Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Konsep ‘Iqra’ dalam Wahyu Pertama

26 Agustus 2010   05:10 Diperbarui: 18 Juni 2016   19:16 842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wahyu pertama dalam kerasulan Muhammad Saw (dok.wikipedia.org/edit.WS)


‘Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan

Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah

Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia

Yang mengajar (manusia) dengan pena

Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya’

(QS Al-Alaq, 96:1-5).

Kelima ayat di atas merupakan wahyu pertama yang diterima oleh Muhammad Saw saat beliau bertahannuts di Gua Hira pada malam 17 Ramadhan dan peristiwa inilah yang kemudian dikenal sebagai Nuzulul Qur’an.

Kata ‘iqra’ (bacalah) yang digunakan dalam bahasa asli pada awal surat Al-Alaq berasal dari akar kata ‘qara’a’ (M Quraish Shihab, 1992). Akar kata ini meliputi segenap bacaan yang bersumber dari Tuhan (Al-Qur’an atau kitab-kitab suci sebelumnya) dan himpunan karya manusia. Ini berarti perintah ‘iqra’ dapat didefinisikan sebagai membaca, menelaah, dan menyampaikan ayat-ayat tertulis yang berasal dari Allah Swt maupun ayat-ayat tidak tertulis yang tersebar dalam segala fenomena kehidupan di alam semesta.

Pengkaitan perintah membaca dengan penyebutan nama Tuhan menuntun manusia untuk melakukan seleksi terhadap materi-materi yang akan dijadikannya obyek penelaahan agar tidak terjadi pemborosan energi sia-sia karena keliru memilih obyek ‘iqra’ yang ujung-ujungnya akan menjerumuskan pada kekufuran atau kemusyrikan. Jadi jelas diperlukan keikhlasan dan kecerdasan untuk memilih materi yang tepat.

Hubungan antara perintah membaca dengan Tuhan Yang Maha Mulia bisa bermakna bahwa dengan kemuliaanNya, Rabb akan menganugerahkan ilmu yang sebelumnya tidak diketahui manusia melalui syariat membaca ini. Bisa juga berarti mengulang-ulang bacaan yang sama namun berkat kemuliaanNya, repetisi itu dapat membidani lahirnya pandangan atau pengertian baru yang sebelumnya tidak dijumpai pada proses membaca yang pertama kali. Atau dapat pula dipahami sebagai konsep bahwa membaca dan mengulang bacaan yang sama akan mendatangkan manfaat yang tak terbatas sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Mulia.

Redaksi dan kandungan Al-Qur’an yang bertahan melampau pergantian abad terbukti hingga detik ini tak pernah kering sebagai samudera yang senantiasa menjadi inspirasi lahirnya ilmu-ilmu baru. Tak terhitung jumlah buku-buku yang sudah dan pastinya akan ditulis berdasarkan hasil ‘iqra’ pada ayat-ayatnya.

Ada beberapa karakteristik dalam kandungan Al-Qur’an yang perlu dipahami sebagai bekal awal membaca Al-Qur’an (Machmud Ranusemito, 2000); antara lain untuk hal-hal metafisika yang berpeluang besar memancing persepsi keliru akibat keterbatasan jangkauan akal dan hati manusia, Allah memberikan batasan/pernyataan/definisi yang sangat tegas dan jelas. Misalnya tentang keberadaan Allah, mahluk-mahlukNya yang gaib, surga-neraka, dan sejenisnya.

Karakteristik berikutnya adalah bahwa ajaran-ajaran yang menyangkut masalah duniawi dalam Al-Qur’an secara umum hanya diberikan garis besarnya saja untuk memberikan kebebasan yang seluas-luasnya bagi manusia dalam mengeksploitasi akal budinya. Namun untuk beberapa bahasan,seperti hukum waris, Al-Qur’an memberikan panduan yang sangat rinci.

Satu pokok bahasan bisa dibahas dalam lebih dari satu ayat atau tersebar di beberapa surat dengan cara penyampaian yang berbeda. Pencantuman sejarah para nabi, tamsil-tamsil dari dunia binatang atau tumbuhan, dan kisah-kisah gaib ditujukan untuk mempertajam pengertian dan pemahaman seputar aqidah, akhlak, muamalah, dan hal-hal lain.

Fungsi rangkap manusia sebagai hamba Allah sekaligus khalifah di muka bumi menuntut penguasaan ilmu sebagai syarat mutlak tercapainya kesempurnaan dalam pelaksanaan kedua tugas itu. Ibadah yang disertai dengan ilmu yang benar dapat menempatkan manusia pada posisi sejajar atau bahkan lebih terhormat dari malaikat. Jadi, budaya ‘iqra’ memang merupakan hal yang menyatu dan tak terpisahkan dalam eksistensi manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun