Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Edukasi Aktual dalam Beberapa Surat Kartini

20 April 2017   09:15 Diperbarui: 20 April 2017   09:31 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kartini mungkin bisa digolongkan Pahlawan 'Literasi' Nasional (dok. Ist./ed.WS)

Entahlah, apakah saat ini masih ada pihak-pihak yang mempersoalkan gelar pahlawan yang disematkan oleh Presiden Soekarno  pada  Raden Ajeng Kartini (21 April 1879 – 13 September 1904) asal Jepara karena dia tak mengangkat senjata melawan kolonialisme serikat dagang kerajaan Belanda VOC seperti Tjut Nyak Dien di Aceh atau Christina Martha Tiahahu di Maluku? Karena perjuangannya ‘hanya’ sebatas rangkaian kalimat-kalimat bernas dalam lembaran-lembaran surat yang digunakannya untuk berkorespondensi dengan teman-teman dekat yang notabene mayoritas berasal dari kalangan warga negara Belanda ? Lantas masih aktualkah pemikiran anak perempuan tertua yang merupakan anak kelima dari sebelas bersaudara kandung dan tiri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dengan ibu kandung bukan dari kalangan ningrat, MA Ngasirah, yang merupakan putri dari pasangan guru mengaji di Jepara, KH Madirono – Hj Siti Aminah itu?

Bagi saya hanya ada dua macam keningratan, keningratan pikiran (fikroh) dan keningratan budi (akhlak). Tidak ada manusia yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya dari pada melihat orang membanggakan asal keturunannya. Apakah berarti sudah beramal sholih orang yang bergelar macam Graaf atau Baron?… Tidaklah dapat dimengerti oleh pikiranku yang picik ini,…” ( Cuplikan surat Kartini yang ditujukan pada Estelle ‘Stella’ Zeehandelaar, tertanggal 18 Agustus 1899).

Feodalisme di jaman sekarang tak melulu perkara keturunan darah biru, namun juga gelar-gelar akademik atau kepangkatan atau jabatan hirarkis. Urusan mencari ilmu untuk membangun kecerdasan tak hanya dimonopoli oleh kalangan elit semata, semua anak tak perduli latar orangtuanya memiliki hak untuk belajar. Lantas menjadi saleh dan memperlihatkan keteladanan sebagai orang baik tak perlu harus menunggu sampai meraih gelar atau posisi tertentu, melainkan harus ditanamkan sedini mungkin lalu dilatih secara intensif sedemikian rupa hingga terpahat sebagai karakter saat menjadi manusia dewasa kelak. Bukankah itu merupakan inti pendidikan karakter yang sekarang dinilai terabaikan di negeri tercinta ini ?

“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”. (Cuplikan surat Kartini ditujukan pada Prof Dr GK Anton dan Nyonya, tertanggal 4 Oktober 1901).

Perempuan adalah madrasah/sekolah pertama bagi anak-anak yang dilahirkannya. Pendidikan setinggi mungkin adalah jalan sepanjang hayat yang harus bisa diakses semua ibu di jagad raya ini agar mereka bisa memberikan fondasi edukasi terbaik bagi tumbuh-kembang anak-anak mereka sesuai dengan dinamika peradaban yang terus berubah seiring perjalanan waktu.  “Anakmu bukan milikmu” kata Kahlil Gibran melalui sebuah syairnya yang termashur,”Berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak untuk jiwanya//Karena jiwanya milik masa mendatang//Yang tak bisa kau datangi//Bahkan dalam mimpi sekalipun.”. Begitulah,menjadi terdidik bukanlah isu tentang menjadi ‘lawan setara’ bagi lelaki, namun semata-mata kebutuhan mendasar untuk dapat menunaikan tanggung jawab utama seorang ibu : Menyiapkan anak-anaknya untuk masa depan peradaban.

Kesempatan belajar sampai usia 12 tahun sebelum menjalani masa pingitan di Europese Lagere School tempat Kartini belajar bahasa Belanda yang kemudian terbukti sangat bermanfaat baginya untuk memahami berbagai berita di koran, majalah kebudayaan, dan buku-buku bermutu tulisan Multatuli, Van Eeden, bahkan novel-novel dari mulai jenis roman feminis karya Goekoop de Jong Van Beek sampai ke novel anti perang Die Waffen Nieder karya Berta von Suttner. Aneka literatur tersebut merupakan teman setia Kartini dalam menjalani masa pingitannya sekaligus nutrisi padat gizi yang memperkaya pengetahuan dan memperluas wawasannya. Tidak heran meski secara formal dia hanya mengenyam pendidikan setara SD, Kartini mampu berkorespondensi dengan kalangan berpendidikan tinggi asal Negeri Kincir Angin yang tengah menjajah negerinya. Dia mampu menumbuhkan penghormatan dalam diri mereka atas tulisan-tulisannya. Bahkan inspirasi yang memotivasi mereka untuk melakukan sesuatu.

Mr JH Abendanon, salah seorang sahabat penanya, saat menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama & Kerajinan Hindia Belanda berinisiatif mengumpulkan lalu akhirnya membukukan surat-surat Kartini dengan judul  Door Duisternis Tot Lich (Dari Kegelapan Menuju Cahaya) pada tahun 1911. Lalu setahun berikutnya keluarga Van Deventer memberikan penghormatan atas kegigihan Kartini dalam memperjuangkan pendidikan yang lebih baik bagi perempuan sebangsanya lewat argumentasi bermutu dalam surat-suratnya dengan mendirikan Yayasan Kartini yang membangun sejumlah sekolah khusus perempuan yang dinamai Sekolah Kartini. Sekolah ini pertama kali didirikan di Semarang (1912) lalu berikutnya di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan kota-kota lainnya.

Kartini yang wafat beberapa hari setelah melahirkan putra satu-satunya itu mewariskan kearifan yang, lagi-lagi, masih sangat aktual dengan kondisi bangsa kita saat ini melalui surat yang ditujukannya pada Rosa Abendanon tertanggal 4 September 1901 :

“Pergilah, laksanakan cita-citamu. Bekerjalah untuk hari depan. Bekerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas. Di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham palsu tentang mana yang baik dan mana yang jahat. Pergi! Pergilah! Berjuang dan menderitalah, tetapi bekerja untuk kepentingan yang abadi”.

Kartini memang pendekar bangsa seperti yang ditulis WR Supratman dalam lagunya Ibu Kita Kartini, dia punya cita-cita yang sangat besar bagi Indonesia.

Referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun