Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Segenggam Asa dari Sarajevo

5 Mei 2010   03:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:24 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Adzan Magrib mengalun sahdu dari tenda peleton yang telah disulap menjadi mushola darurat di jantung Kamp Pengungsian Bulan Sabit Merah Sarajevo. Lembaran-lembaran plastik tebal menghampari permukaan tanah tak rata yang menjadi alas duduk kaum lelaki di dalamnya. Bocah-bocah, pemuda tanggung, dan para kakek itu pun bersahutan menggumamkan doa sebelum merengkuh botol-botol plastik di hadapan mereka lalu mereguk isinya perlahan-lahan. Sekerat roti ekstra keras menjadi santapan berikutnya. Mereka berjuang untuk mengunyah dan menelannya sembari mengusir bayang-bayang nyala perapian di ruangan yang nyaman bersama segenap anggota keluarga mengudap penganan lezat untuk berbuka puasa setiap harinya sampai ke penghujung Ramadhan. Ada nyeri yang menusuk ke jantung saat angin basah beraroma es menerobos masuk ke dalam tenda, menampar buyar semua lamunan. iqamah dilantunkan dan mereka pun bergegas merapikan diri untuk membentuk shaf-shaf.

Di salah satu sisi kamp, Rayda Krasnic dan ibunya Leyla baru saja menyudahi shalat Magrib ketika mendengar uluk-salam di depan tenda.

“Waalaikum salam”, sahut Rayda sembari menyibak tingkap tenda,”Ada kiriman lagi, Fanjo?”

Pemuda asal Sandzak itu menyerahkan dua kaleng daging kornet. Sekilas Rayda meneliti kemasannya dan bersyukur dalam hati saat menjumpai gambar kepala sapi berikut label halal di atasnya.

“Tetap sehat, ya, Bu Krasnic!” Fanjo menyalami Leyla, ”Sebentar lagi Idul Fitri”, gumamnya dengan pandangan menerawang.

“Insya Allah dua hari lagi, ya, Nak?” Leyla menyahut ramah, “Sudah ada kabar dari orangtuamu?”

Fanjo menghela napas panjang dan menggeleng getir, “Pak Memo juga belum ada beritanya ya, Rayda?” dia berpaling pada Rayda.

Yang ditanya menggigit bibir menahan ngilu yang senantiasa mendera hati setiap kali mendengar nama ayahnya disebut. Ada keheningan yang tidak mengenakan sebelum akhirnya Fanjo berpamitan untuk melanjutkan tugas membagi jatah makanan pada para pengungsi.

Celoteh ramai gadis-gadis sebaya yang meneriakkan namanya menyentak Rayda, bergegas dia merapikan chador, dan mencium tangan bundanya. Setengah berlari dia menyusul teman-temannya menuju tenda mushola. Dia tidak ingin melewatkan tausiyah Ustadz Hussain yang malam ini mendapat giliran memimpin shalat Tarawih. Suaranya yang berat dan tenang saat membawakan bacaan shalat sangat mirip dengan suara ayahnya yang kini entah berada di mana. Melintas begitu saja dalam ingatan Rayda saat-saat terakhir kebersamaan mereka…

Sore itu gemuruh konvoi kendaraan tempur terdengar memasuki kawasan distrik Dobrinja. Enam buah tank dan beberapa truk sarat tentara menderum menggetarkan bumi serta hati para penghuni distrik yang tersisa. Tentara-tentara berseragam loreng dengan emblem kemiliteran Serbia serta sekelompok preman bersenjata lengkap berhamburan turun dalam posisi siap menyerang lalu dengan satu aba-aba tembakan ke udara mereka berlarian ke segenap penjuru. Semua penghuni distrik digelandang dengan kasar, dikumpulkan di sebuah lapang terbuka.

Leyla Krasnic memekik saat suaminya terjungkal di hajar tumit sepatu bot seorang prajurit berkepala gundul. Terhuyung Memo bangkit dibantu istrinya. Seiris perasaan lega menyelinap karena tadi mereka masih sempat menyembunyikan anak semata wayang mereka, Rayda, di bawah tumpukan barang rongsokan dalam gudang. Kilasan wajah anaknya membuat lelaki tua itu menjadi lebih kuat dari semestinya. Tertatih mereka segera bergabung dengan segenap tetangga dan kerabat yang telah lebih dulu dikumpulkan di pusat distrik. Cakrawala biru cerah yang biasa menaungi kepala mereka tak terlihat lagi. Tertutup kepanikan serta rasa takut yang begitu kental menyatu dengan kebencian dan aura permusuhan dari sosok-sosok yang mengepung mereka.

