Sepuluh tahun ( ada sebagian ulama meyakini 8 tahun) pertama masa kenabian Rasul shallallahu 'alaihi wasallam (SAW) ditandai dengan beberapa momen yang memicu kesedihan mendalam di hati beliau. Diawali berpulangnya secara berturut-turut dalam selang waktu yang pendek dua pendukung utama dakwahnya, yaitu sang paman Abu Thalib bin Abdul Muththalib dan istri tercinta yang sangat dihormatinya Siti Khadijah RA Â kembali ke rahmatullah.
Berpulangnya kedua sosok tersebut membuat posisi Rasulullah kian tersudut dan berdakwah di Mekkah kian sulit dilakukan. Beliau mencoba mengalihkan target dakwah ke masyarakat di kawasan Thaif dengan harapan mereka lebih terbuka dalam menerima ajakannya, namun beliau justru dicacimaki bahkan dilempari batu sampai terluka.
Rentetan kesedihan di atas membuat tahun kesepuluh dalam masa kenabian Rasul SAW disebut 'azmul huzni' (tahun dukacita). Saat itulah Rabb menganugerahi Rasul-Nya dengan 'tasliyah'Â (penghiburan) dengan mengutus Jibril mendatangi beliau yang tengah berbaring rehat seusai shalat isya di Masjidil Haram.
Hadist Riwayat (HR) Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi memaparkan bahwa Jibril melakukan semacam tindakan operasi membelah dada Rasul SAW dan beliau bersabda,"Kemudian hatiku dikeluarkan, lalu dicuci dengan air zamzam, lalu (sesudahnya) dikembalikan ke tempatnya semula dan diisi dengan keimanan dan hikmah."
Pembedahan itu tentu saja berbeda dengan operasi medis saat ini yang dilakukan untuk mengeluarkan penyakit, al-Habib Ali al-Habsyi dalam bukunya 'Maulid Simthu ad-Durar' menyatakan bahwa,'"Sesungguhnya para malaikat tersebut tidaklah mengeluarkan sesuatu dari diri beliau SAW. Akan tetapi sesungguhnya mereka telah menambah kesucian di atas kesucian pribadi beliau SAW.' (Ikmal Online, 30 November 2017).
Jadi operasi yang dilakukan Jibril adalah untuk menambah kadar kesucian dari kesucian yang memang sudah ada dalam diri Rasul SAW.
Setelah itu barulah didatangkan 'buraq'Â untuk dikendarai Rasulullah melakukan perjalanan di malam hari dari Masjidil Haram-Mekkah ke Masjidil Aqsa-Palestina ('isra').
Covid-19 Bisa Menjadi 'Tasliyah'
Tahun 2020 ini masih banyak kasus persekusi umat Islam di seluruh penjuru dunia yang masih berlangsung dari mulai jutaan Muslim Uygurs yang dijebloskan ke dalam kamp-kamp rehabilitasi ideologis lengkap dengan segala kekerasan yang dilakukan rezim pemerintah China sejak April 2017 (Radio Free Asia, 19 Maret 2020), Muslim Rohingya yang menjadi korban politik genosida rezim penguasa Myanmar sejak Agustus 2017 (BBC News, 23 Januari 2020), dan terakhir kasus pembantaian umat Islam di India akibat undang-undang kewarganegaraan baru yang sangat diskriminatif terhadap mereka (The Washington Post, 7 Maret 2020). Sebenarnya masih banyak kasus serupa di berbagai negeri yang kurang mendapat perhatian media massa.
Sejarah Rasul SAW dengan tahun dukacita yang membuat beliau dianugerahi tasliyah dalam bentuk isra miraj adalah inspirasi yang sangat layak untuk diteladani karena Muslim butuh 'pembelahan dada' untuk membersihkan hati (berbeda dengan Rasul SAW yang terpelihara dari dosa besar dan ma'sum, umat beliau tak luput dari dosa) agar semakin bertambah keimanan sehingga dimudahkan memperoleh hikmah.
Derita fisik dan mental selama mendapat penzaliman sistematis bisa disikapi sebagai proses pembersihan hati, sementara wabah Covid-19 bisa disikapi sebagai tasliyah bagi mereka.