Bukan, judul di atas tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk malas atau jorok berjamaah. Ada syarat dan ketentuan berlaku terkait anjuran agar tak terlalu sering mencuci berbagai jenis busana berbahan batik, yaitu pemakainya wajib memelihara kebersihan tubuh alias rajin mandi. Jika apek keringat atau bacin cairan tubuh lain sampai meresap ke pori-pori baju batik, maka aroma yang meruap di setiap langkah pastinya takkan tertahankan hidung normal.
Kain yang digunakan sebagai kanvas alias media untuk dilukisi motif batik umumnya mengalami proses perebusan-penjemuran berulang-ulang sampai akhirnya dinyatakan siap untuk dipola dan dijahit sesuai kebutuhan, baik untuk pembuatan busana maupun perlengkapan dekorasi rumah tangga. Hal itulah yang membuat kain batik jadi rapuh alias gampang sobek kalau terlalu sering dicuci.
Proses cuci - setrika yang kelewat sering juga membuat warna baju batik jadi 'mbladus', belel dan kusam, sehingga tak cantik dipandang mata. Tapi untungnya kenyamanan nan adem berbaju batik tak ikut hanyut seiring melunturnya motif. Barangkali inilah rahasia dibalik keteguhan para emak mempertahankan daster-daster batik, yang meski sudah ada robekan kecil atau bertabur jahitan darurat di sana-sini, sebagai busana rumahan mereka sehari-hari. Para bapak pun tak berbeda, tetap nyaman bermain gawai atau menyapa tetangga dengan mengenakan sarung batik mereka yang sudah lusuh.
Belajar dari pengalaman sering harus mengalih-fungsikan celana pendek, kulot, dan piyama batik jadi lap; saya pun mengubah cara menjaga kebersihan koleksi baju batik. Oya, koleksi batik saya terbagi dalam dua golongan besar, hasil berburu di butik 'Empire' alias emperan toko semacam dengan produk batik yang ditawarkan di sepanjang pinggiran jalan Malioboro (Yogya) maupun perolehan belanja serius di mal dan butik asli. Perawatan keduanya relatif sama.
Setelah dipakai maraton selama 4-5 hari atau, khusus batik kondangan/resmi, 3-4 kali pakai dalam berbagai kesempatan (cek ulang aturan pada alinea pertama, ya) barulah masuk ember cucian. Batik kondangan/resmi biasanya saya cuci secara manual dan dikeringkan dengan menggunakan gantungan baju dengan menghindari paparan matahari secara langsung. Cukup diangin-anginkan saja dan sebisa mungkin tidak disetrika. Sementara batik santai untuk pemakaian sehari-hari di rumah, urusan mencucinya saya serahkan pada binatu langganan.
Penyimpanan baju batik dalam lemari tertutup sebaiknya menyertakan kamper gantung untuk menangkal rayap dan pastikan untuk secara rutin minimal sebulan sekali mengangin-anginkan koleksi batik formal agar kelembabannya terkendali sekaligus mencegah tumbuhnya jamur.
Alhamdulillah, langkah sederhana di atas ternyata efektif menurunkan frekuensi baju berubah jadi lap/lap pel dengan sangat signifikan.
Tentu saja metode praktis ini harus lebih disempurnakan dalam urusan merawat koleksi batik warisan leluhur yang berusia melebihi hitungan dekade atau jenis batik tulis khusus. Silahkan berselancar di jagad internet, di sana ada banyak panduan yang bisa dipilih sesuai kebutuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H