Ketua World Health Organization (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menyatakan pada Rabu (8/4) di hadapan wartawan di Jenewa bahwa Taiwan telah bersekongkol dalam kampanye penghinaan berbau rasis dan ancaman pembunuhan terhadap dirinya selama tiga bulan terakhir. Â
Namun pernyataan Tedros direspon Kementerian Luar Negeri Taiwan keesokan harinya dengan mengatakan tuduhan Tedros tidak berdasar dan negaranya menuntut permintaan maaf dari pejabat PBB tersebut (The Washington Post, 9 April 2020).
Tedros, seorang mantan menteri kesehatan dan menteri luar negeri Ethiopia, telah menuai kritik tajam yang terus meluas atas penanganannya terhadap wabah  Covid-19 sejak Januari lalu karena berulangkali mendukung kebijakan Beijing serta terus memuji-muji penanganan China atas wabah Covid-19.
Selama berminggu-minggu tindakan Tedros yang dinilai bias politik itu membuatnya kebanjiran kritik bukan hanya dari para pembangkang China atau aktifis anti-Beijing, namun juga dari warga Hong Kong dan Taiwan yang membanjiri jagad medsos dengan berbagai unggahan yang menuduh Tedros telah berbohong karena pengaruh pemerintah China termasuk memajang kartun yang menggambarkan dirinya dibutakan oleh Partai Komunis China. Kesemua konten yang terbuka untuk dipolitisir tersebut pada akhirnya berubah menjadi pelecehan.
Rupanya fenomena di atas membuat Tedros gusar sehingga mengeluarkan pernyataan yang sangat emosional di luar kebiasaannya,"Taiwan, termasuk Kementerian Luar Negerinya, mengetahui kampanye (negatif) itu tapi bukannya menjauh; mereka malah mengkritik saya di tengah-tengah penghinaan dan cercaan itu. Tapi saya tidak peduli."Katanya Rabu lalu di Jenewa.
Kementerian Luar Negeri Taiwan mengatakan pada hari Kamis bahwa negerinya "tidak akan pernah mendukung" setiap serangan yang ditujukan pada pribadi dan mengutuk "segala bentuk diskriminasi."Namun dia menambahkan bahwa wajar saja WHO menuai kritik dan kemarahan massa akibat perilaku organisasi itu sendiri selama tiga bulan terakhir.
"Ada beberapa pertanyaan tentang penanganan (WHO atas) situasi ini."Lanjut pihak kementerian itu. "Di dalam masyarakat demokratis, orang harus dapat mengekspresikan pendapat secara bebas."
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen, dalam posting Facebook Kamis (9/4), merespon tuduhan Tedros dengan menulis,""Selama bertahun-tahun, kami telah dikeluarkan dari organisasi internasional, dan kami tahu lebih baik daripada orang lain bagaimana rasanya didiskriminasi dan diisolasi. Saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengundang Direktur Jenderal Tedros berkunjung ke Taiwan dan merasakan langsung bagaimana komitmen orang-orang Taiwan untuk terlibat dan berkontribusi pada dunia, bahkan ketika tengah mengalami diskriminasi dan isolasi."
Sebagaimana diketahui secara global bahwa China menganggap pulau yang berpenduduk 23 juta orang dan berada di bawah otoritas Taiwan sebagai wilayahnya sehingga tidak mengizinkan negara, organisasi internasional, dan perusahaan multinasional untuk secara resmi mengakui Taiwan sebagai negara merdeka jika mereka ingin menikmati hubungan diplomatik atau komersial dengan China.Â
Kondisi politik di atas sepertinya melatari tindakan pejabat Taiwan bulan lalu yang menuduh WHO mengabaikan peringatan dini adanya potensi wabah coronavirus jenis baru pada Desember 2019 yang disampaikan negaranya. Akibatnya informasi penting itu tidak sampai ke negara-negara anggota WHO karena organisasi tersebut menganut kebijakan yang dilakukan China (The Washington Post, 9 April 2020). Sebuah tindakan berakibat fatal yang menyebabkan pandemi terlambat di tangani dan terlanjur meluas ke seluruh dunia.
Beberapa pakar kesehatan internasional, termasuk para penasihat WHO saat ini, telah secara terbuka mempertanyakan apakah organisasi tersebut terlalu akrab dengan China terkait coronavirus, terutama ketika tanda-tanda akan terjadinya wabah mulai terlihat selama Januari lalu.