Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Elegi Suami Kepergok Selingkuh

14 September 2010   03:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:15 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kepala Mr. Bean terperosok ke dalam dubur kalkun potong yang mestinya dia panggang untuk hidangan thanksgiving. Sementara pacarnya yang dungu cuma bisa melongo memperhatikan lelaki itu terhuyung dan membentur sana-sini.

Priyatna terbahak-bahak dengan enak menyaksikan suguhan komedi slapstick yang telah berulangkali ditontonnya. Setiap kali dia harus memenuhi ajakan kencan Indira, istrinya, perutnya meluap seakan mau tumpah dan detak jantungnya melambat atau menderap tak beraturan. Dia butuh tertawa ekstra banyak untuk menenangkan diri.

Dalam ruang nonton pribadinya, DVD-DVD film komedi tertata rapi di rak dari mulai jenis klasik seperti Three Stooges sampai yang modern seperti American Pie. Priyatna akan mengunci diri dan fokus barang satu-dua jam pada tontonannya sampai dia merasa detak jantungnya normal kembali.

“Kita harus bicara, Pri.” Suara Indira di telepon tadi terdengar begitu dingin, “Jam satu di Bantimurung, ya?”

Priyatna cuma mampu mengiyakan. Dia sudah bisa meraba ke arah mana percakapan akan dibawa. Insiden tadi pagi melintas dalam ingatan, ketika dia tak tahan mendengar argumen keras Gandi sampai kelepasan menempeleng anak lelakinya itu. Nyaris saja terjadi baku hantam kalau tidak keburu dilerai Indira.

“Macam sinetron saja!” Kecam Indira, “Minta maaf pada bapakmu dan pergi ke sekolah!” Katanya pada remaja SMA itu, yang meski mendongkol tapi tak berani membantah ibunya.

Indira mengantar Gandi ke depan rumah dan kembali ke ruang makan untuk sarapan.

“Sudah jam tujuh,” Indira menghalau suaminya yang masih berdiri canggung dekat meja.

Priyatna pun merayap pergi dengan perasaan tidak berdaya. Mengemudikan mobil sambil berharap keberadaannya di kantor masih cukup berharga untuk dipertahankan.

Layar kosong menyentak Priyatna dari lamunannya. Dia mematikan DVD player, meneguk teh dingin dari mug raksasa di atas meja, dan perlahan-lahan mencoba menghimpun segenap nyali yang ada. Yang mungkin masih tersisa sejak sore jahanam itu.

Tak tahan dengan ejekan geng SMA-nya dalam sebuah reuni, Priyatna meladeni tantangan adu minum. Mereka semua jatuh teler dalam dekapan wanita penghibur di hotel. Terjaga menjelang malam dengan kepala pening, Priyatna menyempatkan diri mandi dan kemudian membeli baju baru di mall. Parfum tajam teman tidurnya, yang meresap hingga ke kaos dalam, membuat Priyatna tak punya pilihan selain membuntal baju bekas pakainya hari itu ke tempat sampah. Dia tidak mau Indira memergoki debu perselingkuhan di luar rencana itu.

Makan bersama Indira dan kedua anaknya berjalan lancar malam itu. Nana, putri sulungnya yang mahasiswi psikologi, dan bungsunya, Gandi yang masih duduk di bangku SMA saling bertukar canda ditimpali Indira. Priyatna menghembuskan kelegaan dalam dirinya. Yakin dia sekarang, intermeso jelek di hotel tadi tak perlu dicemaskan. Sampai kedua anaknya pergi tidur dan Indira malah berdandan.

“Jalan keluar, yuk?”

“Malam-malam begini mau kemana?” Priyatna tercengang.

“Aku pingin sop buntut.”

Hidangan yang dipesan sudah tersaji dan dengan antusias Indira menikmati sop buntut itu. Memandangi keasyikan istrinya entah kenapa membuat dada Priyatna berdebar-debar. Sebongkah panik bersarang di kepala.

“Enak, lho. Beneran nggak mau?” Indira menawari.

Saat mereka bertukar pandang, Priyatna bergidik. Tatapan Indira terasa begitu dingin dan menusuk.

Indira memesan kopi seusai makan. Setelah pelayan pergi, wanita itu mengeluarkan ponselnya. Dia memijit beberapa tombol lalu menyerahkannya pada Priyatna. Tampilan di display membuat lelaki itu tersedak.

“Apa kau mau menceraikan aku, Pri?” Suara Indira terdengar lelah ketimbang marah.

“In, ini cuma…” Priyatna gelagapan menekan tombol delete dan membuang rekaman mesum dirinya itu.

“Ya, Pri?” Indira melipat tangan di atas meja dan memandang lurus ke wajah suaminya.

Sedikit terbata, Priyatna bercerita soal keisengan lelaki dalam reuni. Berkilah bahwa itu adalah sebuah ketidaksengajaan. Sama sekali tidak berarti. Bahkan nama wanita itu saja, dia tidak tahu.

“Mabuk, ya?” Indira berdecak merendahkan,”Berapa sih usiamu sampai mempan dipanasi begitu?”

Priyatna tak berani membalas tatapan istrinya. Perasaan malu menjadi manusia bodoh membuat lidahnya kelu.

“Kau tahu, kan, hukuman suami penzina?” Suara Indira terdengar datar.

Dilempari batu sampai mati. Priyatna terpejam sesaat. Apa Indira segila itu?

“Aku tidak berminat jadi pasangan orang mati,” Indira menyeruput kopinya dengan

santai, “Bagaimana bagusnya menurutmu, Pri?”

Priyatna tak mampu menjawab. Otaknya blank seketika. Curi-curi dia memandang wajah istrinya. Indira tampak tenang, menikmati vanilla latte-nya tanpa tergesa-gesa.

“Berapa banyak lagi, ya, aku harus memaafkan?” Indira menggumam, “Menggelapkan polis, melarikan setoran dagang, minggat saat aku hamil gede, cari nafkah seenak udelmu…”

Priyatna tak berkomentar. Dia terlihat begitu buruk dengan dahi mengerut. Kesusahan hati memancar begitu jelasnya.

Indiralah yang akhirnya memutuskan untuk mempertahankan perkawinan mereka. Bukan untuk sebuah romantisme, perceraian mengundang murka Tuhan dan Indira sadar betul dosa yang telah tertimbun sejak dia mencapai akil balig hingga kini saat kedua anaknya tumbuh dewasa. Dia tidak mau hidupnya berakhir di keabadian neraka.

Nana dan Gandi yang semakin matang juga menyadari keretakan terselubung orangtua mereka. Melihat ibu yang pedagang setengah mati berjuang untuk menjamin kelancaran putaran roda kehidupan, sementara sang ayah lebih memilih menjadi beban ketimbang melakoni kewajibannya, membuat mereka memutuskan untuk lebih mendukung Indira.

Tentu saja itu bukan berarti Nana dan Gandi lantas menjadi kurang ajar pada Priyatna, karena sejak mereka kecil Indira telah menanamkan norma religius seputar bakti anak kepada orangtua. Anak-anak tangguh yang kelak mampu meniti jembatan serambut dibelah tujuh adalah dambaan Indira.

Priyatna juga bukannya tidak menyadari hal itu. Tapi obsesinya menjadi pekerja kantoran berbaju necis memang sudah berakar di otak. Sementara Indira yang lebih pragmatis, sudah paham dari awal bahwa dengan usia yang sudah melampaui kepala empat akan sulit mencari perusahaan yang mau mempekerjakan Priyatna sebagai trainer. Melimpahnya fresh graduate dengan nilai akademis tinggi namun masih nol pengalaman kerja adalah target mayoritas perusahaan yang akibat krisis ekonomi berkepanjangan lebih suka memberlakukan sistem kontrak dalam pencairan pegawai. Anak-anak yang baru lulus kuliah menjadi favorit karena umumnya semangat ‘segera menghasilkan uang’ mereka sangatlah tinggi dan masih gampang dikendalikan. Priyatna sama sekali tidak mungkin memenuhi semuakriteria itu.

Untung Yang Maha Pemurah memberi Priyatna keberuntungan dalam multi-level marketing hingga dia bisa main kantor-kantoran di rumah kontrakan dan mempekerjakan tiga keponakannya yang baru lulus SMA untuk magang dengan upah ala kadarnya. Tapi sejujurnya, keringat Indira masih merupakan urat nadi ekonomi keluarga mereka.

Gandi juga pastinya berpikir begitu, Priyatna membatin. Makanya dia tegas menolak anjuran Priyatna untuk kuliah di universitas.

“Saya mau kerja, Yah.” Kata remaja itu mantap, “Saya ingin bantu cari nafkah biar ibu tidak terlalu capek.”

“Tapi Gan, jadi sarjana cuma perlu empat tahun,” Priyatna mengarahkan dengan sabar, “Setelah diwisuda baru kerja.”

“Maaf, Yah, gak jaminan lulus kuliah bisa langsung kerja,” mendadak tatapan Gandi serasa meremehkan di mata Priyatna, “Apalagi kalau dasarnya sudah pemalas dan lebih enjoy jadi parasit keluarga.”

Tiba-tiba saja diskusi berubah menjadi pertengkaran, bahkan ujungnya dia menempeleng Gandi karena tak tahan disebut penghisap darah istri. Untung Indira turun tangan, kalau tidak dia bisa tumbang dihajar Gandi yang jago aikido.

Rasa mual bertubi yang menekan ulu hati menyadarkan Priyatna bahwa dia masih butuh satu-dua DVD lagi sebelum bertemu Indira. Tapi tak ada waktu lagi, dia harus pergi sekarang.

Indira tengah menikmati seporsi iga bakar ketika Priyatna mendatanginya. Rupanya dia tak mau repot-repot menunggu Priyatna untuk memulai makan siangnya.

“Nggak makan, Pri?” Tegur Indira saat mendengar Priyatna yang cuma memesan segelas es palu butung.

“Masih kenyang,” Priyatna tahu, mana mungkin makan dengan kondisi asam lambung bergejolak begitu rupa.

Indira menyelesaikan makan dan memesan secangkir kopi. Priyatna mengaduk-aduk esnya tanpa selera, menanti Indira mengawali pembicaraan.

“Soal Gandi,” Akhirnya dia mendengar suara perlahan Indira, “Beri dia kebebasan untuk menentukan sendiri mau kemana setelah SMA, kita dampingi saja dan bantu kalau perlu.”

“Oke,” Kata Priyatna dengan berdebar, “Itu saja, In?”

Indira menatap suaminya dan diluar dugaan Priyatna, dia tersenyum ramah. Namun bukannya menentramkan, hal itu justru membuat Priyatna semakin panik.

“Begini Pri, bagaimana kalau kita pisah secara resmi?” Indira meledakkan bom waktunya, “Gono gini dibagi rata dan anak-anak bebas memilih mau ikut siapa atau tinggal bergantian dengan salah satu di antara kita.”

Anak-anak sudah jelas akan memilih siapa. Gono-gini tanpa pengelolaan yang benar, pastilah akan cepat habis. Tapi yang paling menakutkan adalah tingkat ketergantungannya yang begitu parah pada Indira. Priyatna tidak tahu bagaimana cara melakoni hidup tanpa istrinya.

“Tak apa-apa kan? Toh kita sudah bertahun-tahun pisah ranjang. Kau bisa mulai dari awal, menikah lagi, dan lebih bahagia,” Indira meneguk kopinya.

“Apa ada orang lain, In?” Priyatna mencoba menyembunyikan ketakutannya.

“Wah, aku nggak minat kawin lagi,” Indira mengangkat bahu, “Aku mau fokus ke pekerjaan dan mendampingi anak-anak sampai mereka mampu berdiri sendiri.”

“Kau sudah melakukan itu dari dulu sampai sekarang, In,” Timpal Priyatna, “Tidak perlu sampai bercerai kan?”

“Bagaimana, ya?” Indira terlihat tidak antusias, “Sejujurnya perkawinan kita sudah nonsense sejak kamu selingkuh dan sebelumnya, kita juga tidak saling cocok.”

Priyatna terdiam. Indira juga tidak mengharap respon inspiratif dari lelaki itu. Percuma. Mimik prihatin yang muncul setiap kali dia membicarakan masalah kehidupan sungguh membuat Indira bosan.

“Pikir baik-baik, Pri. Dengan bercerai mungkin hidup kita jadi lebih baik.”

Bercerai. Rupanya Indira lupa kalau selama ini daripada sebagai suami-istri, mungkin mereka lebih tepat kalau disebut teman serumah. Tidur terpisah, tak ada komunikasi hangat dan memilih sibuk sendiri-sendiri. Kebersamaan baru terjalin di meja makan dan saat menemani kedua anak mereka sesekali nonton TV atau baca koran. Tak pernah lebih dari itu.

“Maaf, In. Apa kekhilafanku di hotel dulu masih mengganggumu?”

“Tidak baik mengorek dosa lama, Pri.” Lamat-lamat Indira berseloroh, “Lagipula aku nggak segitu cintanya sama kamu.”

Priyatna tidak menangkap emosi yang berarti di wajah Indira, kecuali rasa bosan.

“Oke, kita bicara lagi nanti,” Indira meletakkan cangkir yang sudah kosong, “Seminggu dari sekarang aku mau dapat jawaban yang bagus.”

“Jangan keras kepala begitu, In…” Priyatna mendesah, “Tidak perlu…”

“Nanti saja, Pri. Minggu depan,” Potong Indira, “Sekarang kembalilah bekerja dan cari uang sebanyak-banyaknya, aku mau istirahat.” Dia meraih tasnya lalu melenggang pergi.

Priyatna hanya mampu mengawasi kaki istrinya berayun santai sebelum menghilang di balik pintu restoran. Otot leher belakangnya mengeras mengiringi perasaan mual yang bertubi-tubi menghajar lambungnya. Priyatna membayar makanan lalu meluncur pergi ke toko DVD langganannya.

Pemilik toko menjajarkan DVD-DVD film komedi terbaru di meja. Priyatna langsung membayar tanpa merasa perlu mengecek terlebih dahulu. Harapannya Cuma satu, bisa menemukan sesuatu yang baru setelah lumuran kue tart di muka Chaplin, babak belur para Stroges, dan kenorakan vulgar pemuda di American Pie. Sesuatu yang bisa membuatnya tertawa lebih keras lagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun