Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Selamat Hari Tani Nasional Nan Kerontang...!

24 September 2011   02:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:40 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

[caption id="attachment_136968" align="aligncenter" width="680" caption="Seorang petani Rowosari, Kendal Jawa Tengah, yang mencabuti padinya yang mengering./Admin (KOMPAS.com/k9-11)"][/caption] Hari Tani Nasional yang jatuh pada 24 September 2011di tengah musim kemarau yang tengah berlangsung sekarang ini, sepertinya akan lewat begitu saja tanpa gembar-gembor atau prosesi layaknya sebuah hari besar. Profesi petani dan dunia pertanian yang kian tersingkir dari perhatian bangsa, termasuk pemerintahnya, ini memang seakan memperjelas masa depan bangsa kita yang selalu menerima dengan terbuka dicekoki berbagai produk impor bahkan sampai ke urusan perut. Mungkin tak ada yang perduli pada fakta dari Biro Pusat Statistik (BPS) yang mencatat 44 persen atau sekitar 46,7 juta angkatan kerja Indonesia berprofesi sebagai petani dan tergolong dhuafa di pedesaan (Republika, 23 September 2011). Kebijakan pemerintah yang sering tak berpihak pada mereka ditambah kebijakan masyarakat yang, dengan berbagai alasan,menganak-emaskan produk pertanian impor kian menyudutkan posisi tawar para petani sampai nyaris ke titik nadir. Apalagi untuk menghasilkan panen berbagai komoditas ternyata para petani kita tercinta harus menggunakan alat dan fasilitas buatan 'luar' juga. Luar biasa,di pasar bahkan sampai ke ladang sendiri, mereka harus menerima nasib sebagai kaum terjajah. Kebijakan yang berbasis pengembangan industri yang 'sukses' menyulap berbagai lahan pertanian subur negeri ini menjadi pabrik atau perkantoran selama satu dasawarsa terakhir sepertinya perlu ditinjau kembali. Sekilas pandang ruko-ruko berlantai banyak yang kosong melompong sepi pengunjung di area perkotaan yang dulunya merupakan hasil 'sulap paksa' pedesaan agraris sudah menunjukkan semacam kejenuhan pola ekstensifikasi ruang industri. Lebih baik stop pembuatan lahan industri baru, maksimalkan pemanfaatan fasilitas mubazir yang sudah terlanjur dibangun,lalu beri porsi perhatian yang lebih besar pada sektor pertanian kita. Lantas bagaimana dengan klaim Kementrian Pertanian RI yang menyatakan Nilai Tukar Petani (NTP) terus meningkat dalam dua tahun terakhir ini, yakni dari 101,39 (Juni 2010) menjadi 105,11 (Agustus 2011), menurut data BPS ? Klaim yang dipajang dalam iklan di beberapa suratkabar itu juga menjelaskan bahwa peningkatan NTP identik dengan perbaikan kesejahteraan petani. Sebenarnya apa sih yang dimaksud NTP itu? Nilai Tukar Petani adalah angka perbandingan antara indeks harga yang diterima  petani dengan indeks harga yang dibayar petani yang dinyatakan dalam persentase. Indeks harga yang diterima petani adalah indeks harga yang menunjukkan perkembangan harga produsen atas hasil produksi petani. Indeks harga yang dibayar petani adalah indeks harga yang menunjukkan perkembangan harga kebutuhan rumahtangga petani, baik itu kebutuhan untuk konsumsi rumahtangga maupun kebutuhan untuk proses produksi pertanian. Sedikit membingungkan juga darimana angka NTP itu mereka peroleh karena harga sembako di pasaran yang merupakan bahan pangan harian petani cenderung kian melambung jauh melebihi tingkat kenaikan harga penjualan produk pertanian yang diterima. Tapi karena data statistik diolah berdasarkan hasil wawancara dengan para responden, maka perlu dipertanyakan petani kalangan mana yang terpilih sebagai sampel pengambilan data. Lagi pula data NTP itu bakal sangat terkoreksi oleh fakta bahwa musim kemarau yang beberapa pekan terakhir ini sudah menyebabkan lahan persawahan di Jawa Barat seluas 37 ribu hektar dengan 13 ribu di antaranya mengalami kondisi puso (padi hampa) hingga dipastikan gagal panen dan dalam tataran nasional,sampai Agustus 2011, tercatat 95, 891 hektar tanaman padi mengalami kekeringan. Bisa dipastikan indeks harga yang diterima petani bakal merosot tajam karena panen gagal dan tak ada komoditas yang bisa dijual. Musim kemarau yang sebenarnya berlangsung relatif teratur ternyata tak membuat para pemimpin negeri ini 'ngeh' menyiapkan infrastruktur yang berfungsi baik. Bayangkan saja hingga saat ini (Republika, 23 September 2011) Indonesia baru memiliki 284 bendungan besar yang hanya mampu mengairi sekitar 800 ribu hektar atau 11 persen saja dari total 7,5 juta hektar lahan beririgasi teknis,padahal APBN sektor pertanian untuk tahun ini tercatat sebesar Rp 17 Triliun. Jadi bayangkan saja bagaimana nasib lahan-lahan lain yang mengandalkan curahan air hujan dan irigasi sederhana untuk dapat berproduksi. Apapun, Selamat Hari Tani, Para Petani Indonesia Tercinta...setidaknya kami masih bisa berdoa untuk kesejahteraan kalian dan bangsa ini juga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun