Alhamdulillah, sejarah Kongres Pemuda yang digelar pada 28 Oktober 1928 serta Sumpah Pemuda yang menjadi produknya masih belum terhapus dari ingatan kita. Lalu meski tak semeriah jaman dahulu kala; di tengah curahan kasih sayang edukatif Rabb dalam bentuk banjir bandang di Wasior, Tsunami di Mentawai, dan letusan Gunung Merapi; ada juga sebagian kecil dari kita yang masih bersemangat merayakannya.
Salah satu konsekuensi logis dari era globalisasi adalah kian tergerusnya nilai-nilai orisinal domestik sebuah bangsa karena terjadinya proses asimilasi dengan nilai-nilai impor dari budaya bangsa-bangsa lain. Istilah simpelnya ‘mendunia gitu, lho!’ Segala macam potensi regional diolah sedemikian rupa agar memiliki tempat dalam pergaulan maupun pasar internasional. Apa itu suatu hal yang buruk? Ah, tidak selalu begitu juga…
Soalnya fenomena di atas akan –suka atau tidak- memacu kita untuk lebih kreatif menggali dan memoles warisan budaya leluhur yang selama ini dibiarkanbulukan tak tersentuh perhatian sepantasnya. Sampai tiba suatu saat menteri kebudayaan dari negeri antah berantah, entah mendapat wangsit darimana, sekonyong-konyong memaklumatkan bagian dari tradisi kita sebagai ‘milik’ bangsanya. Kalau diingat-ingat dalam kurun dua tahun terakhir ini, kasus seperti itu sudah pernah kita alami beberapa kali…
Sukuisme yang acapkali melahirkan tawuran antar kelompok-kelompok yang berlainan etnis, idealnya diarahkan pada kompetisi sehat memoles dan ‘menjual’ produk budaya leluhur untuk mendongkrak pendapatan nasional yang selama ini senantiasa dirundung defisit bertabur carut-marut hutang luar negeri yang seolah tak kunjung habis.
Sukuisme jenis ini pula yang potensial dijadikan alternatif pemasok devisa selain ekspor tenaga kerja sektor domestik. Variasi suku bangsa yang sangat kaya di Indonesia ini sudah saatnya dihargai sebagai aset untuk lebih memakmurkan bangsa ini di bidang intelektual, cultural, dan finansial.
Sisi intelektual bisa diawali dengan secara serius menggalakkan penelitian profil semua suku bangsa yang ada di negeri ini, terutama kekayaan bahasa dan tradisi etniknya untuk diinventarisir, dipublikasikan secara ilmiah, disosialisasikan secara populer, dan didokumentasikan secara layak.
Sementara sisi cultural bisa dieksploitasi dengan melakukan seleksi sekaligus pemberdayaan pada sisi budaya etnik yang positif dan mengandung muatan nilai-nilai universal kemanusiaan. Dengan begitu pelestarian budaya akan berlangsung dengan sendirinya.
Lalu sisi finansial berwujud komersialisasi produk-produk etnik yang memiliki nilai pakai tinggi dalam kehidupan sehari-hari; baik berbentuk perlengkapan dapur, piranti kamar mandi, dan sejenisnya maupun berupa perbendaharaan karya-karya seni untuk memuaskan selera estetika yang tinggi akan kreasi seni adiluhung.
Saat semua wacana di atas dapat direalisasikan, maka dengan penuh pemahaman kita dapat mengulang sumpah yang pernah dicetuskan tokoh-tokoh pergerakan nasional yang notanene nenek moyang kita puluhan tahun silam :
‘Kami putra dan putri Indonesia mengaku
Bertanah air SATU, tanah airINDONESIA
Berbangsa SATU, bangsa INDONESIA
Berbahasa SATU, bahasa INDONESIA’
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H