Selepas Isya tadi malam (13/4) dengan berbekal mukena dan sajadah, saya mengayun langkah ke Masjid Fathurrahman yang terletak tidak seberapa jauh dari basecamp. Rindu akan beribadah di masjid sudah menggumpal, tertumpuk sejak Ramadan tahun silam saat pandemi membuat rumah-rumah peribadatan harus ditutup hingga tidak bisa difungsikan sebagai tempat perkhidmatan kolektif umat untuk menghindari penularan Covid-19.
Ada sensasi berbeda saat mengucap salam pada jamaah muslimah yang sudah terlebih dahulu menempati area khusus perempuan yang terletak di balik bentangan tirai tebal di belakang jajaran shaf terakhir kaum bapak. Sekilas pembatasan sosial terlihat dari situasi masjid yang tak seramai saat  Ramadan pra-pandemi dulu.
Menghampar sajadah setelah terlebih dahulu mengucap permisi pada  mereka yang terpaksa saya belakangi karena mayoritas ibu-ibu, terutama mereka yang berusia agak lanjut, memang lebih suka ada di barisan paling belakang. Maklum posisinya dekat dinding yang memungkinkan mereka bersandar atau selonjoran agar bisa lebih nyaman menyimak tausiyah  yang tengah diberikan ustadz di mimbar. Biasanya sambil setengah terkantuk-kantuk ....
Setelah duduk manis bermukena dan membuka aplikasi Al Qur'an digital di ponsel untuk mengejar target tadarus, saya pun menyimak paparan ustadz tentang 'hari ini harus lebih baik dari kemarin karena kalau tidak,  kita akan termasuk orang yang merugi'. Sementara benak yang dipenuhi euforia 'bisa kembali Tarawih berjamaah di masjid' mulai mengorek arsip memori suasana aktifitas serupa di Ramadan era lockdown.
Di basecamp kala itu, yang cuma didiami tiga cewek karena para penghuni lainnya terkunci di daerah perantauan masing-masing , kami memutuskan untuk bergiliran menjadi imam khusus pelaksanaan sholat Tarawih. Pada malam pertama saya, selaku yang paling senior, didapuk memimpin. Tak dinyana, meski makmum yang cuma dua orang itu notabene saya kenal akrab banget, saya toh tetap deg-degan alias demam panggung sebelum dan saat mengimami mereka.
Rangkaian surah-surah Al Qur'an yang sudah saya rencanakan untuk saya baca setelah Al Fatihah ternyata tercerai-berai dalam ingatan sehingga terpaksa banting setir ke surat-surat pendek andalan seperti Al Ikhlas, Al Falaq, An Naas, Al Ashr, atau Al Kautsar.
Format yang saya pakai waktu itu 4-4-3 , 4 rakaat Tarawih sebanyak duakali salam lalu ditutup 3 rakaat Witir, dan saya cukup percaya diri bahwa setidaknya untuk urusan rakaat sudah terlaksana dengan baik sampai salah seorang makmum nyeletuk,"Tadi itu kok ada yang dua rakaat, ada yang empat ... ."Jadi Tarawih jilid pertama episode pandemi kami pun berakhir dengan tandatanya yang bermuara pada istighfar, berharap Rabb mengampuni kecerobohan saya sebagai imam.
Dua imam kagetan lainnya pun tak lolos dari urusan switch surah di tengah jalan, awalnya  An Naziat lalu baru sampai sepertiga bagian terpaksa pindah ke surah lain yang menempel di kepala saat itu. Sebenarnya tak perlu demikian, kami bisa langsung mengomandokan ruku' setelah membaca sampai bagian surah yang mampu diingat saat itu.
Maka semalam, saat berdiri bersidekap dalam rakaat demi rakaat Tarawih sebagai makmum, dengan bahagia dan lega saya mendengarkan baik-baik surah-surah yang dibacakan imam . Mengulangnya dengan suara pelan setelah beliau, kalau memang saya bisa.
Di setiap penghujung Al Fatihah ada ukhuwah yang indah, momen yang selalu saya nantikan, saat kami semua sebagai imam maupun makmum bersama-sama memanjatkan harapan akan pengabulan doa kami padaNya : 'Aaamiiiiin ...'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H