Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Puasa Bedug dan Petasan Geprek

19 April 2021   09:29 Diperbarui: 19 April 2021   09:38 1115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keberadaan bedug di Indonesia, sebagaimana dirilis historia.id, sering dikaitkan dengan dakwah Islam yang melibatkan nama perwira China muslim utusan Kaisar Ming yang bernama Laksamana Cheng Ho dan kiprah Walisongo.

Pada abad ke-15 Cheng Ho ditengarai membuat kagum raja Semarang yang dikunjunginya saat mempertunjukkan defile pasukan menggunakan ritme bedug sebagai pengontrol baris berbaris dan sebelum pamit, dia menawarkan hadiah apa yang dikehendaki sang raja sebagai tanda mata. 

Ternyata bedug menjadi pilihan karena raja tersebut menginginkan suara bertalu-talunya berkumandang di seantero masjid-masjid Semarang sebagai penanda akan masuknya waktu sholat fardhu. Maklum saat itu secara umum masyarakat kita belum mengenal pengeras suara hingga panggilan para muadzin hanya bisa menjangkau area yang sangat terbatas.

Sementara Sunan Gunung Jati, salah satu dari Walisongo yang zona dakwahnya di Jawa Barat, memprakarsai lahirnya Tradisi Tabuh Drugdag yang sampai saat ini masih terus dilestarikan oleh Keraton Kasepuhan Cirebon untuk menyambut bulan suci Ramadan (indonesia.go.id, 28 Juni 2019).

Laman yang sama juga menyebutkan bahwa tradisi itu dilakukan dengan cara menabuh bedug dari irama lambat lalu berangsur-angsur cepat, lebih cepat, dan lebih cepat lagi. Selain sebagai penanda berakhirnya bulan Syaban dan hadirnya Ramadan, ritme itu juga memiliki makna simbolis perjalanan hidup manusia dari lahir sampai ke liang lahat.

Ritme tersebut ternyata sampai ke masa kanak-kanak kami dan menjadi momen yang sangat dinanti-nanti saat shaum Ramadan karena merupakan penanda saat berbuka puasa. Jangan salah, bukan hanya bedug Magrib yang kami tunggu semasa kecil. Awal Ramadan adalah momen bagi bedug Zhuhur, pertengahannya bedug Ashar, dan jelang Lebaran akhirnya bedug Magrib tampil sebagai primadona audio kami. Bocah-bocah yang belum baligh memang belum terikat kewajiban menjalankan puasa Ramadan penuh waktu, jadi kami melatih diri secara bertahap dari bedug ke bedug sesuai kemampuan masing-masing. Fenomena itulah yang melahirkan istilah 'puasa bedug'.

Awalnya senang sekali bisa lebih cepat mengakhiri derita lapar-haus, namun lama-lama tumbuh rasa menyayangkan.  Apalagi saat menguping obrolan para ibu yang membanggakan anak-anak mereka yang masih kecil tapi sudah kuat berpuasa sampai Magrib. Jelas kami tidak mau kalah. Bapak pun menjanjikan hadiah ekstra uang jajan Lebaran bagi siapa saja di antara kami yang sanggup puasa secara penuh. Tentu saja, kami pun semakin tidak mau kalah.

Aktifitas rutin mengaji di pesantren petang Masjid 'Darul Hidayah' yang tak jauh dari rumah pun tetap berjalan. Bedanya dari hari-hari biasa, selama Ramadan para ustadz memulangkan kami sebelum bedug Magrib. Lumayan ada waktu untuk bermain-main sebentar sebelum buka puasa. Kami bersama teman-teman sekitar melakukan banyak permainan motorik dari mulai kucing-kucingan, lompat tali, dan sebagainya. Namun ada juga permainan lain yang cukup menguji nyali.

Jika di malam hari kembang api mendominasi permainan, maka pada sore hari berbagai petasan merupakan favorit kami. Berbagai petasan dari mulai petasan sundut berbagai ukuran, yang begitu tersulut kami harus segera lari sambil menutup kuping menjauh agar tak tersentuh serpihan panas dan gelegarnya saat meledak, sampai petasan yang cara membunyikannya harus diletakkan di permukaan yang keras lalu digeprek dengan batu.

Percikan api maupun gelegar suaranya memang tidak sedahsyat petasan sundut, namun petasan geprek berbentuk gulungan lembaran kertas merah seukuran pita rambut dengan bentol-bentol hitam kencil di sepanjang permukaannya. Bentol itulah yang harus digeprek agar meledak lembut sambil memercikkan pijar kecil api.

Semua keseruan berakhir saat bedug bertalu-talu di kejauhan. Tanpa dikomando, gerombolan bocah-bocah pun bubar jalan dengan hiruk-pikuk masuk ke rumah masing-masing memburu hidangan berbuka yang telah disiapkan ibu tercinta mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun