“Resimen Kampus? Bagus itu, saya sudah baca.” Sambut Koko Nayasubrata (69), anggota Wanadri W-048 yang akrab dipanggil Abah Ukok itu, dengan wajah antusias,” Anda penulisnya?” Saat saya iyakan dengan cepat dia menyambung,”Wah, bangga saya bisa bertemu.” Dan saya hanya bisa mengucap ‘hamdalah’ untuk apresiasi yang begitu spontan tanpa rekayasa itu apalagi ketika dengan semangat, dia mengutarakan keprihatinan dengan tantangan yang terkesan sangat mengada-ada terhadap isu wajib militer dari berbagai pihak yang ditengarai mendapat ‘suntikan’ moneter dari pihak-pihak asing yang memang tak menghendaki negeri tercinta ini menjadi kuat dan lebih independen.
“Kalau Indonesia kuat, susah dijadikan pasar untuk produk-produk kualitas rendah mereka.”Ujarku seraya membeberkan temuan beberapa rekan yang berkecimpung di bidang iptek tentang kedelai hasil rekayasa genetika yang penampakannya bagus namun sebenarnya mengandung semacam toksin laten perusak sistem syaraf yang baru akan terlihat efeknya beberapa dekade mendatang atau buah-buahan sebenarnya sudah tak layak konsumsi namun terlihat segar menggiurkan karena dilapisi zat kimia korosif tertentu. Intinya upaya melemahkan bangsa ini memang merupakan sebuah rencana sistematis yang tak bisa dibiarkan begitu saja.
“Saya ikut Wajib Latih Mahasiswa tahun 1964 dan terus terang, menurut Abah,itu adalah program yang bagus.” Papar Abah Ukok,”Pembentukan Menwa Mahawarman juga Abah tahu, saat itu tak ikut mendaftar jadi anggota Menwa karena Abah masih suka rambut gondrong, pake kemeja flanel, celana jins... sementara anggota Menwa,kan, harus berseragam dan rambut mesti rapih.” Dia tertawa pelan. Tak cocok dengan ‘style’ namun Abah Ukok tanpa ragu menandaskan persamaan prinsip tentang patriotisme dan kewajiban moral sebagai anak bangsa untuk membela Tanah Air.
“Abah pernah menyaksikan wawancara televisi saat Pak Mashudi ( Gubernur Jawa Barat era 1960-1970 yang dikenal juga sebagai ‘Jendral Pramuka’ dan tokoh pendukung keberadaan Menwa Mahawarman , -pen.) yang menyatakan bahwa keberadaan mahasiswa terlatih merupakan aset untuk kejayaan negeri ini dan aspek-aspek militer yang dipelajari merupakan mekanisme untuk menanamkan kedisiplinan tapi seorang profesor,entah siapa namanya, malah menyerang dengan argumen dangkal tentang militerisme yang dipaksakan dan sebagainya...” Tutur Abah Ukok,”Akibatnya sekarang ini banyak generasi muda yang rentan terhadap infiltrasi ideologi impor yang berpotensi merusak rasa kepedulian mereka terhadap negeri ini.”
Saat saya memintanya berpose untuk Resimen Kampus, Abah Ukok dengan cepat menjawab,”Foto sama buku mah harus ganti baju dulu atuh ..” Ujarnya seraya beranjak bangkit masuk ke ruangan dalam dan tak berapa lama kemudian, Abah muncul dengan jaket serta topi yang bersulamkan inisial W ( kependekan Wanadri,-pen) warna jingga. Terlihat rapi dan sangat gagah. Sekali lagi apresiasi itu menyentuh batin saya sebagai penulis. Hasil fotonya sebagaimana terlihat di sini, keren sekali !
Tamu yang datang kemudian bergabung di ruang makan yang penuh keakraban itu adalah Tatang Sutarsa Nayasubrata (71) yang tak lain adalah kakak kandung Abah Ukok,”Kami ini ikut Pendidikan Dasar Wanadri (PDW) sama-sama, saya W-048 dan dia W-047).” Lalu kakak-beradik yang terlihat sangat akrab itu terlibat perbincangan seru seputar masa-masa mengikuti PDW dahulu. Tentang kedekatan mereka yang sedemikian rupa hingga ‘kelaziman’ perkelahian antar saudara lelaki, yang lumrah terjadi dalam sebuah keluarga, tak pernah terjadi pada mereka.
Percakapan seputar aktifitas dan sejarah Wanadri berlangsung kian semarak dengan datangnya Kang Rusna Permadi, penulis, yang kini tengah menyusun buku tentang perjalanan klub pendaki gunung dan penjelajah alam tertua di Indonesia itu. Selanjutnya karena waktu terus berjalan, kami pun berangkat bersama ke Taman Hutan Raya Juanda di kawasan Dago-Bandung untuk menghadiri malam renungan Dies Natalis 49 Tahun Wanadri.
( *Teriring ucapan terima kasih pada Kang Herry ‘Macan’ Heryanto, anggota senior Wanadri yang juga seniorku di Menwa Mahawarman atas undangannya menghadiri malam renungan itu. Juga sahabatku, Kang Hary Juliman (PDW 1983), yang telah menghadiahkan buku ‘Resimen Kampus’ pada Abah Ukok dan meluangkan waktu untuk mendampingiku hadir ke acara tersebut*). BRAVO INDONESIA ...!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H