Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Radio OZ, RCTI, dan Filosofi Jamban

26 Juli 2011   07:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:22 1140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_125154" align="alignleft" width="300" caption="...lugas,cerdas, dan tajam... (dok WS)"][/caption] Sore itu pelataran kantor CV PASS17 Promotion Services yang terletak di kawasan jalan Batik Kumeli- Bandung nampak pepak dipenuhi mobil-mobil berbagai tipe yang parkir di sana. Resepsionis menyilakan duduk menunggu di meja panjang sebelah tangga karena bos-nya sedang meeting. Senja beranjak malam namun mimik dan gestur sibuk masih terlihat begitu nyata memancar dari sosok-sosok yang hilir-mudik di ruang tamu yang tak seberapa luas itu. Wajar saja karena perusahaan yang berdiri sejak 1999 ini bergerak di bidang pelayanan promosi, event organizer, brand activation, dan production support. Sebuah bidang yang identik dengan produk dan peluncuran iklan tanpa henti untuk menjaring profit dari belanja konsumen itu memang seolah tak menyisakan waktu untuk jeda beristirahat bagi para pelaku bisnisnya.

Resepsionis memberitahukan bahwa Rochsan 'Apuy' Rudyantho Alibasyah (52) sudah menunggu di ruang kerjanya di lantai dua. Perawakan jangkung-rampingnya masih sama seperti saat terakhir kali kami bertemu, hanya saja rambut tebal-agak ikalnya kini telah menipis dan berubah warna. Kang Apuy, begitu dia biasa dipanggil, juga masih mahal senyum dan memiliki sorot mata yang tajam.Keramahan justru terpancar dari gaya bicaranya yang lugas. Puluhan tahun silam anak sulung pengusaha kontraktor dan pemilik pabrik tegel itu bersikeras menolak keinginan almarhum ayahnya yang menginginkan Rochsan menjadi pewaris perusahaan keluarga. Akibatnya dia harus hengkang dari rumah, tunjangan keuangan dihentikan, dan mobil yang sehari-hari digunakan pun ditarik. Sebuah pukulan telak bagi anak muda yang biasa hidup bergaya semi-borju seperti Rochsan namun dia tak sudi menyerah dan mulailah pengembaraannya sebagai awak broadcast bersama Radio OZ yang di era 90-an termasuk salah satu radio papan atas di Bandung. Dia direkrut langsung oleh pemilik radio yang memiliki data dirinya sebagai anggota Menwa Yon II Unpad dan merasa klop dengan kualifikasi yang dimiliki Rochsan. Begitulah dia menggeluti aktifitas broadcast Radio OZ dimulai dengan menjadi Announcer pada tahun 1985 lalu beranjak naik ke posisi Marketing Manager,Operational Manager, dan Off Air Manager hingga tahun 1990. Titik jenuhlah yang mengantarnya menemui Ganjar, pemilik Radio OZ, dan mengutarakan keinginan untuk mengundurkan diri. Dia ditawari untuk mengelola sebuah biro iklan atau event organizer yang akan didirikan

[caption id="attachment_125155" align="alignright" width="300" caption="...titik balik orientasi kehidupan pasca musibah...(dok WS)"]

13116662402092766178
13116662402092766178
[/caption] khusus untuknya, namun Rochsan dengan hormat menolak tawaran itu. Maka selama enam bulan setelah itu, Rochsan harus bertahan hidup dengan mengandalkan uang tabungan yang kian lama kian menipis. Dia pun mulai mengintensifkan pencarian kerja. Televisi swasta pertama di Indonesia, RCTI,adalah target utamanya.

