Minggu lalu, sebagaimana dilansir CNBC, Presiden Donald Trump mengunggah pesan di akun Facebook dan Twitter-nya yang menyebutkan soal adanya kecurangan dalam kotak suara pemilu dan mengancam akan menurunkan pasukan National Guard untuk meredam gelombang unjuk rasa menuntut keadilan atas kematian George Floyd yang berlangsung di Minneapolis dengan menyatakan 'when the looting starts, the shooting starts'Â ('saat penjarahan dimulai, (maka) penembakan pun akan dimulai').
Ketua Dewan Perwakilan AS, Nancy Pelosi, merespon unggahan Trump itu dengan menyatakan bahwa seorang presiden seharusnya 'tidak membubuhkan minyak pada kobaran api yang tengah menyala' tapi sebaiknya fokus pada 'menyatukan negara kita' (The Hill, 31 Mei 2020).
Pelosi, dalam program TV ABC 'This Week', menambahkan bahwa dia tidak terlalu peduli dengan isi cuitan Trump karena itu berarti menelan umpan yang dilontarkan Trump untuk mengalihkan perhatian publik atas kebiadaban oknum polisi dalam aksi penahanan yang berujung kematian tragis Floyd,""Aku sedang berbicara tentang ketidakadilan, lutut (yang ditekan kuat) di leher (tersangka yang sudah diborgol dan terkapar di tanah)."
Dua perusahaan raksasa digital medsos, Twitter dan Facebook, memberikan respon yang berbeda terhadap unggahan Trump.
Twitter menggusur cuitan Trump tentang 'kecurangan pemilu' dengan peringatan pelanggaran syarat dan ketentuan berlaku, sementara cuitan 'penjarahan berujung penembakan' dihapus karena berlawanan dengan kepentingan publik (CNBC, 1 Juni 2020).
Sementara Facebook membiarkan dua unggahan Trump yang sama berkibar di platformnya meski CEO Mark Zuckerberg melalui akunnya Jumat (29/5) lalu menulis,"Saya sangat tidak setuju dengan cara Presiden membicarakan hal ini, tetapi saya percaya orang harus dapat melihat ini untuk diri sendiri, karena pada akhirnya (menuntut) pertanggungjawaban bagi mereka yang berada di posisi berkuasa hanya dapat terjadi ketika pidato mereka diteliti secara terbuka."
Selain itu, sebagaimana diutarakannya pada CNBC, Zuckerberg berpendapat bahwa jejaring medsos tidak harus menjadi 'perantara kebenaran' dan dia memutuskan bahwa celoteh Trump tidak melanggar kebijakan Facebook.
Sikap Zuckerberg ini langsung direspon Trump dengan melakukan pembicaraan 'produktif' entah tentang apa dan Gedung Putih menolak berkomentar soal itu.
Namun, entah kebetulan atau tidak, di hari yang sama Zuckerberg melansir unggahan tentang kebijakan Facebook mempertahankan posting Trump yang berpotensi memperbesar kerusuhan rasial di AS, Jumat (29/5) lalu sang Presiden menandatangani perintah eksekutif yang menindak prosedur "sensor" oleh situs media sosial.
Langkah ini secara luas dipandang sebagai reaksi terhadap keputusan Twitter untuk menggusur cuitan Trump tentang surat suara. Kelompok industri teknologi mengecamnya dengan mengatakan hal itu dapat mengekang kebebasan berbicara alih-alih melindunginya seperti yang dimaksudkan Trump.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H