Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pointilisme 'Tak Sengaja' Pelukis Chandra Maulana

30 Januari 2017   07:22 Diperbarui: 31 Januari 2017   17:09 1271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pointilisme pun terlihat dalam dekorasi studio Chandra (dok WS)

“Saya baru tahu kalau lukisan saya termasuk aliran pointilisme itu dari Bu Miranda Goeltom waktu beliau hadir di pameran tahun  2006…” Tutur Chandra Maulana (52) dalam perbincangan santai di Studio deDada miliknya di kawasan perumahan Puri Bintaro, Tangerang, beberapa waktu lalu (23/1).

Pada momen pameran bersama yang digelar di sebuah hotel berbintang lima di Jakarta tersebut Miranda, saat itu masih menjabat Deputi Gubernur Senior BI, jatuh hati pada salah satu lukisan Chandra yang berjudul  In Waiting lantas membelinya untuk dijadikan koleksi. Selanjutnya Miranda pun bercerita sekilas tentang Georges-Pierre Seurat, pelukis aliran post-impressionisme  di akhir abad 19 asal Perancis yang  tercatat pertama kali menggunakan teknik melukis dengan cara ‘menutul-nutulkan’ titik-titik warna pada kanvas untuk memunculkan obyek tertentu dan akhirnya populer dengan sebutan teknik pointilisme itu.

Eksplorasi mewarnai kanvas dengan sapuan kuas, palet, bahkan jari dilakoni Chandra sebelum akhirnya berjumpa dengan pointilisme yang paling nyaman dijadikan media mencurahkan  perasaan dan emosi yang bergolak dalam diri,”Awalnya pake ujung kuas untuk menutul-nutul warna tapi jadinya tidak efisien karena bulu-bulu kuas hanya bisa digunakan menutul 2-3 titik terus dicelup cat untuk digunakan lagi …” Belakangan dia memilih  cotton buds yang lazimnya digunakan untuk membersihkan telinga sebagai pengganti kuas,”Daya serap catnya lebih bagus, saya bisa membuat zona titik yang lebih luas dan lukisan bisa selesai lebih cepat.” Ujar Chandra sembari buru-buru menambahkan bahwa itu tergantung   mood juga.

Aroma cat minyak bundanya, Tuti Halimah, semasa dia masih balita merupakan impresi awal yang menjadi benih passion melukis dalam diri suami Karin Kapitan itu,”Ibu selalu menghalau saya saat mendekati kaleng-kaleng catnya … mahal, katanya.” Chandra menyeringai jenaka seraya berkisah bahwa kesibukan sang ibu mendampingi ayahnya, Karman Somawidjaja, yang berprofesi sebagai pegawai negeri membuat dia bisa menikmati atmosfir kepelukisan di lingkungan keluarga tempat dia dititipkan sementara menanti orangtuanya pulang.

Bundanya memang memiliki ikatan keluarga dengan dua pelukis terkemuka Indonesia, yakni (alm) Angkama Setjadipradja yang merupakan pensiunan Lektor Kepala Seni Rupa ITB dan (alm) Popo Iskandar yang fenomenal dengan obyek lukisan deformatif kucing-nya. Periode pertama bertumbuhnya benih passion  Chandra terjadi dalam kebersamaan masa kecilnya dengan keluarga besar Angkama yang selain dikenal karena dedikasinya sebagai pendidik sekaligus seniman multi talenta, juga karena konsistensi membimbing istri beserta sebelas anaknya dalam kiprah berkesenian, terutama melukis. Seiring perjalanan waktu lahirlah karya pertamanya yang diberi judul  White on White ,”Memanfaatkan sisa-sisa cat minyak ibu …” Chandra tersenyum sekilas.

