Ada opini menarik dari Kayleigh Price seorang mantan pemeran berbagai figur dongeng di Disney World yang dituliskannya untuk laman Insider (13/5) tentang pekerjaan yang semula bak impian menjadi nyata baginya, bisa menyalurkan kecintaan pada Disney yang bertumbuh sejak dia masih kanak-kanak dan dibayar pantas untuk itu, telah berubah menjadi murni sebuah ritual kerja keras akibat hempasan pandemi.
Dia menggambarkan pekerjaannya yang semula 'berdansa dengan anak-anak, berduel menggunakan light saber dengan pengunjung lintas usia, dan mendekatkan mereka pada tokoh-tokoh dongeng Disney' sebelum pandemi kini berubah drastis.
Pada tahun 2020, sebagaimana dipaparkannya untuk Insider, Â taman hiburan raksasa itu harus ditutup serta melakukan serangkaian pemutusan hubungan kerja pada 32000 pegawainya. Saat kemudian tahun ini dibuka kembali, Kayleigh termasuk salah seorang dari sedikit karyawan yang dipekerjakan kembali.
Sayangnya, alih-alih menghibur dan mengajak para turis bergembira ria seperti harapan mereka, kini dia lebih berfungsi sebagai penjaga keamanan yang harus berulangkali mengingatkan para pengunjung untuk memakai masker atau menjaga jarak. Kondisi yang membuatnya sangat tertekan sehingga, dengan berat hati, dia pun memutuskan untuk mundur agar bisa melanjutkan kehidupannya.
Pandemi memang momen yang sukses membuat banyak orang harus mengubah paradigma lama, termasuk untuk urusan pekerjaan. Ada banyak pekerjaan impian yang telah ditekuni selama ini ternyata tak mampu lagi mengakomodir perubahan drastis dari penerapan berbagai aturan yang ditujukan untuk menekan laju penyebaran Covid-19 yang ritmenya terkadang diam-diam menghanyutkan itu. Sekonyong-konyong publik disuguhi data pertambahan jumlah penderita atau kematian akibat terpapar virus itu.
Para pengelola jasa angkutan umum berbagai skala di Indonesia, misalnya, pasti merasakan juga hal serupa saat aturan larang mudik lintas kota-lintas provinsi diterapkan dalam masa liburan Idul Fitri 1442 H tahun ini. Armada kendaraan yang dibiarkan tidur di pangkalan, para pengemudi dan karyawan terkait lain dirumahkan, serta banyak pelaku sektor informal lain dari mulai pemilik warung nasi atau penjaja kopi asongan yang menggantungkan pemasukan mereka dari aktifitas perjalanan tersebut harus ikut terimbas.
Sementara kehidupan yang terus berjalan dengan segenap biaya operasionalnya tak bisa menunggu berlama-lama sampai mood kembali pulih seperti sediakala. Lagipula terlalu larut dalam keluh-mengeluh atau caci-mencaci hanya akan merusak kesehatan mental. Sebaiknya energi yang ada dikelola untuk berdamai dengan kondisi yang jauh berbeda dari sebelum pandemi lalu berkompromi untuk mencari solusi.
Tak perlu terlalu revolusioner kalau jatuhnya menuntut kelewat banyak modal finansial dan mental, lakukan hal yang sederhana namun bisa menghasilkan asupan yang bisa jadi belum sebesar profesi terdahulu namun nyaman dilakoni. Lebih baik lagi, kalau ada elemen dari rute profesi baru itu yang memang disukai.
Ada pilot yang bersalto menjadi pedagang bakmi, ada karyawan butik yang mengasong daster batik, ada manajer bank yang memilih mengaspal dengan mobil tuanya. Selama halal dan bisa meredakan tekanan hidup, tak perlu pusing dengan kenyinyiran orang lain dan urusan gengsi yang salah tempat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H