“Tempat ini harus dikosongkan!” pekik komandan pasukan Serbia itu di megafon,”Kalian diberi waktu tiga jam dari mulai sekarang untuk berkemas!” dan aba-aba ditembakkan kembali ke udara.

Hingar-bingar bentakan para penyerbu membaur dengan langkah tergesa pribumi yang mereka halau. Berbekal panik di sekujur syaraf semua penduduk Dobrinja memburu rumah, mengumpulkan segenap anggota keluarga, dan membawa barang-barang yang mereka nilai cukup berharga sebagai bekal dalam pengungsian. Setibanya di rumah Memo Krasnic segera memburu gudang dan menarik Rayda keluar dari timbunan rongsokan.

“Bersiaplah, kita harus segera pergi!” Leyla setengah menyeret anak gadisnya. Memo mengambil sehelai chador rombeng yang telah diolesi tinja ternak. Dia menyiapkannya beberapa hari lalu setelah mendengar selentingan tentang kedatangan milisi Serbia ke kampung mereka.,

“Cepat kenakan ini!” Leyla menyambar chador itu dari tangan suaminya. Rayda spontan menutup hidung, tangannya bergerak menepis. Bau tinja setengah kering itu membuat perutnya mual. Tapi dengan paksa Leyla melepaskan baju panjang itu melewati kepala anaknya.

“Ini untuk keselamatanmu, nak”, berlinangan airmata di pipi yang mulai berkerut itu saat melumuri muka anaknya dengan jelaga lampu minyak,”semoga Allah melindungi kita”. Kecantikan Rayda lenyap ditelan coreng moreng hitam yang memenuhi wajahnya.

“Kau pakai ini juga, Leyla”, Memo menyerahkan sehelai lagi chador yang berlumur kotoran ternak pada istrinya yang tanpa berujar sepatahpun segera mengenakannya. Penutup kepala penuh tambalan melapisi kerudung bersih Leyla dan Rayda. Tubuh tegap lelaki tua itu gemetaran hebat mencoba membendung tangis yang tak urung meledak juga. Ketiga anak-beranak itu berangkulan. Mendadak terdengar gedoran di pintu. Memo melesat ke depan dan bersiaga sambil menyuruh anak-istrinya untuk segera pergi.

“Memo, mereka menangkap Salih!” suara Isa Malkovic di balik pintu membuat Memo bergegas membukanya.

Astagfirullah! Apa katamu ?” Memo mengusap wajah, “Ayo, kita lihat dia!”.

“Mana Leyla dan Rayda?” Isa melonggokkan kepala, “Kemana mereka?” Memo bagai disengat listrik, bergegas dia kembali ke gudang. Tak ada seorangpundi sana. Pintu gudang terkuak lebar, berderak-derak dipermainkan angin …. .

Malam telah rebah sempurna ketika rombongan warga Dobrinja yang terusir dari kampung halamannya itu tiba di dekat hotel Bristol – Sarajevo. Saat meninggalkan Dobrinja jumlah mereka jauh lebih besar dari sekarang. Perjalanan yang terbentang setelah melewati batas distrik bukanlah sebuah tur yang layak dinikmati. Setiap kali melintasi pos penjagaan Serbia, mereka harus mengalami berbagai pemeriksaan yang melecehkan harga diri dan berujung dengan perlawanan dari sebagian anggota rombongan pengungsi. Para penjaga akan menghajar si pembangkang. Atau menembaknya. Lalu mereka bergegas menghalau pergi tanpa hirau jerit-tangis perempuan serta anak-anak yang tercekam kekejian mereka.

Rayida Krasnic menggenggam lengan ibunya erat-erat. Peluh yang membanjiri sekujur tubuh membuat aroma tinja di chador mereka menjadi lebih menyengat. Awalnya itu adalah sebuah siksaan karena tak seorangpun yang mau berada dekat-dekat mereka. Leyla dan Rayda melangkah agak terpisah dari rombongan. Namun ketika di sebuah pos, para Chetnik**) menyeret Meida yang dalam kekisruhan itu paras cantiknya malah menggugah hasrat primitif para penjaga pos. Gadis itu menjerit-jerit, bibinya mencoba mempertahankan dia tapi mereka menghajar kepalanya dengan popor senapan. Darahpun mengalir dari kening yang retak. Seorang lelaki tua tak bisa menahan diri lagi. Bersenjatakan tongkat penopang tubuh, sambil menyerukan kebesaran Allah, dia menyerbu gerombolan binatang buas yang tengah mengerubuti Meida. Saat senapan menyalak berulangkali menumbangkan tubuh bongkok itu, langkah Rayda secara naluriah menderap. Sudah tak tahan lagi dia ingin mencekik leher Chetnik yang dengan begitu entengnya menghamburkan peluru … .

