Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mastodon dan Burung Kondor Gaya Ken Zuraida

21 Mei 2011   23:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:22 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_111126" align="aligncenter" width="547" caption="Ken Zuraida, gugatan berani yang bijak (dok WS)"][/caption] Kondisi sosial politik Indonesiaawal tahun 1970 dimana rakyat hidup miskin di tengah tingkah polah para elite politik yang hidup makmur dan penyalahgunaan wewenang yang seolah tak berkesudahan telah menggerakkan budayawan WS Rendra untuk menulis naskah drama Mastodon dan Burung Kondor. Lalu, Desember 1973, di tengah maraknya gerakan-gerakan protes mahasiswa, Rendra dengan Bengkel Teater-nya mementaskan drama yang menggemparkan karena muatan kritik sosialnya yang tajam dan dianggap kelewatberani menurut ukuran masa itu. Dari sanalah awal perkenalan yang kemudian menjadikan sosok seniman serba-bisa itu akrab dengan rentetan pelarangan dan pencekalan dimulai dari kota Yogya tempat dia dibesarkan.

Tahun ini, tepatnya pada bulan Agustus, genap dua tahun sudah WS Rendra berpulang dan Ken Zuraida Project yang dikomandani oleh Ken Zuraida tengah menjalani persiapan serius untuk mementaskan Mastodon dan Burung Kondor yang rencananya akan digelar di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki-Jakarta, pada 10-14 Agustus 2011 mendatang. Selain menjadi bagian dalam memperingati kematian sang Burung Merak, Ida -begitu Ken Zuraida biasa dipanggil- menganggap pementasan ini sebagai respon terhadap panggilan jaman. [caption id="attachment_111131" align="alignright" width="300" caption="Latihan dialog dan musik di Bemgkel Teater-Depok (dok WS)"][/caption]

Ida, dalam sebuah kesempatan wawancara, menggaris-bawahi niatnya untuk kembali mementaskan drama karya almarhum suaminya itu semakin menguat saat para tokoh agama menyoroti secara keras kebohongan-kebohongan yang dilakukan pemerintah dan sebagai seniman dia merasa perlu untuk melakukan sesuatu yang merupakan bagian dari fungsinya sebagai rakyat (Kompas, 27 April 2011). Sisi lain yang menarik dari persiapan pementasan drama ini adalah dilibatkannya anak-anak jalanan (anjal). Ada ratusan orang anjal yang direkrut dari 23 lokasi di Jawa; meliputi Jabodetabek, Cirebon, Bandung, Solo,Malang,Yogyakarta, dan Salatiga; namun hanya 60 orang di antaranya yang lolos seleksi. Tolok ukur yang dipakai adalah karakter yang kuat dan kemauan berkomitmen yang tinggi, apalagi belakangan Ida dibuat sangat terkesan dengan fakta bahwa para anjal yang dinilai terbiasa hidup serampangan di jalanan ternyata mampu berkompromi dengan aturan. Olahraga pagi pada pukul 05.30-07.00 wib, meditasi, dan siangnya dilanjutkan dengan membaca naskah dijalani mereka tanpa banyak protes. Tekad Ida untuk tidak menggunakan para pemain terkenal dalam pementasan salah satu masterpiece Rendra ini dilatar-belakangi berbagai pertimbangan dan salah satunya adalah menjaring benih-benih unggulan, memupuk, serta menumbuhkannya dalam kultur edukasi a la Bengkel Teater. Pertimbangan lain mungkin karena para pemain yang sudah mapan itu kelewat banyak argumen sebagai pengesahan posisi 'kebesaran' mereka. Mastodon dan Burung Kondor adalah sebuah alegori tentang 'yang besar' melawan 'yang bebas', menarik untuk menyaksikan bagaimana seorang Ken Zuraida akan mengarahkan figur-figur bebas tanpa kekangan status dan minim pengalaman teater yang diwakili para anjal binaannya untuk bersaing secara sehat dengan para pemain kawakan yang telah kenyang asam-garam dunia seni peran serta terjebak dalam status quo aktor besar untuk menghadirkan sebuah pementasan yang berkualitas. Ibunda dari Isaias Sadewa dan Maryam Supraba yang pernah mengecap dinginnya sel penjara saat menjalani babak kehidupan sebagai aktivis mahasiswa itu, kini mengemas aksi demonya dengan kadar keberanian yang tetap tinggi namun lebih cerdas dan terkesan bijak. Baginya sudah berlalu era turun ke jalan sambil meneriakkan agitasi lantang pada sistem yang dinilainya tak kondusif pada masyarakat jelata. Kini Ken Zuraida tengah berjuang dengan melibatkan banyak pihak yang memiliki persamaan pemikiran untuk menyuarakan aspirasi dan harapan mereka bagi Indonesia yang lebih baik melalui pementasan kembali Mastodon dan Burung Kondor beberapa bulan mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun