Kelahiran Nabi Musa Alaihissalam (AS) di era Firaun, yang menurut banyak sumber sebagaimana dirilis nationalgeographic.com, bernama Ramses II merupakan anti klimaks bagi undang-undang ‘ membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir di kalangan Bani Israil’ yang dirilis raja Mesir dengan rekor pemerintahan terlama (66 tahun) itu. Tarikh menunjukkan bahwa pada akhirnya bayi Musa justru tumbuh di dalam kerajaan Firaun sebagai salah seorang pangeran Mesir yang berprestasi, menurut britannica.com, dalam mengarahkan sektor agama, sipil, dan militer negeri tersebut.
Rasa keadilan Musa muda yang dalam perjalanan menuju kedewasaannya mendapati jatidiri sesungguhnya sebagai keturunan Bani Israil, bagian dari masyarakat Mesir yang sangat terhinakan karena rezim kerajaan hanya membolehkan mereka mencari nafkah sebagai buruh kasar bahkan budak belian, bertumbuh pesat sedemikian rupa sampai sangat menyesakkan dada. Posisinya sebagai anak angkat Firaun pastinya sangat dilematis bagi Musa yang berbudi luhur, antara tak ingin mengkhianati orang yang sudah berjasa membesarkannya dengan sangat baik dan hasrat untuk menegakkan keadilan bagi bangsanya sendiri.
Dilema yang akhirnya terpecahkan saat dia terpaksa membunuh seorang mandor Mesir yang memukuli seorang budak Bani Israil sampai nyaris mati dan saat harus buron karena aksinya itu terkuak justru gara-gara ulah orang yang telah dia tolong, Musa pun memulai perjalanan panjang kiprah kerasulannya dalam membimbing Bani Israil.
Pada masa pelarian itulah interaksi non formal Musa dengan Rabb-nya terjalin secara lebih intens, apalagi selanjutnya saat di Madyan dia bertemu seniornya Nabi Syu’aib AS yang kemudian menjadi mertuanya (kisah selengkapnya silahkan lihat QS Al -Qasash (28) ayat 23-28). Setelah menetap di Madyan selama sekitar 8-10 tahun untuk membantu Nabi Syu’aib mengelola usaha peternakan sebagai mahar untuk menikahi salah seorang putrinya, Musa yang sudah mendapat pembekalan seputar syiar keislaman pun berpamitan untuk kembali ke Mesir bersama istrinya.
Pada perjalanan pulang menuju Mesir, tepatnya di Muqaddasi Thuwa, Musa menerima wahyu dari Rabb Azza wa Jalla yang berisi perkenalan secara formal Sang Khalik,‘Hai Musa, Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. Dan, Aku telah memilih kamu maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku’ (QS Thaha (20) ayat 11-14).
Itulah wahyu pengangkatannya sebagai Nabi sekaligus Rasul. Pada momen itu pula Allah Subhanahu wa ta’alaa (SWT) memperkenalkan Nabi Musa pada mukjizat pertamanya berupa tongkat kayu yang bisa berubah menjadi ular besar. Modal berharga yang kelak digunakannya untuk mengislamkan para penyihir andalan Firaun.
Setibanya di Mesir, merujuk pada hasil penelitian forensik ahli bedah kenamaan sekaligus ilmuwan Perancis terkemuka Maurice Bucaille sebagaimana dirilis gatra.com, Musa mendapati bahwa Ramses II telah meninggal. Penyebab kematian Ramses II, menurut laman worldhistory.org, diduga merupakan komplikasi dari penyakit gigi, arthritis parah, pengerasan pembuluh arteri, namun terutama diakibatkan oleh usia lanjut dan gagal jantung.
Raja yang memerintah Mesir sepeninggalnya adalah saudara angkat Musa yang merupakan anak kandung ke-13 Ramses II bernama Merneptah. Firaun satu ini berlatar militer dan sering melakukan agresi pada bangsa Palestina.
Musa yang akhirnya diperintahkan untuk mengajak secara langsung Firaun menerima ajaran tauhid, rupanya merasa sedikit gentar sehingga meminta ijin dan diperkenankan oleh Allah SWT untuk mengajak saudaranya Harun AS ikut dalam misi kerasulan tersebut.
Begitulah Musa pun mulai intens menjalankan tugasnya melalui perdebatan dengan Merneptah yang meski kalah wacana namun tetap ngotot menyebut dirinya tuhan dan adu kekuatan dengan para penyihir andalan kerajaan yang berakhir dengan turunnya hidayah yang membuat mereka memutuskan untuk putar haluan dan menyembah Allah SWT.
Akhirnya Firaun yang merasa singgasananya terancam memaklumatkan hukuman potong tangan, potong kaki,hukum gantung, dan sejenisnya bagi mereka yang tidak mau tunduk serta mengakui dirinya sebagai tuhan (H Bey Arifin, ‘Rangkaian Cerita dalam Al-Qur’an, 2015). Saat peraturan ini terbukti tidak mempan, Merneptah pun memprovokasi para bangsawan bawahannya untuk bertindak yang disambut dengan usulan membunuhi para lelaki Bani Israil yang segera disetujui dan dijadikan undang-undang sehingga pembunuhan pun merajalela.