Saat jajaran tinggi penasehat keamanan nasional Presiden Donald Trump memberi penjelasan kepada Kongres AS pekan lalu tentang metode intelijen yang digunakan untuk pembenaran aksi pembunuhan jenderal Iran Qassem Soleimani; banyak anggota parlemen yang menggugat sikap tim Trump, khususnya ketua Kepala Staf Gabungan Jendral Mark Alexander Milley, yang terkesan membela habis-habisan sang presiden meski jelas melanggar prosedur yang berlaku (CNN, 13 Januari 2020).
Jendral Milley, menurut sejumlah sumber CNN yang hadir saat penjelasan dipaparkan,  merupakan pembela Trump yang paling vokal terkait informasi intelijen yang melatari serangan terhadap Soleimani. Orasi retorik jendral senior itu dinilai sebagian kalangan 'terlalu memaksa' dan 'memalukan'. Namun tentu saja ada yang membela Milley dan menyebutnya 'perantara yang jujur' yang sekedar menyampaikan pesan versi Trump beserta tim-nya.
Namun, terlepas dari berbagai tanggapan di atas, tetap saja momen penjelasan plus aksi penyerangan terhadap Soleimani menjadi saat kritis bagi jendral bintang empat berusia 61 tahun tersebut yang selama ini dikenal sebagai non-partisan. Milley harus mempertaruhkan reputasi netralitasnya saat harus membela kebijakan politik luar negeri yang dinilai paling kontroversial dalam era kepresidenan Trump itu
Milley, berdasarkan rangkaian wawancara CNNÂ pda pejabat militer dan mantan petinggi Pentagon, adalah seorang ahli taktik militer yang pemikirannya mendalam dan brilian serta digambarkan sebagai seorang pemikir ilmiah di balik penampilannya yang sangat khas petarung sebagaimana telah dibuktikan dalam pengalaman bertempurnya, termasuk di Irak dan Afghanistan.
Sebagian kalangan mempertanyakan kemampuan Milley dalam menangani urusan politik, khususnya terkait tugas memberikan saran pada sosok presiden yang begitu meledak-ledak. Salah seorang pensiunan militer yang pernah menjadi bawahan Milley di Afghanistan mengungkapkan bahwa terlepas dari rekam jejaknya sebagai pejuang perang yang mumpuni, sang jendral kemungkinan 'kurang persiapan untuk menghadapi berbagai kenyataan politik dalam tugasnya sebagai penasehat pemerintahan Trump'.
Sosok yang sama juga mengingatkan bahwa," Sebelumnya Trump telah memperlihatkan bagaimana dia merangkul para pemimpin senior militer baik yang masih aktif maupun sudah purna tugas lalu mengeksploitasi kredibilitas mereka hanya untuk 'dimuntahkan' kemudian dengan reputasi yang tercemar."
Istilahnya 'habis manis, sepah dibuang' dan perilaku demikian bukanlah hal yang tabu dalam dunia politik, apalagi bila dihubungkan dengan karakter bombastis manipulatif sebagaimana yang diperlihatkan Trump secara terbuka selama ini. Sebaiknya Jendral Milley mempersiapkan diri untuk menerima konsekuensi tersebut secara taktis agar pada saatnya, bisa mundur dengan kehormatan tetap terjaga.
Bagaimanapun institusi militer yang tidak terintervensi kepentingan politik sesaat dan berpihak pada kepentingan rakyat dalam menjalankan fungsi serta tugas pokoknya adalah idaman setiap warga negara di dunia. Semoga Jendral Milley, yang diketahui sangat protektif dalam menjaga hubungannya dengan Presiden Trump, tak melupakan hal ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H