Bagi istri yang menemukan rumah tangganya bermasalah lebih baik tidak terburu-buru dalam menetapkan bahwa ‘virus’ penyebab kekisruhan keluarga terletak pada keimaman suami. Pepatah mengatakan ‘semut di seberang lautan kelihatan, sementara gajah di pelupuk mata tidak nampak’, lebih mudah mencari kambing hitam ketimbang menemukan akar masalah yang sebenarnya. Sebelum menetapkan dakwaan pada pasangan hidup, akan lebih bijaksana bila terlebih dahulu kita mengambil cermin nurani dan berkaca guna melakukan instropeksi diri.
Berikan penilaian seobyektif mungkin pada kualitas ibadah yang kita jalani selama ini. Mulai dari ritual rutin seperti shalat lima waktu, pengeluaran zakat, pelaksanaan shaum Ramadhan…sampai ke aspek-aspek ibadah lainnya secara keseluruhan, khususnya yang menyangkut peranan utama seorang istri. Apa sudah dikerjakan dengan segenap kemampuan terbaik yang dimiliki atau asal-asalan saja?
Seberapa sering kita menunda mendirikan shalat demi sebuah sinetron favorit atau acara gossip, padahal kita tahu firman Allah Swt, “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya” (QS Al-Ma’uun, 107:4-5) ? Lantas sudah berapa lama si Buyung terlena dalam buaian play station-nya sampai terlewatkan Ashar bahkan Magrib yang seyogyanya dilakukan berjamaah di mesjid karena kelalian kita menegurnya, sementara seorang ibu selayaknya memberikan nasehat,”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu…”(QS Luqman, 31:17) ? Membiarkan anak terlena menuruti kecenderungan hawa nafsunya hingga meninggalkan tugas yang lebih penting bukanlah tindakan edukatif dalam hal melatih kesabaran. Atau si Upik yang menginjak usia remaja mulai menunjukkan ketertarikan pada lawan jenis dan berusaha memikat perhatian mereka dengan busana irit bahan yang memamerkan aurat meniru para idola di layar kaca hingga luput dari hatinya firman Allah Swt, “Katakanlah kepada wanita yang beriman,’Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kerudung ke dadanya…,” (QS An-Nur, 24:31); sudahkah kita menasehatinya?
Lalu makanan yang dihidangkan untuk keluarga, di luar pertimbangan kelezatan dan kepraktisan penyajiannya semata, sudahkah sesuai dengan petunjuk Allah Swt,”Hendaklah manusia memperhatikan makanannya,” (QS ‘Abasa, 80:24), yakni makanan yang halal lagi baik (QS Al-Baqarah, 2:168; Al-Maidah, 5:88; Al-Anfal, 8:69; An-Nahl, 16:114) ? Asupan makanan pada dasarnya adalah isu penting yang harus diwaspadai mengingat para ulama telah mengaitkan keharaman makanan tertentu dengan dampak negatifnya pada mental manusia. Al-Biqa’I (wafat pada 1480M) mengutip pendapat Al-Harraliy (wafat sekitar 1232M), misalnya, menyatakan bahwa jenis daging tertentu –bangkai, darah yang mengalir, babi, hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah (QS Al-Maidah, 5:90; Al-An’am, 6:145) menyebabkan kejelekan pada budi pekerti manusia (M Quraish Shihab, 1992).
Kaji ulang pula bagaimana perlakuan terhadap suami. Seberapa sering istri menuntut hal-hal yang berada di luar jangkauan kemampuan finansial suami hingga mendorongnya melakukan ‘trik-trik sulap’ pada pembukuan kantor atau mengumbar muslihat seputar amanah umat yang dipercayakan kepadanya sekedar untuk membungkam kebawelan istri yang memanaskan kuping? Jangan-jangan istri telah menjadi musuh secara aqidah bagi suami (QS At-Tagabun, 64:14) yang menyeretnya keluar dari jalan yang lurus? Like mom, like kids…jangan salahkan anak-anak kalau mereka mengekor perilaku buruk ibunya dan menjadi musuh tambahan bagi sang ayah.
Bila diagnosa diri menunjukkah bahwa ‘penyakit’ yang menggerogoti ketentraman ternyata bersarang dalam diri sendiri, maka seyogyanya terimalah itu dengan lapang dada. Lalu istighfar dan bertaubatlah (QS Hud, 11:3,52,90). Istighfar adalah memohon agar dilindungi dari keburukan-keburukan atas (kesalahan) yang sudah kita lakukan sebelumnya, demikian menurut Ibn al-Qayyim al-Jawjiyyah sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat (1999), dan selanjutnya taubat berarti juga ruju’, kembali dari perbuatan buruk yang pernah kita lakukan sebelumnya kepada perbuatan yang baik. Dalam hal ini, tentu saja istri harus berjuang memperbaiki kinerjanya sebagai makmum, ibu, pengelola nafkah, dan pendamping hidup suami. Kesungguhan dalam mengimplementasikan istighfar akan menjauhkan kita dari azab Allah (QS Al-Anfal, 8:33) dan kebarokahan dalam keluarga dapat dihadirkan kembali. Insya Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H