Kompas edisi Minggu (12/7) lalu terasa sungguh gurih merasuk jiwa berkat unek-unek santun Bre Redana yang digelarnya di rubrik Udar Rasa. Beberapa isu humaniora dengan cerdas diurai oleh pengagum esais dunia Umber Echo itu dalam tulisan pendek berjudul 'Lihat, Rambut Saya Putih Semua...'.
Pandemi, menurut Bre, telah memupuk teknologi digital menjadi semacam alat super bagi semua orang untuk mewujudkan impian, termasuk kepraktisan dalam berbagai aspek kehidupan. Berkat interaksi online; para pecinta kuliner bisa menikmati menu yang diinginkan tanpa harus ribet pergi ke resto, mereka yang gemar ngobrol pun tak perlu sibuk ketemuan dengan kelompok sosialnya, dan buat yang hobi berbagi ilmu apa saja ('termasuk yang tidak diketahuinya', tulis Bre) bisa membuat berbagai webinar sesuai keinginan.
Saking integralnya urusan online dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, Bre sampai menyimpulkan bahwa 'Yang perlu diorkestrasi sekarang hanyalah citra. Marah dan senyum pun jangan-jangan perlu geladi bersih sebelumnya di bawah bimbingan pakar penampilan. Rakyat dianggap cuma butuh hiburan, bukan kebenaran. Buronan berkeliaran seenaknya difasilitasi mereka yang dengan tanpa merasa dosa mempermalukan negara...'.
Entah kecamuk emosional macam apa yang bergalau dalam diri Bre saat menulis opininya itu, satu hal sudah pasti bahwa saya adalah bagian dari 'Rakyat' yang ditulisnya dalam alinea (yang bagian akhir terkait komunisme sengaja tidak saya kutip karena butuh pembahasan tersendiri, -pen.) itu.
Rasanya lega, tulisan Bre bisa mengungkap segenggam ketidakpuasan yang menyumpal sehingga menjadi gundukan dongkol dalam diri saya belakangan ini. Terus terang saja, ada kilasan wajah-wajah dan nama-nama tokoh negeri ini yang berkelebat dalam benak saat membaca alinea itu.
Jujur sekaligus bijak memang karakter yang mulai langka dijumpai dalam keseharian kita saat ini. Jujur mengutarakan kebenaran dan bijak dalam menyikapi resiko-konsekuensinya memang bukan sebuah karakter yang bisa terbentuk dalam dua-tiga episode durasi drama Korea. Butuh proses pemahatan sejak dini dan konsisten sampai fase dewasa muda. Sesuatu yang nampaknya muskil dicapai bila penerapan pendidikan formal secara online diberlakukan secara hantam kromo lintas jenjang pendidikan tanpa studi kelayakan yang memadai dalam jangka waktu mencukupi.
Infiltrasi nilai-nilai yang buruk akan sangat mudah menerobos pola berpikir anak-anak usia dini dalam menyikapi berbagai fenomena sosial yang terjadi di sekelilingnya dan berpotensi akan membangun sikap permisif dalam menangani berbagai masalah yang menghampiri kehidupan sehingga mereka dikuatirkan akan bertumbuh menjadi generasi oportunis yang tak segan melabrak norma sosial-religius-konstitusi untuk meraih apa pun yang diinginkan di masa mendatang.
Bagaimana pun proses belajar tatap-muka bersama teman-teman di bawah bimbingan seorang guru adalah bagian mengasah sisi kemanusiaan sebagai makhluk sosial dimana segenap panca indera berkolaborasi untuk menangkap gambaran utuh tentang bagaimana seorang manusia menerima diri sendiri lalu orang lain dengan sebaik-baiknya.
Guru yang baik tentu saja wajib memiliki kapasitas tertentu, bukan tipe yang dibilang Bre suka ' ... membagi ilmu apa saja, termasuk yang tidak diketahuinya...'; dan memahami betul panduan dasar pembangunan karakter anak didiknya. Hal tersebut tidak akan bisa tergantikan oleh aplikasi edukasi secanggih apapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H