“Subhanallah, nak!” Leyla mencekal pergelangan tangan putrinya kuat-kuat, “Tak ada yang bisa kita lakukan lagi ! Insya Allah, pak Dedic mati syahid …”

“Tapi, bu …”, gadis itu menoleh ke arah Meida yang tengah meronta-ronta dalam pondongan seorang lelaki berseragam. Mereka membawa gadis malang itu ke dalam pos. Nimta serta Melisa adalah korban berikutnya. Keluarga yang mencoba membela mereka diganjar dengan pukulan dan peluru. Ketika Rayda meradang lagi, Leyla merangkulnya sambil sesenggukan, “Kau tidak akan menang! Berjihadlah dalam hati saja”, tangisnya mengeras , “Masa kau tega meninggalkan ibu sendiri, Rayda ?”.

Pengecut, Rayda membatin, kepedulian yang terlalu besar terhadap keselamatan diri sendiri telah melumpuhkan konvoi pengungsi yang sebenarnya berjumlah lebih banyak dari penjaga-penjaga pos itu.

“Bersyukurlah untuk najis ini, nak”, Leyla berbisik ke telinga putrinya,”Dengan ijin Allah, kotoran ini telah melepaskanmu dari gangguan orang-orang itu”, dia bergidik, membayangkan ekspresi ‘lapar’ dua Chetnik yang tadi mendekat ke arah Aida. Jelaga di wajah Rayda telah terhapus keringat, menampakkan lagi keayuannya. Namun mereka surut begitu aroma chador menyentuh penciuman.

Rayda merasa lunglai, teringat betapa kuat penolakannya saat chador itu hendak dikenakan ke tubuhnya. Ayahnya telah berbuat semaksimal mungkin untuk menjaga keselamatan Rayda dan ibunya. Ayah, Rayda membatin, adalah sepasang mata teduh yang menaungi dua tulang pipi yang terpancang kokoh dalam balutan kulit penuh keriput. Bicaranya yang selalu sabar dan tenang menentramkan hati. Ahh, akankah dia bertemu lagi dengan ayahnya ?.

Malam semakin pekat, rombongan pengungsi Dobrinja itu merayap di atas jembatan dekat hotel Bristol ditemani serentet ledakan yang sesekali membahana nun jauh di belakang punggung mereka, Semua berharap segera menyebrang dan mencapai kamp Bulan Sabit Merah yang berada sedikit agak jauh di hadapan mereka. Angin berhembus menggigilkan tulang.

Lengking tangis anak-anak yang kelaparan seolah hendak menggapai lelawa yang beriringan melintasi bulan di cakrawala.

Di ujung jembatan sekelompok orang yang mengenakan emblem bulan sabit yang berwarna merah melihat rombongan yang melata di kejauhan itu. Seseorang segera berlari ke arah kamp, meneriakkan kedatangan pengungsi baru, dan teman-temannya bergegas menyiapkan tempat. Tumpukan barang dihela keluar dari sebuah tenda besar dan sebagai gantinya alas-alas tidur segera dihamparkan. Tadi pagi sebagian pengungsi asal Bosnia Timur telah diangkut dengan truk menuju Rijeka, namun yang tertinggal di kamp inipun masih berjubelan. Tim logistik dibangunkan dan diminta menyiapkan makanan sekedarnya bagi para pengungsi yang baru datang.

Sepuluh hari sudah Rayda dan Leyla di kamp ini. Sementara sebagian besar warga Dobrinja lainnya bersama dengan pengungsi asal Kroasia dan Albania bertebaran ke Austria, Perancis, atau Jerman dengan kendaraan pengangkut seadanya. Aida dan Leyla bertahan di kamp sambil menyibukkan diri sebagai relawan kamp. Mereka masih berharap, Memo Krasnic akan tiba di kamp ini juga suatu hari nanti …

Usai Witir, jamaah saling bersalaman dan relawan membaur bersama pengungsi beriringan meninggalkan tenda mushola. Tinggallah Ustadz Hussain beserta para penanggung jawab kamp duduk membicarakan perkembangan konflik politik yang telah menjerumuskan bangsa mereka ke jurang penderitaan. Betapa tidak, Desember 1992 di Bosnia perang antar etnis telah memasuki bulan ke delapan dan Presiden Alija Izetbegovic yang tengah menduduki tampuk kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan multi-etnis Bosnia disudutkan pada sebuah dilema. Undang-undang pemerintahan Bosnia di satu sisi, mengharuskan adanya pergiliran dalam menduduki kursi kepresidenan di antara ketiga pemimpin etnis Bosnia, Kroasia, dan Serbia. Sementara disisi lain, meski terkesan adil namun sikap agresif tak bersahabat dari etnis mayoritas Serbia yang dimotori pemimpin rasialis Slobodan Milosevic terhadap etnis minoritas Bosnia telah memunculkan kenyataan yang berbeda. Apalagi para pemimpin Kroasia, yang sekarang semestinya mendapat giliran mengendalikan pemerintahan, acapkali melakukan kebijakan oportunis. Walau tidak terang-terangan memusuhi etnis Bosnia tapi secara diam-diam milisi Kroasia menjalin kesepakatan bertukar wilayah kekuasaan dengan milisi Serbia dan meninggalkan warga Bosnia yang masih berada di dalamnya menjadi target pembantaian.

Di tengah gempuran besar-besaran atas instalasi listrik dan air di musim dingin yang membekukan di Sarajevo juga tawaran setengah memaksa dari pihak Serbia untuk membantu mengevakuasi sekitar 380.000 penduduk Bosnia yang masih mendiami bekas ibukota Yugoslavia itu, Izetbegovic memutuskan untuk mempertahankan jabatannya. Tak ada pilihan lain bagi pria malang itu selain statusquo karena dia paham betul tawaran bantuan evakuasi itu hanyalah sekedar taktik licik Milosevic untuk mengosongkan Sarajevo dan kemudian dengan mudah mereka akan menguasainya guna memperluas wilayah pendudukan Serbia. Menjiplak persis ulah Israel di Jalur Gaza.

“Orang-orang Barbar itu berani mengotori Ramadhan!” dokter Ahmed mengepal geram,”Saat kita harus menahan diri, mereka malah terang-terangan menjagal saudara-saudara kita”.

Amarahnya bersambut diamini orang-orang muda yang hadir. Para sesepuh tersenyum bijak saling bertukar pandang penuh pengertian.

“Pada hakekatnya menzalimi orang lain sama dengan menzalimi diri sendiri”, lembut tutur kata Ustadz Hussain, “Tak pernah sia-sia jiwa seorang mukmin di sisi Allah. Bencana alam, persalinan, dan perang semuanya melahirkan kesyahidan”.

Sesaat jeda dalam diam, semua mencoba meresapi petuah sederhana itu. Begitu juga Rayda yang bersembunyi dalam kegelapan di sisi luar tenda. Syahid? Sudah syahid pulakah ayahnya? Matanya terasa panas, Rayda buru-buru menggosokkan lengan chadornya menghalau airmata yang nyaris menetes.

“Rayda, ya?” sapaan lembut itu mengagetkan Rayda.

“Dokter…” malu bukan kepalang dia tertangkap basah sedang menguping.

“Mau berburu lailatul qadar, ya?” Ahmed tersenyum, “Bukannya harus tidur dulu meski sebentar?”

“Anda benar”, Rayda balas tersenyum, mencoba bersikap wajar. Namun toh Ahmed sudah terlanjur memergoki kabut merah sisa tangis di matanya.

“Ayo, kuantar ke tendamu”, dia menjajar langkah Rayda agak renggang di sisinya. Dalam perjalanan Ahmed menyempatkan diri menengok para pengungsi di barak-barak untuk memastikan semuanya terkendali. Rayda tanpa sadar mengekor lelaki itu bahkan membantunya melakukan perawatan pada beberapa pasien.

Tak seberapa jauh dari tenda Rayda, Ahmed berhenti melangkah. Menatap Rayda agak lama seolah ingin memastikan sesuatu,”Barangkali ada yang ingin kau ceritakan?” dia menghembus napasnya ke udara yang licin menggigilkan,”Misalnya, apa yang membuatmu menangis tadi?”

“Ah, itu”, Rayda gelagapan,”Tidak penting, kok!”

“Kau gadis tegar, Rayda”, Ahmed memandang langsung ke mata Rayda,”Mustahil kau menangisi hal-hal sepele”

Rayda bungkam. Kangennya pada ayah tak sudi dia bagi pada siapapun. Juga tikaman cemburu saat menyaksikan Sarah bersama keluarganya yang utuh bercengkrama dalam tenda. Rayda menegakkan kepala dan menjawab tegas, “Semua baik-baik saja, Dok”.

“Pastilah begitu”, Ahmed tertawa lirih melihat ekspresi Rayda, “Doa orang shaum itu makbul apalagi kalau berjodoh dengan lailatul qadar. Jadi seriuslah berdoa, Nona Rayda!”

Ahmed mengantar Rayda pada ibunya dan saat gadis itu melepas kepergiannya, dia menawarkan sesuatu, “Chador atau sepatu baru, mungkin?”

Rayda berterimakasih dan menolak sambil tersenyum manis. Bukan barang baru yang dia dambakan untuk Idul Fitri lusa!

Di penghabisan Ramadhan yang menguras segenap energi, kamp Bulan Sabit Merah disibukkan dengan kedatangan beberapa regu tentara Pasukan Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memboyong sekelompok orang Bosnia dan Kroasia yang terlantar di reruntuhan kota Vraca. Terjebak diantara timbunan salju yang kian membukit. Tanpa api, tanpa persediaan makanan. Mereka ditemukan oleh tim patroli PBB diantara gelimpangan mayat-mayat korban pembantaian tentara Serbia yang telah membeku. Kondisi tubuh para pengungsi ini, beberapa diantaranya adalah bocah balita, sungguh sangat menggenaskan. Dokter Ahmed yang menangani mereka segera menginstruksikan para relawan kamp untuk menyiapkan ransum berupa susu dan bubur yang sangat encer untuk memberi waktu adaptasi bagi sistem pencernaan para pengungsi yang telah cukup lama tidak dimasuki sebutir gandumpun.

Rayda Krasnic serta beberapa gadis relawan lainnya segera merengkuh anak-anak, menggendong mereka ke tenda dapur umum, dan memberikan kesempatan pada orang tua untuk mengurusi diri sendiri. Dengan sabar gadis-gadis belia itu menyuapkan susu serta bubur ke mulut bocah-bocah yang tergeletak lunglai di pangkuan mereka.

Senja telah menggayuti hari yang sesungguhnya teramat panjang di musim dingin ini tapi tak begitu yang dirasakan Rayda saat keluar dari barak seusai mengalihkan perawatan pengungsi pada shift berikutnya. Gontai menghela tubuh yang terasa rengkah saking lelahnya, menuju tenda berharap masih sempat berbaring sekedar melemaskan otot sebelum rombongan pengungsi berikutnya tiba.

Rayda merandek di belakang tenda keluarga Sarah tak sengaja menangkap celoteh bocah yang menanyakan baju untuk shalat besok pada ibunya. Uap napas Rayda terhembus keras memutih di udara, dia merapatkan mantel menghalau beku yang kian menusuk. Idul Fitri mestinya berarti dia, ibu, dan ayahnya bangun pagi-pagi lalu berpakaian rapi memburu lapang distrik bersama penduduk Dobrinja lainnya untuk melakukan shalat hari raya. Yah, itu jauh sebelum mortar-mortir Serbia meluluh-lantakan distrik kelahirannya dan merenggut ayah dari sisinya. Raysda mempercepat langkah dengan perasaan hampa.

Matahari perlahan rebah sempurna menghantar Ramadhan pada puncaknya. Untaian takbir mulai bersahutan saat penanggung jawab kamp melepas kepergian pasukan PBB. Tenda mushola penuh sesak dipadati kegembiraan manusiawi yang ironisnya terasa pahit. Makanan sangat terbatas, baju seadanya, dan tak ada lagi rumah untuk kembali. Dalam penantian hari esok yang begitu kabur, berbekal tubuh jiwa yang lebam memar, hanya Kau-lah satu-satunya harapan yang akan senantiasa hidup mengatasi ruang dan waktu. Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu akbar!

-***-

Catatan :

*) Chador : Baju panjang longgar yang menutupi seluruh tubuh pemakainya.

**) Chetnik : Sebutan untuk orang Serbia sipil bersenjata.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun