Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar Toleran dari Kontroversi Shalat Tarawih

31 Mei 2017   10:34 Diperbarui: 31 Mei 2017   11:56 1150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana shalat tarawih di lantai satu Masjid Jeffcott di Jeffcott Street, Melbourne, Victoria, Australia, Minggu (5/6/2016) malam. (KOMPAS.com/Caroline Damanik)

Saya sependapat dengan KH Cholil Nafis, Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang menyatakan bahwa bulan suci Ramadhan  adalah bulan dimana ,”…Allah memberikan (di dalamnya,-pen.) madrasah pendidikan, madrasah kemanusiaan untuk menjadikan manusia sejati sehingga manusia kembali fitrah .” (Republika.co.id,25 Mei 2017).

Ada banyak hal dalam momen shaum Ramadhan yang dapat dijadikan bahan pembelajaran, salah satunya adalah pelaksanaan shalat sunnah (dianjurkan ulama; dilaksanakan berpahala, tak dilaksanakan tak berdosa, -pen.) berjamaah yang termasuk muakkadah (diutamakan, -pen.) dan pelaksanaannya eksklusif hanya di bulan suci ini, yakni Shalat Tarawih. Shalat ini sampai sekarang masih merupakan wacana yang penuh kontroversi di kalangan internal umat Islam, termasuk di Indonesia, yang umumnya berkisar pada seputar ada-tidaknya teladan Rasul Saw tentang pelaksanaannya, jumlah raka’atnya, dan tata cara mendirikannya.

Istilah ‘tarawih’ (duduk, bahasa Arab, -pen.) sebenarnya merupakan bentuk jamak (plural) dari kata dasar ‘tarwihah’ (bahasaArab yang berarti ‘duduk rehat sebentar setelah melaksanakan 4 raka’at sholat sunnah di bulan Ramadhan, -pen.). Duduk rehat tersebut diperlukan untuk memulihkan diri setelah shalat yang lama karena pemilihan surat-surat Al Qur’an yang panjang dalam setiap raka’atnya, bahkan para salaf bertumpu pada tongkat saking lamanya berdiri. Duduk sejenak dilakukan sebagai persiapan untuk menjalankan sholat berikutnya. Keseluruhan kondisi tersebut akhirnya digunakan untuk merujuk pada kata ‘tarawih’.

Lantas apakah Rasul Saw mendirikan Sholat Tarawih semasa hidup beliau? Pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (kalangan ulama Ahlus Sunnah menempatkan hadits-hadits Bukhari di urutan kedua setelah Al Qur’an untuk dijadikan panduan dalam pelaksanaan ibadah, -pen.) disebutkan bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ditanya: “Bagaimana shalat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan?” Dia menjawab, “Beliau tidak pemah menambah -di Ramadhan atau di luarnya- lebih dari 11 raka’at. Beliau shalat empat rakaat, maka jangan ditanya tentang bagusnya dan lamanya. Kemudian beliau shalat 3 raka’at.”’ [HR Bukhari].

Hadits tersebut di atas sekaligus dijadikan patokan dalil keabsahan bagi umat yang memilih mendirikan Sholat Tarawih sebanyak 8 raka’at dengan pola 4 rakaat Tarawih +4 raka’at Tarawih +3 raka’at sholat sunnah Witir [2(4T)+3W]. Berkaitan dengan pemilihan  11 raka’at ini masih ada dalil lain yang merujuk pada pola  [5(2T) +1W] berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menerangkan bahwa Aisyah Radhiyallahu anhuma menyatakan, “Adalah Rasulullah melakukan shalat pada waktu setelah selesainya shalat Isya’, hingga waktu fajar, sebanyak 11 raka’at, mengucapkan salam pada setiap dua raka’at, dan melakukan Witir dengan satu raka’at.” [HR Muslim].

Pola di atas ternyata juga ada dalam catatan Imam Bukhari berdasarkan keterangan Ibn Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah,bagaimana shalat malam itu?” Beliau menjawab, “Yaitu dua raka’at-dua raka’at, maka apabila kamu khawatir (masuk waktu) Subuh, berwitirlah dengan satu raka’at. [HR Bukhari].

Pilihan umat untuk jumlah raka’at Tarawih sampai saat ini sangatlah bervariasi. Di Indonesia, banyak pula kalangan yang memilih mendirikan Tarawih dengan  pola (20T +3W) merujuk pada dalil-dalil yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Ibn Nashr, dan Al Baihaqi atau (20T+1W) sesuai riwayat Abdurrazaq. Sementara penduduk Madinah memilih (38T+3W) berdasarkan riwayat Ibn Nashr yang mengutip keterangan Shalih Mawla Al Tau’amah dan warga Basrah di Irak mendirikan 34 T tanpa Witir. Ada banyak lagi pilihan jumlah raka’at yang bisa dipilih sesuai dalil yang diyakini masing-masing umat. Lantas manakah yang paling benar?

Imam Abdul Aziz Ibn Bazz menegaskan bahwa hadits-hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan, bahwa shalat malam itu adalah muwassa’ (leluasa, lentur, fleksibel). Tidak ada batasan tertentu yang kaku dan tak boleh dilanggar [HR Bukhari Muslim]. Secara umum dalam pelaksanaan sholat sunnah, termasuk Tarawih, bagi yang hendak memanjangkan bacaan, sujud, dan ruku’akan lebih afdol kalau menyedikitkan bilangan raka’at; sementara mereka yang ingin membaca surat-surat pendek dengan sujud dan ruku’ lebih singkat dianjurkan memperbanyak raka’at.

Jadi tidak pernah ada yang salah untuk urusan ini, apapun pilihan raka’atnya silakan didirikan dengan khuyu’ dan tumaninah untuk mendapatkan manfaat terbaik, sementara yang memilih tidak menjalankan Tarawih karena berbagai alasan pun tidak perlu dipermasalahkan karena kedudukan Shalat Tarawih adalah ibadah sunnah. Sangat dianjurkan untuk fokus pada peningkatan kualitas ibadah-ibadah wajib sebagaimana tertera dalam Rukun Islam dilandasi pemahaman dan pelaksanaan Rukun Iman secara menyeluruh, tambahkan dengan melakukan ibadah sunnah sesuai pilihan masing-masing, dan selebihnya mari bersinergi menjadi bagian dari rahmatan lil ‘aalamiin pada bulan Ramadhan serta bulan-bulan berikutnya.

Menyimak ceramah singkat sebelum mendirikan Tarawih (dok Wahyuni)
Menyimak ceramah singkat sebelum mendirikan Tarawih (dok Wahyuni)
Referensi: 1 dan 2.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun