Kian hari kian marak saja berita tentang ulah korup para petinggi di Tanah Air beta ini yang berseliweran sambung-menyambung di medsos bak sinetron kejar tayang tanpa epilog. Lengkap dengan tumpukan komentar di bawah setiap unggahan berisikan testimoni pilu para korban yang harus menanggung derita akibat kerakusan sosok-sosok yang seharusnya mengayomi dan memperjuangkan kesejahteraan mereka.
Berbagai varian obyek korupsi dari mulai pasokan telur rebus untuk posyandu seluruh Nusantara dalam program penanggulangan kasus stunting pada balita calon penerus bangsa, proyek pembangunan fasilitas umum yang mangkrak atau sudah tuntas namun menyisakan timbunan hutang pada para mitra yang mayoritas pengusaha lokal, penggelembungan anggaran pembangunan  4000 base transceiver station (BTS) 4G , sampai sajian makanan ringan untuk hidangan rapat-rapat instansi pun terkena tunda bahkan gagal bayar. Duh!
Mirisnya rentetan berita terungkapnya kasus-kasus pencurian uang negara ternyata tak membuat para pelaku yang terciduk merasa malu atau menyesal atas ulah mereka. Publik kerap disuguhi unggahan foto-foto di media massa yang memperlihatkan para tersangka koruptor tak sungkan memamerkan wajah cerah plus mengacungkan dua jari mengisyaratkan victory. Alih-alih menunduk malu karena tertangkap jadi maling uang negara, mereka malah pamer kepongahan. Kenapa bisa begitu ?
Praktik korupsi tidak lagi hanya sebatas terjadinya kejahatan struktural dan pelanggaran moral, dia telah menggurita sedemikian rupa membentuk banalitas. Banal, merujuk pada Purwantari (2010); Â artinya terbentuk pemikiran kolektif bahwa korupsi adalah suatu hal yang lumrah, biasa, dan wajar, bahkan dijadikan prinsip penggerak kehidupan sehari-hari.
Korupsi di Indonesia sudah sangat terstruktur dan masif dari jajaran eksekutif-legislatif-yudikatif pusat sampai ke para perangkat desa nun di pelosok. Sedemikian mengakar hingga cenderung diterima oleh masyarakat luas sebagai hal yang sudah lumrah terjadi. Akibatnya budaya malu korupsi pun mulai tergerus secara signifikan dalam tata kehidupan bangsa ini.
Belakangan ini banyak pemuka eksekutif yang getol mengajukan anggota-anggota keluarga mereka untuk berlomba memperebutkan tahta di jajaran eksekutif maupun legislatif. Politik dinasti ditengarai merupakan sarana untuk menjamin keamanan proses korupsi yang tengah berlangsung dan memelihara kesinambungannya untuk diwariskan sampai minimal tujuh generasi ke depan.
Tentu saja bisa diprediksi, Â pewaris masa depan bangsa macam apa yang otot-tulang-darah-dagingnya dibangun dari nutrisi hasil korupsi. Jargon 'anak harus lebih baik dari orangtuanya' yang juga diterapkan oleh para koruptor bisa menjadi ancaman serius terhadap kompetensi dan moralitas bangsa ini di masa depan. Quo vadis ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H