Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saat Aroma Sup Menguak Kenangan Lama

6 Januari 2020   08:20 Diperbarui: 6 Januari 2020   09:15 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anda tengah melewati jajaran rumah di sebuah jalan kecil lalu tiba-tiba saja sesuatu yang lezat menyapa penciuman, otak pun mengirim penjelasan tentang paduan merica, bawang putih, potongan ayam plus sayur mayur hingga muncul kesimpulan, 'Sayur sop nih!' 

Tak sampai di situ sosok kecil anda yang masih seumuran murid SD muncul, tengah duduk menghadapi semangkuk sop hangat yang masih mengepul asapnya dan suara lembut sedikit memaksa yang mendesak untuk segera makan hidangan menyehatkan itu. Wajah mendiang ibunda tercinta pun hadir dalam benak.

Bau, perasaan, hasil pengamatan, hal-hal yang didengar, dan banyak elemen informatif lain bisa menjadi bahan mentah bagi otak untuk menghadirkan kembali ingatan akan seseorang atau sebuah peristiwa di masa lalu. 

Mirip arkeolog yang menyusun potongan-potongan artefak di situs purbakala untuk mendapat gambaran kisah masa lalu di tempat itu atau detektif yang membangun kasus berdasarkan petunjuk-petunjuk yang dimiliki. Begitu pula cara kenangan, ingatan masa lalu, atau memori dibangun dalam diri kita.

Pelajaran pertama dan terpenting, menurut Guy P Harrison sebagaimana dilansir Psychology Today,  adalah fakta bahwa memori manusia tidak dapat diandalkan karena dia berproses tanpa memegang akurasi dan detil dari setiap kejadian yang berlangsung dalam kehidupan karena presisi data terkait itu memang tidak dibutuhkan. Pasti sangat memusingkan kalau harus mengingat semua kejadian sejak balita sampai hari ini sama persis dengan saat kejadian tersebut berlangsung.

Masalahnya di era modern yang tengah berlangsung di mana dunia dibanjiri informasi, dipenuhi kebutuhan hiper koneksi, dan perubahan berlangsung cepat; banyak orang kurang memahami fungsi memori otak mereka sehingga menaruh kepercayaan terlalu besar padanya.

Guy, dalam bukunya 'Good Thinking: What You Need to Know to Be Smarter, Safer, Wealthier, and Wiser',menyatakan bahwa penting bagi setiap orang untuk menyadari bahwa memori bersifat asosiatif dan konstruktif. Tidak ada sistem penyimpanan berurutan atau konsisten layaknya penyimpanan dokumen di komputer. Sebuah ingatan bisa saja tercerabut lalu mengaitkan diri dengan ingatan-ingatan atau konsep-konsep lain dengan berbagai cara yang tidak harus selalu sesuai dengan logika.

Hal tersebut di atas menjelaskan kenapa bau atau bunyi tertentu bisa menghadirkan sebuah kenangan meski kedua hal itu sama sekali bukan faktor penting dalam pengalaman aslinya. Hal yang sama memungkinkan pula kita 'memanggil' memori tertentu saat dibutuhkan, meski dia tersimpan entah di mana dalam belantara neural kita.

Satu hal yang harus dicamkan bahwa semua orang bisa salah mengingat sesuatu sehingga testimoni berdasarkan ingatan seseorang, tak peduli seberapa yakinnya dia akan hal tersebut, tidak bisa diterima tanpa disertai bukti-bukti pendukung kesaksian tersebut.

Daniel Simons dan Christopher Chabris (2011) melalui riset psikologis mereka mengungkapkan bahwa 63 persen responden sangat setuju atau hampir sepenuhnya menyetujui anggapan bahwa memori manusia 'bekerja layaknya kamera video yang secara akurat merekam semua kejadian yang dilihat dan didengar agar kita bisa menyaksikan ulang serta mengawasi kejadian-kejadian tersebut suatu saat nanti'. Tidak ada pakar yang sependapat tentang anggapan itu bahkan 93,8 persen di antaranya menentang keras.

Testimoni yang meyakinkan tidak selalu berarti testimoni yang akurat, namun ada 37 persen responden yang sangat setuju atau hampir sepenuhnya setuju pada anggapan bahwa 'testimoni dari seorang saksi yang meyakinkan sudah cukup sebagai bukti untuk menjerat seorang tersangka telah melakukan tindak kejahatan'. Tentu saja tak ada pakar yang sepakat dan 93,8 persen diantaranya dengan tegas menolak.

Guy menyamakan memori dengan sosok kakek tua yang tengah duduk dekat api unggun nun jauh di kedalaman otak kita. Dia berniat baik dan ingin menolong saat kita membutuhkan dengan mengisahkan kembali semua pengalaman yang telah dijalani. 

Tentu saja sebagaimana para pendongeng lainnya, dia akan mengedit banyak hal agar bisa menghadirkan rangkaian 'kisah' masa lalu yang dianggapnya tangah anda butuhkan. 

Terkadang memori juga membuang berbagai hal buruk yang terjadi di masa lalu untuk menghindarkan anda dari mengulang kembali perasaan sakit atau rasa malu yang mendalam akibat pengalaman yang tidak indah.

Kemampuan otak manusia untuk menyimpan dan menghadirkan kembali begitu banyak informasi adalah kunci untuk meraih kesuksesan serta bertahan hidup, namun ada banyak keterbatasan dan keunikan yang menyertai sehingga kita tidak bisa bergantung secara mutlak padanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun