[caption id="attachment_113079" align="aligncenter" width="700" caption="Nur Rahmat SN dalam monolog "][/caption] Seorang sahabat yang biasa dipanggil ‘Wok’ pada 28 Mei 2011 Sabtu kemarin dulu mengadakan acara makan-makan untuk merayakan jatah hidupnya yang berkurang satu tahun. Sis dan istrinya sepakat mempercayakan menu syukuran pada rumah makan ‘Selamat’di Cilangkap milik Uni Hilda yang selama ini sukses menggoncang air liur jamaah Facebookiyah dengan posting foto-foto hidangannya.
[caption id="attachment_113080" align="alignleft" width="383" caption="Keakraban lintas usia di meja makan"][/caption] Rute ajaib resto Padang ini membuat para tamu undangan termasuk empunya hajat harus rela ‘mencari jejak’ via ponsel atau membuntuti angkot untuk tiba di lokasi. Yah. ‘ajaib’ karena meski terletak di pinggir jalan raya ternyata acara nyasar dan berputar-putar harus dilakoni oleh 13 dari 16 pengunjung, termasuk yang sudah bertandang ke sana lebih dari dua kali. Bahkan Sis sekeluarga sebagai penyandang hajat harus terima nasib muncul di tempat paling belakangan dan menjadi bahan gurauan teman-temannya.
Perut lapar karena dibawa berputar-putar akhirnya terhibur dengan belaian Gulai Kepala Kakap yang gurih dan lembut dagingnya, sensasi tendangan pedas Dendeng Kopasus yang berbalur cabe merah dicincang kasar, rendang sapi yang kering berserat, ikan bakar, dan Sop Iga yang dagingnya empuk dengan kuah bening segar. Es teh atau jus jambu dingin menemani acara makan yang diramaikan dengan bincang-bincang akrab sesekali saling meledek satu sama lain di antara kawan-kawan yang berbeda usia, profesi, dan status ini. Jeruk dan manggis disajikan sebagai pencuci mulut sebelum potongan-potongan kue tart mocca menyempurnakan jamuan makan siang ini. Tentu saja acara foto bersama pun merupakan menu wajib untuk mengabadikan momen yang kental nuansa kekeluargaan ini. Sabtu malamnya saya membuntuti Uni Hilda ke markas Bengkel Teater yang merupakan rumah keluarga besar budayawan besar almarhum WS Rendra yang terkenal dengan julukan Si Burung Merak di Cipayung-Depok. Ada kenduri kelahiran anak salah satu cantrik di sana sekaligus pertunjukan drama monolog Cermin karya pentolan Teater Koma, Nano Riantiarno, yang digelar di aula padepokan. Pertunjukan sudah lebih dari separuhnya berjalan saat kami merayap dalam kegelapan aula setelah melepas sandal di pintu masuk. Berjingkat melewati kerumunan pengunjung lain yang dalam situasi minim cahaya itu lebih menyerupai sekumpulan siluet yang sesekali merespon olah peran yang tengah berlangsung di atas panggung kayu di hadapan mereka. Bergabung dengan penonton yang duduk lesehan beralas tikar di bagian depan dan mencoba fokus searah lampu sorot yang menerangi panggung utama. Seorang lelaki berpostur tegap, berkostum kaos dancelana gombrang serba hitam, dengan rambut ikal panjang yang di sana-sini telah memutih mendominasi arah pandang penonton. Dengan suara lantang dan artikulasi-intonasi teatrikal dia, yang belakangan saya ketahui bernama Nur Rahmat SN, bicara tentang seorang Su yang telah melahirkan tiga anak baginya. Sembari duduk; kadang bersila, selonjor, atau sesekali mencangkung; Nur seakan tengah bercakap-cakap dengan seorang teman imajiner yang berada di sampingnya. Tentang cintanya yang begitu dalam dan obsesif pada Su, tentang bagaimana dia begitu menyayangi bayi yang baru dilahirkan oleh wanita itu yang ditunjukkannya dengan bangkit berdiri dan menimang bayi imajiner sembari terus menggumam tentang betapa manis mahluk mungil itu bahkan saat mengencingi dirinya. Sesekali terjadi dialog singkat dengan empat sosok wanita berkostum serba hitam ditambah secarik kain batik lebar tersampir di bahu yang duduk berjajar di panggung kedua tepat di belakang Nur. Keempat wanita ini berfungsi mirip sinden dalam pertunjukkan wayang kulit yang lebih banyak menyanyi dan sesekali menyahuti omongan sang dalang.Hanya saja pada sebuah adegan mereka berempat berdiri dan menari mengelilingi Nur. Keseluruhan adegan dibingkai oleh alunan musik yang terkesan unik di kuping penonton awam macam saya. Gebrakan kendang, liukan suara seruling, mendayunya melodi saluang, plus sederet alat lain entah apa membaur dalam harmoni dengan petikan gitar dan hentakan sener drum. Pada sebuah segmen, Nur menari ala Tayuban dan mengundang nyonya rumah Bengkel Teater, Ken Zuraida, untuk menemaninya di panggung. Begitu selendang disampirkan ke bahu dengan luwes istri ketiga almarhum WS Rendra itu mengimbangi gerakan joget Sunda Nur yang disambut tepuk tangan dan gumam pujian para penonton. Monolog berlanjut dengan serangkaian adegan dimana Nur menyelingi pembicaraan yang dilakukannya sambil berdiri dengan beberapa kali menusuk sosok-sosok imajiner menggunakan belati khayalan di tangannya. Lalu pukulan drum menghentak seiring kian meningginya volume paduan alat musik (mirip klimaks lagu 'heavy metal'), Nur jatuh terpuruk dan melakukan head bang dengan gerakan cepat kemudian musik terhenti, dia duduk dengan kepala tertunduk terkubur dalam lebat rambutnya. Beberapa saat kemudian diiringi gemuruh musik seluruh lampu dipadamkan dan dalam gelap gulita itu teriakan nyaring setengah putus asa keluar dari mulut Nur,"Cahaya!Cahayaa...cahaayaaaaaa." Keheningan dipecah hentakan drum, semua lampu menyala, segenap pendukung drama berdiri di panggung utama memberikan penghormatan yang disambut applaus simpatik para penonton. Monolog pun usai. Setelah menyimak diskusi singkat paska monolog yang secara umum berisi pujian terhadap performa Nur Rahmat SN dan menikmati bubur merah-putih manis beraroma jahe, kami meninggalkan aula untuk menjenguk bayi yang kelahirannya diselamati dengan kenduri tadi sore. Padepokan yang sangat rimbun dengan aneka pepohonan tempat angin bermain-main menawarkan kesejukan di gerahnya Depok malam ini. Sebuah pondok kecil yang terdiri atas ruang tamu merangkap tempat menginap bagi teman yang berkunjung dan kamar tidur utama yang mungil dengan kasur digelar di lantai. Sosok bayi mungil yang cantik tertidur pulas di balik juntaian kelambu yang membentenginya dari serbuan nyamuk. Kembali ke ruang tamu, terlibat perbincangan dengan tiga cantrik Bengkel Teater dan seorang tamu mereka, cowok yang memiliki gaya rambut a la Mohawk plus cincin logam yang terlihat berat menggandul di kedua telinga serta sekujur tubuh dipenuhi pahatan tato berbagai motif. Pendul, begitu dia menyebut diri, memang seorang seniman pembuat tato profesional yang untuk menato tubuh ukuran kurang dari sejengkal mengenakan tarif Rp.350,000. Sekilas dia bercerita tentang masa kecilnya yang kerap dihajar sang bapak bila mabal shalat di mesjid sementara yang menyuruhnya malah tak pernah ke mesjid, bagaimana rasa sukanya terhadap tato telah berawal sejak masih duduk di bangku SMP tak perduli betapa ayah-ibunya menentang, dan saat diusir karena dianggap kelewat bandel, dia pun hengkang. Bertualang sembari mempelajari cara membuat tato secara otodidak, kini Pendul telah memiliki salon tato di Cirebon. Pernikahan yang kandas meninggalkan seorang anak yang kini berada di bawah asuhan orangtuanya. Penghasilan besar juga diperolehnya dengan menjual lukisan-lukisan dalam berbagai pameran yang digelar dan itu sukses mengubah sudut pandang orangtuanya. Kini setiap akan pameran, mereka berdoa untuk kesuksesannya.
[caption id="attachment_113081" align="aligncenter" width="300" caption="Pendul (kanan) beraksi..."][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H