Miranda (kiri atas), Karin, dan teman-teman menyatu dalam kehangatan kanvas (dok WS)
Miranda (kiri atas), Karin, dan teman-teman menyatu dalam kehangatan kanvas (dok WS)
Lalu periode berikutnya adalah persentuhan dengan lingkup kanvas Popo yang sempat membuatnya intens melukis obyek-obyek fauna, seperti kucing dan ayam jantan. Namun dalam perjalanan hidupnya kemudian, melukis menjadi prioritas sampingan bagi alumnus Fakultas Ekonomi Unpad Bandung tersebut yang akhirnya memilih mematangkan alur profesionalnya di sebuah perusahaan bir internasional. Pergaulan dengan para teman ‘minum’dari kalangan ekspatriat yang mayoritas berasal dari Amerika Serikat dan Eropa cukup berjasa menjaga stamina batin melukis Candra,” Saya mengikutkan lukisan-lukisan untuk ikut pameran bersama dan pameran ‘solo-soloan’ (istilah Candra untuk pameran tunggal yang digelarnya tanpa terlalu terikat pada pakem pameran, seperti keharusan menggunakan kurator,-pen) lalu saya undang mereka untuk hadir.”


Begitulah kanvas-kanvas dengan goresan dan tutulan warna Chandra pun mulai melanglang buana menjadi bagian dari perbendaharaan para kolektor serius. Namun wacana melukis secara profesional baru merasuki ayah dari tiga anak ini saat berjumpa dengan pelukis senior Hanafi,”Datang ke studionya yang luas lalu melihat persediaan kanvas dan alat-alat lukisnya sedemikian melimpah membuat saya kepikiran bahwa melukis juga bisa dijadikan sandaran untuk menopang kehidupan, kalau menurut istilah Hanafi sih kita harus berani fokus sebaik mungkin pada melukis dan menekuninya dengan sungguh-sungguh.”Papar lelaki humoris yang melakukan debut pamerannya pada tahun 2002 di Galeri Popo Iskandar, Bandung, itu.

Seiring kedekatannya dengan pelukis Hanafi yang beraliran abstrak dan dikenal memiliki metode mempertanggungjawabkan karya seninya dengan memaparkan kisah-kisah di balik semua lukisannya,”Saya pun kebawa tuh membuat lukisan-lukisan yang punya ‘makna’ khusus.” Chandra melipir ke bagian belakang studionya memperlihatkan lukisan setinggi dua meteran yang disandarkannya ke dinding dengan obyek mata yang terlihat sangat menonjol merepresentasikan sudut pandang manusia yang terus berkembang melintasi batasan fisik seiring dengan perjalanan hidupnya. Pengaruh Hanafi pun terlihat pada sebuah lukisan yang terpajang di langit-langit tentang sel telur dan persaingan antar  jutaan sperma untuk bisa masuk membuahi,”Setiap kita sejak lahir sebenarnya sudah merupakan seorang pemenang.”Ujarnya.

Hanafi pun pernah menjadikan Chandra sebagai syarat untuk memenuhi undangan menjadi peserta sebuah pameran seni rupa bergengsi di Bali untuk menyambut tahun 2004 yang dalam penanggalan Cina merupakan Tahun Babi Api,”Mereka mengundang Hanafi dan beliau baru bersedia kalau karya saya juga ikut dipamerkan di situ.”Begitulah  Wild Boar dan  Fire Boar yang menggunakan media acrylic di kanvas berukuran masing-masing 80 x 80 cm besutannya pun tampil di event tersebut.

Apresiasi bagus para kolektor terhadap karya-karyanya membulatkan tekad Chandra meneladani Hanafi untuk urusan ‘fokus melukis’ hingga dia pun mantap pensiun dari perusahaan agar bisa berkiprah lebih leluasa di studionya. Banyak teman lintas profesi  yang telah mendapat suntikan keberanian darinya untuk bereksplorasi dengan kanvas dan media lainnya melahirkan lukisan-lukisan berbagai corak bahkan ikut pameran bersama sembari terheran-heran sendiri,”Kok bisa,yaa?”Tak ada yang mengira mereka bisa merambah dunia melukis yang dulunya terkesan sangat nun jauh di mato. Itulah bagian dari talenta seni seorang Chandra Maulana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun