Soal jumlah, Alhamdulillah, umat Islam tetap merupakan mayoritas di dunia namun bagaimana soal prestasi dan sumbangsihnya bagi kehidupan? Ada baiknya kita kembali menafakuri salah satu perang di era Rasulullah Saw yang terjadi tak lama setelah peristiwa Futuh Mekah (penaklukan Mekah), yakni Perang Hunain.
Saat itu pasukan Muslimin yang berjumlah kurang lebih 12 ribu orang berhadapan dengan tentara Yahudi yang berkekuatan setara, Kondisi itu sangat kontras bila dibandingkan dengan Perang Badar (624 M), dimana kaum Muslimin yang berjumlah 313 orang harus berhadapan dengan 950 orang pasukan Quraisy dengan persenjataan lengkap. Bila pada Perang Badar pasukan Muslimin yang minoritas mampu memukul mundur secara telak pasukan Quraisy, maka pada Perang Hunain kaum Muslimin justru nyaris mengalami kekalahan. Apa yang sebenarnya terjadi?
Kaum Muslimin yang terjun bertempur di Perang badar adalah para pengikut awal Rasul Saw yang telah diuji habis-habisan melalui serangkaian intimidasi fisik keji, isolasi dari pergaulan sosial, pemboikotan, dan perampasan hak-hak asasi secara semena-mena yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy. Tidak heran bila kualitas keimanan, ketabahan, ketangguhan fisik, dan kejamaahan alias kerjasama di antara mereka betul-betul unggul hingga Allah Swt berkenan menurunkan pertolongan hingga mereka mampu meraih kemenangan (perhatikan QS Ali Imran, 3:123 – pen.).
Sementara mereka yang berlaga di Perang Hunain merupakan gabungan antara kelompok assabiqunal awwalun (mereka yang lebih dahulu masuk Islam) dengan para mualaf yang baru memeluk Islam setelah Futuh Mekah. Kelompok terakhir inilah yang dengan mengedepankan logika tentang perimbangan jumlah tentara hingga melahirkan takabur – kesombongan dan melupakan hakikat bahwa segala peristiwa hanya akan terjadi sesuai kehendak Allah Swt. Akibatnya pasukan muslimin mengalami kekalahan pada serangan pertama; tanpa pertolongan Sang Maha Perkasa melalui kelompok assabiqunal awwalun yang senatiasa memelihara hablumminallah mereka sebaik-baiknya; maka mustahil bala tentara Islam dapat meraih kemenangan saat itu.
Perhatikan pernyataan Allah Swt seputar kondisi Perang Hunain,”… dan (ingatlah) peperangan Hunain; yaitu ketika kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas ini terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan tercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan pada rasulNya dan kepada orang-orang yang beriman, dan allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya…”(QS At-Taubah, 9:25-26).
Bukankah apa yang terjadi saat Perang Hunain juga tengah melanda dunia Islam sekarang ini? Kekurangajaran Israel menginjak-injak harga diri bangsa Palestina di depan hidung negara-negara Islam hanyalah seujung kuku bukti yang menunjukkan rapuhnya kejamaahan di antara sesama umat Islamdan rendahnya kualitas keimanan yang dimiliki hingga gertakan AS yang acapkali terlindung di balik label PBB mampu meredam itikad baik untuk menolong saudara seiman yang terzalimi. Kemiskinan yang mencengkran mayoritas Muslim telah membuat bumi yang sangat luas ini menciut menjadi sebuah tempurung kelapa yang membuat kita sulit bergerak apalagi membuat manuver-manuver demi kemaslahatan alam semesta. Pada lingkup regional, dalam banyak hal label toleransi yang dipahami secara keliru telah memposisikan umat Islam sebagai pihak yang senantiasa harus mengalah terutama dalam pembuatan kebijakan-kebijakan publik.
Fenomena di atas adalah sebuah resiko wajar yang harus ditanggung pihak yang kalah dalam adu wacana karena berbagai latar belakang, namun kenapa hal itu bisa terjadi? Retorika dari Rabb Azza wa Jalla berikut ini adalah jawabannya :
‘…Katakanlah,’Apakah sama antara orang yang buta dengan orang yang melihat?Apakah kamu tidak memikirkan(nya)?’” (QS Al-An’am, 6:50).
‘…Katakanlah,” Samakah orang yang buta dengan yang dapat melihat?Atau samakah yang gelap dengan yang terang?...’ (QS Ar-Ra’d, 13:16).
‘…Katakanlah,”Samakah orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.’ (QS Az-Zumar, 39:9).
Kunci utama pemecahan masalah-masalah keterbelakangan umat islam adalah ilmu. Allah Swt menitahkan kita untuk memanfaatkan segenap potensi yang telah dianugerahkanNya untuk berpikir dan belajar sebanyak-banyaknya sepanjang hayat masih dikandung badan. Ilmu adalah cahaya yang akan memandu kita pada perbaikan kualitas iman secara menyeluruh, penyempurnaan ibadah, kemakmuran duniawi, dan keselamatan akhirat.
Rasul Saw bersabda,” ‘Apabila melewati taman surga hendaklah engkau duduk di situ. Istirahatlah kamu di situ.’Para sahabat bertanya,’Ya Rasulullah, apa taman surga itu? Nabi menjawab,’Majelis-majelis ilmu.’” (HR Thabrani).
Pada hadis lain Rasul Saw bersabda,”Lukman pernah menasehati anaknya,’Hai anakku, hendaklah engkau sering duduk bersama ulama dan mendengarkan pembicaraan para ahli hikmah karena sesungguhnya Allah akan menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah, seperti Allah menghidupkan bumi yang mati dengan limpahan air hujan.’ “ (HR Thabrani dari Abu Umamah).
Majelis ilmu adalah sekolah-sekolah, kampus, pengajian taklim, seminar, dan semua aktivitas yang berhubungan dengan transfer ilmu pengetahuan yang bermanfaat di berbagai aspek kehidupan. Ulama adalah ustadz, da’i, dan para pakar di bidangnya masing-masing baik yang masih hidup maupun sudah wafat melalui buku-buku atau jurnal-jurnal yang mereka wariskan pada generasi berikutnya. Peninggalan berharga tersebut layak untuk diburu sebagai tambang-tambang ilmu yang harus dieksplorasi semaksimal mungkin manfaat maupun kemaslahatannya.
Mari belajar dan terus belajar agar dapat mengundang pertolongan Rabbul Alamin untuk memenangkan Perang Hunain di era milennium ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H