Pagi-pagi sekali Dudung sudah terjaga. Gema takbir dan suara beduk dipukul bertalu-talu membuatnya bangun dari tidur. Lebaran! pikirnya girang. Dia melompat turun dari dipan, menyambar handuk disandaran kursi dan setengah berlari menuju kamar mandi. Begitu bersemangat sampai membuatnya bertubrukan dengan bapak di belokan dapur.
“Jangan lari-lari, Dung!”, Tegur ibu ditengah kesibukan memasak nasi dan menghangatkan opor tahu.
Bocah kelas 3 SD itu cuma menyeringai lucu lalu bergegas mandi dan wudhu. Akhirnya lebaran datang juga, pikir Dudung gembira, tiba saatnya memakai baju baru yang dibelikan ibu seminggu yang lalu. Tapi mendadak pula Dudung teringat sesuatu dan hal itu membuatnya merasa cemas.
“Kaos biru dan celana panjang hitam itu,kan, masih bagus,!” Dahi ibunya sedikit mengerut ketika untuk kesekian kalinya hari itu Dudung merengek minta dibelikan baju.
“Tapi itu,kan, sudah sering dipakai!” Dudung bersikeras, “Arul sama Nino sudah punya dua, Gandi sama Bobi juga mau beli besok,”
Ibunya tertawa sambil menepuk pipi Dudung, “Orangtua mereka banyak duit, kalau bapak-ibu Dudung pan bokek!”
Dudung memang sudah sering diberitahu kalau ibu yang biasa dagang keliling
gang bangkrut ditipu orang dan bengkel reparasi radio bapak juga semakin sepi pelanggan. Tapi puasanya tahun ini kan sudah sehari penuh, boleh dong minta sedikit hadiah? Maka Dudung mengeluarkan senjata pamungkas, menangis keras-keras sampai ibunya kewalahan membujuk.
“Iya deh, Dung,” Ibu merangkul Dudung, “Kita beli baju tapi nanti ibu harus nabung dulu barang satu-dua minggu.”
“Bener, bu?” Tangis Dudung langsung berhenti.
“Asal puasanya khatam, insya Allah deh ada rezekinya.” Ibu mengusap kepala Dudung yang manggut dengan mantap seolah menunjukkan tekadnya untuk berpuasa sampai tamat.
Begitulah hari-hari berikutnya cuma Dudung yang mendapat lauk telur untuk buka puasa atau makan sahur, sementara bapak-ibu cukup tempe bergiliran dengan tahu atau sekeping kerupuk. Dudung juga tidak protes saat kolak pisang favoritnya ditiadakan. Yah, demi baju baru!