Pertengkaran pecah di Parlemen Hong Kong antara para anggota legislatif pro-demokrasi dengan anggota pro-Beijing pada Jumat (8/5) lalu bahkan berkembang jadi perkelahian fisik saat kedua kubu sama-sama ngotot untuk menduduki kursi ketua  komite legislatif utama (TIME,8 Mei 2020).
Hal itu pertanda aktual bahwa ketegangan atas peran Beijing di bekas jajahan Inggris ahtersebut meningkat lagi dan masih belum jelas apakah hal tersebut juga akan memicu aksi-aksi turun ke jalan karena sebagian warga Hong Kong baru bisa menyarakan protes mereka setelah pandemi coronavirus hampir sepenuhnya terkendali di sana.
Kericuhan, menurut media setempat, bermula saat seorang anggota parlemen pro-Beijing bernama Starry Lee berlari ke podium untuk mengamankan kursi setelah rapat lain berlangsung. Rekan-rekan sekubunya dan penjaga keamanan mengelilingi Lee lalu adu mulut disusul aksi saling dorong terjadi ketika anggota kubu pro-demokrasi berusaha untuk mengambil alih kursi yang 'disandera' itu.
Sebuah video yang beredar di media sosial memperlihatkan seorang anggota parlemen pro-demokrasi berjalan mengendap ke dinding untuk mendekati kursi ketua sebelum diseret oleh penjaga keamanan.
Adegan lain memperlihatkan legislator pro-demokrasi Claudia Mo terjerembab ke kursi setelah terkena plakat yang dilemparkan ke seberang ruangan. Anggota lain dari kubu pro-demokrasi dibawa pergi oleh paramedis dengan tandu setelah terluka dalam huru-hara tersebut. Beberapa anggota parlemen pro-demokrasi dikeluarkan dari ruangan dan dibawa pergi oleh petugas keamanan.
Mo mengatakan pada TIME bahwa dia terkejut dengan kejadian itu karena hal tersebut menunjukkan bahwa "Pada akhirnya itu berarti Beijing akan menginjak-injak legislatif Hong Kong dengan segala cara, mereka akan melakukan apa saja untuk membungkam kami".
Kubu-kubu yang berselisih itu telah menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk memilih anggota yang berhak menduduki kursi komite yang nantinya bertanggung jawab untuk meneliti berbagai draf rencana undang-undang (RUU) sebelum mereka melangkah ke pemungutan suara akhir.
Kepala Eksekutif kota itu, Carrie Lam, menuduh kubu pro-demokrasi "melakukan aksi menunda-nunda pekerjaan yang berbahaya" untuk menghentikan proses pembahasan RUU yang tengah berlangsung di Legislative Council (Legco). Salah satu draf yang tertunda pengesahannya adalah RUU kontroversial yang akan mengkriminalisasi penyalahgunaan lagu kebangsaan China (TIME, 8 Mei 2020).
Beijing juga mempertimbangkan untuk mengecam tindakan anggota parlemen pro-demokrasi itu.
Legco Hong Kong memang dirancang sedemikian rupa sehingga kubu pro-Beijing menjadi mayoritas. Willy Lam, asisten profesor di Pusat Studi China Universitas Hong Kong, menjelaskan pada TIME bahwa kubu pro-demokrasi,"... tidak ingin memilih seorang ketua karena begitu seorang ketua telah dipilih, kubu pro-kemapanan (Beijing) akan (secara formal) memiliki suara mayoritas sehingga mereka dapat meloloskan semua jenis undang-undang (tanpa hambatan)."
Perkelahian serupa pernah terjadi di Legco hampir setahun yang lalu saat membahas RUU Ekstradisi yang akan memungkinkan tersangka dikirim ke pengadilan di daratan China yang sistem hukumnya terkenal buram. Protes yang meluas atas RUU Ekstradisi yang kemudian ditarik itu telah menjerumuskan Hong Kong ke dalam kerusuhan selama berbulan-bulan pada tahun 2019 dan awal 2020.