"Sebelum mengajukan lamaran kerja, saya melakukan analisa prosedur."Tutur Rochsan,"Jalur standar mengirim berkas lamaran mungkin hanya akan berakhir dalam tumpukan berkas yang entah kapan akan dibaca oleh staf personalia, belum lagi kalau ada jalur 'titip' alias koneksi bisa tambah tidak jelas nasib saya yang bukan siapa-siapa ini." Rochsan pun memperhitungkan dengan matang peluangnya lalu memutuskan untuk melamar ke RCTI dengan gaya pengajuan proposal pada sponsor sesuai pengalamannya selama bekerja di Radio OZ dulu. Dia menemui temannya yang bekerja di RCTI berbekal berkas lamaran kerja lengkap yang kemudian dipresentasikannya dengan sangat baik hingga beberapa waktu kemudian; dia mendapat panggilan tes berupa wawancara, ujian tulis bahasa Inggris, dan psikotes. Tes terakhir ini bukan termasuk favorit Rochsan karena dia bisa dibilang tak pernah sukses mengikutinya. Namun wawancara akhir setelah psikotes berhasil dilaluinya dan dia dinyatakan lulus sebagai Public Relation Officer. Perubahan pertama yang harus dilakukan Rochsan adalah revolusi penampilan dari gaya kasual kaos-celana jins-sepatu kets menjadi stelan lengkap berdasi plus sepatu kulit saat berada di lingkungan kantor. Urang Bandung ini pun harus beradaptasi dengan kondisi sosial Jakarta yang terkenal mahal dan individualistis. Beberapa hal menarik saat berkiprah di RCTI masih tersimpan dalam benak Rochsan.Misalnya saat awal makan di kantin, kerap kali terdengar percakapan di antara para karyawan semacam,"Lu dibawa sama siapa ke sini?" Seperti diketahui saham kepemilikan RCTI terbagi dalam proporsi tertentu di antara Bambang Trihatmodjo,Halimah, dan Peter Gontha; wajar kalau mereka menyertakan orang-orang kepercayaan masing-masing dalam operasional perusahaan. Selain itu prinsip Halimah, istri Bambang Tri, yang secara tegas menentang poligami telah menuai banyak korban, para suami yang ketahuan beristri dua apalagi lebih pasti dikeluarkan dari RCTI. Setelah menjalani probation alias masa percobaan, Rochsan pun diangkat menjadi karyawan tetap dan selanjutnya meniti berbagai jenjang karirnya di situ. Zsazsa Zulharyahya adalah atasan pertamanya yang mengajari dia disiplin waktu dan berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Lalu dia pun pernah bekerja di bawah arahan Eduard Depari yang mengarahkannya untuk banyak belajar. Banyak pengalaman unik yang dimiliki Rochsan dari berbagai perjalanan dinasnya mengurusi pembangunan pemancar-pemancar baru RCTI di berbagai propinsi, salah satunya di Papua. Dia diikut-sertakan dalam negosiasi harga tanah dengan kepala suku setempat dan di awal pertemuan ditawari makan buah pinang. Selesai mengunyah buah yang 'aduhai' pahitnya itu, kepala suku menanyai Rochsan kalau-kalau dia merasa pusing. Saat dijawab tidak,kepala suku mengatakan itu artinya para leluhur penunggu lahan yang tengah mereka bicarakan telah memberikan lampu hijau. Rochsan menyambut ucapan itu dengan berkali-kali membaca hamdalah dan Al-Fatihah di dalam hati (soalnya kalau nego gagal, maka pertanggung-jawaban ke kantor nantinya bakal sangat berat).Tapi ternyata proses nego tak berakhir di situ,"Semua tanaman bernilai ekonomis yang tumbuh di atas lahan itu dari mulai ubi jalar sampai pohon pinang harus diperhitungkan tersendiri di luar harga tanah." Tentu saja tak ada pilihan selain menyetujuinya.

[caption id="attachment_125157" align="alignleft" width="300" caption="...bisnis dengan filosofi jamban...(dok WS)"]

13116664601421293659
13116664601421293659
[/caption] Pada tahun 1991 Rochsan ditugaskan RCTI untuk membuka dan mengepalai perwakilan di Bandung. Komisi Siaran Daerah Jawa Barat yang diketuai oleh Gubernur dan beranggotakan budayawan, anggota DPR, serta perwakilan unsur masyarakat Jawa Barat lain mengijinkan RCTI beroperasi asalkan ada muatan lokal di dalamnya. Rochsan pun menggandeng dalang kondang saat itu Asep Sunandar Sunarya dan pementasan wayang golek untuk tayangan layar kaca yang inovatif (‘pokoknya beda banget dengan tayangan TVRI’ begitu ujar Rochsan) pun digelar sebagai acara rutin RCTI Bandung.

Sementara itu pernikahannya dengan Rozanna Sukmawati Ginting membuat Rochsan berpikir untuk mencari penghasilan tambahan agar dapat memiliki tempat tinggal yang nyaman. Tahun 1994 dia menerima ajakan temannya untuk mendirikan dan mengelola klub O'Hara Tavern setelah mereka sepakat tidak akan mengusik rutinitas kerjanya di RCTI.Maka begitulah, pulang kantor jam lima sore dan istirahat sebisanya, jam 20.00 Wib Rochsan sudah harus pergi lagi untuk menongkrongi kafe sampai jam 04.00 keesokan paginya. Jam delapan pagi dia sudah harus tiba di kantor untuk menjalankan kewajibannya sebagai karyawan. Bisa dibayangkan bagaimana babak-belurnya Rochsan saat itu, maka setelah kafe berjalan, dia pun meninggalkannya setengah tahun kemudian. Profesionalisme Rochsan dalam bekerja membuat dirinya menjadi incaran untuk dibajak para pemburu tenaga profesional perusahaan. Namun pertimbangan ,"Cicilan rumah belum lunas dan kalau pindah kerja ke tempat yang menawarkan fasilitas sama dengan RCTI ya sama aja bohong, dong, bikin capek aja." membuat Rochsan tidak sembarangan 'meloncat'. Tentu saja itu bukan berarti acara 'kejar setoran' berhenti. Pada tahun 1999,dia mendirikan CV PASS17 untuk mewadahi minatnya pada penyelenggaraan berbagai event. Tahun 2002-2003 dia bekerja rangkap sebagai General Manager Radio Delta FM Bandung dan masih di tahun 2003, dia juga ditawari temannya untuk menjadi dosen luar biasa di Fisip Universitas Pasundan Bandung yang ditekuninya sampai sekarang sebagai sarana mentransfer ilmu yang diperolehnya selama mendalami berbagai pekerjaan. Hasrat kejar setoran Rochsan direm total setelah dirinya mengalami musibah pada tahun 2004 dimana rumahnya dimasuki perampok yang mengangkut habis semua barang berharga yang telah dikumpulkannya selama bertahun-tahun,"Saya jadi kepikiran, jangan-jangan ada hak orang lain yang masih tertahan di sana atau asal harta itu yang tidak jelas halal-haramnya apalagi saya pernah mengelola klub yang identik dengan minuman keras." Ujar Rochsan yang memutuskan untuk mengikhlaskan semuanya dan merintis lagi dari awal dengan cara yang menurutnya jauh lebih benar di mata Rabb Azza wa Jalla. Rochsan juga menegaskan keprihatinannya tentang nasib malang para TKI di luar negeri sembari mempertanyakan kenapa harus melangkah jauh-jauh ke mancanegara hanya untuk menjadi PRT atau pengasuh bayi, padahal di Indonesia banyak pasangan ekspatriat yang membutuhkan housekeeper untuk menata rumah atau nanny untuk mengasuh anak-anak mereka. Bukan hanya mereka, rumah tangga kelas elit yang kini tersebar di segenap pelosok juga memiliki kebutuhan yang sama. Rochsan mengangankan sebuah lembaga pendidikan nirlaba yang mau mengajari para TKW seputar masalah pemeliharaan rumah maupun pengasuhan anak secara profesional dan menyalurkan mereka bekerja dengan gaji yang proporsional sesuai keahlian. Dia juga prihatin dengan keengganan generasi muda saat ini untuk berwiraswasta karena tak punya modal atau takut rugi,"Padahal bisnis tuh mestinya disikapi seperti orang yang kebelet buang hajat pagi-pagi,nyeruduk masuk kamar mandi, setelah 'plong' baru kepikiran belum bawa handuk atau peralatan mandi...nah, di situ baru mulai berpikir dan akhirnya melakukan tindakan, minta bantuan orang lain untuk mengambilkan handuk atau alat mandi."Papar Rochsan,"Jadi bisa mandi, kan? Kerjakan saja dulu hal yang diminati sebaik mungkin,nanti modal atau fasilitas lainnya pasti datang sendiri."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun