaligus berbagi kasih dengan teman-teman Sekar dari panti asuhan,” Hartanti bertutur mantap, “Selesai acara ini saya akan bergabung dengan Sekar dan ayahnya untuk perayaan khusus bagi kami bertiga,” seulas senyum manis andalannya terkembang menutup sesi wawancara.

Pesta usai dan Hartanti menghempaskan diri di jok belakang sedan. Dia mengomando supir seraya melakukan panggilan ke ponsel Rahadian. Mailbox pun bertalu-talu. Hartanti menggeram pelan. Gambaran keluarga bahagia yang ingin dijualnya ke publik untuk menaikkan citra positif dirinya terbang sudah disapu angin ribut.

Menjelang senja, celoteh ramai Sekar mengusik Hartanti yang tengah berbaring dengan kepala pusing di lantai atas. Entah kenapa tiba-tiba saja dia sudah setengah berlari menuruni undak-undak, merenggut paksa Sekar dari gendongan Rahadian dan membuat bocah cilik itu menjerit-jerit ketakutan. Tak terima buah hatinya diperlakukan kasar, Rahadian balik merebut Sekar dan menampar Hartanti.

Keheningan menelikung cukup lama. Hartanti dan Rahadian sama-sama shock. Sekar sesenggukan dalam dekapan ayahnya. Sepercik api meletup, membesar, lantas mendidihkan darah Hantarti. Dia, yang selalu diperlakukan penuh hormat dan kehati-hatian disamakan dengan seekor nyamuk oleh seorang anak mami. Perasaan terhina membuat pengusaha sukses itu gemetaran, pandangannya kabur, dan sekuat tenaga Hartanti bertahan untuk tidak jatuh menangis. Dia membelalak ke arah Rahadian lalu berbalik naik ke kamarnya. Tak sepatah kata pun terucap, namun dendam di balik kabur air mata Hartanti membuat Rahadian bergidik.

Perang dingin bersambung dengan pisah ranjang. Tak ada konflik terbuka. Keseharian berjalan sebagaimana mestinya. Sekar akhirnya masuk taman kanak-kanak sesuai arahan Hartanti. Sesekali Rahadian mengantar-jemput putri kesayangannya itu. Hartanti juga menyediakan waktu untuk hadir dalam pertemuan orangtua murid. Semua terlihat lancar dan menyenangkan.

Lantas suatu malam, Rahadian memohon hak biologisnya sebagai suami yang telah lumayan lama terabaikan namun Hartanti mengabaikannya. Lelaki itu memutuskan untuk sedikit memaksa tanpa tahu bahwa istrinya itu pemegang Dan II karate. Satu pukulan di dagu dan tendangan menyamping membuat Rahadian terjungkal. Hartanti berlalu meninggalkan lelaki itu dengan ego Cassanova-nya yang babak belur. Perempuan sialan!

Dendam bukan lagi milik Hartanti seorang, keperkasaan yang dilecehkan membuat Rahadian berpikir untuk balas meng-K.O, sasarannya adalah cinta sejati Hartanti. Perusahaannya.

Pikiran itu membuat Rahadian jadi bergairah mengurusi pengelolaan investasi properti yang diserahkan orangtua padanya. Dia belajar cepat pada pendidik professional yang direkomendasikan ayahnya. Targetnya menghancurkan Hartanti pada ulang tahun perkawinan mereka yang kelima.

Rahadian bermain di pasar saham dengan meminjam tangan bidak-bidak kepercayaannya dan mulai melakukan pemborongan terstruktur saham-saham perusahaan Hartanti yang sudah go public.

Lalu dia juga bermain api dengan jomblo empat puluh tahun yang menjadi tangan kanan Hartanti. Pendekatan yang manis dan santun membuat gadis pekerja keras itu bertekuk lutut. Keluh-kesah hiperbolis Rahadian tentang deritanya sebagai suami tertindas membuat wanita itu bersimpati dan secara sukarela menjadi kaki tangan Rahadian.

Maka mulailah fase penuh teror dalam karir Hartanti. Rentetan kalah tender beruntun disusul akuisisi perusahaan dan puncaknya skandal korupsi Bapak Anu yang diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi telah menyeret Hartanti ke meja hijau. Data permainan uang Hartanti yang terindikasi melanggar hukum terpapar rinci hitam di atas putih. Kesaksian para staf kepercayaan di bawah sumpah membuat tim pengacara Hartanti tidak berkutik dan wanita itu mesti rela digelandang masuk bui.

Setelah sekian bulan berlalu, tiba-tiba saja Rahadian datang menjenguk. Sipir memberi mereka ruang tertutup untuk bicara empat mata. Rahadian menjulurkan tangan mengajak bersalaman dan Hartanti menyambut. Mendadak pergelangan tangan Hartanti ditarik kencang hingga tubuh wanita itu meluncur deras ke dalam dekapan Rahadian. Aroma wangi maskulin yang meruap dari tubuh atletis lelaki itu membuat kepala Hartanti melayang. Hangat napas Rahadian membelai wajah ketika lelaki itu menunduk ke arahnya, Hartanti secara refleks memejamkan mata.

Namun ciuman Rahadian tak kunjung sampai. Ketika membuka mata, Hartanti mendapati seringai mengejek di wajah suaminya itu. Dengan penuh amarah, Hartanti mendorong kuat-kuat Rahadian sampai punggung lelaki itu membentur meja. Dia berlalu meninggalkan pintu berdebam di belakangnya.

Lelaki sialan! Dia benci sekali pada Rahadian. Tapi harum tubuh, dekapan bertenaga, dan kehangatan bibir lelaki itu sungguh menggoda. Gairah yang telah dia kubur dalam-dalammenyeruak bangkit perlahan, memicu pusaran yang tak kunjung henti menyakiti kepalanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun