Siang itu (18/11) Bandara Changi, Singapura yang bersih, rapih dan menyejukkan mata terlihat lengang. Maklum pas hari kerja dan bukan musim liburan pula. Lita, Lana, Rahma, dan saya memutuskan untuk menyambangi kawasan Jewel Changi yang belum lama ini menerima penghargaan Special Jury Award di ajang Mapic Awards, penghargaan tahunan yang diberikan atas keunggulan, inovasi, dan kreatifitas dalam industri real estate global.
Saat kaki menjejak area Jewel Changi, kita segera paham kenapa para juri Mapic Awards sampai tergila-gila pada bandara negeri mungil ini. Deretan toko aneka produk, penjual berbagai makanan, dan pernak-pernik menghibur menyatu dengan sangat serasi. Termasuk dengan air terjun buatan indoor-nya yang tercurah dari semacam kubah rain vortex setinggi 40 meter ditata sedemikian rupa untuk mendekati kondisi alamiah dengan berbagai flora yang ditanam di empat teras sekelilingnya secara berjenjang melukiskan tiruan vegetasi di perbukitan.
Adem dan memang bikin betah untuk berlama-lama nongkrong di situ sambil berfoto atau duduk-duduk menikmati suasana. Pengunjung berbagai bangsa dengan busana aneka gaya, bertutur dengan beragam bahasa ... ada pula robot manis asyik mengepel area basah di sekitar pagar pengaman air terjun didampingi 'pawang'nya, ada pula Pikachu raksasa yang diminati Rahma untuk foto bareng tapi tak terkejar dan keburu menghilang di kejauhan.
Bunga, rumpun, daun, dan pohon yang membentuk panorama di situ semuanya tanaman hidup yang sangat terawat. Cocok untuk menghibur mata yang biasanya seharian dipaksa menancap ke layar-layar gawai berbagai ukuran.Â
Wajar saja kalau bandara ini mampu menarik lebih dari 50 juta pengunjung sejak dibuka April 2019 lalu, bahkan ada di antaranya yang berkunjung berkali-kali. Apalagi ada fasilitas tur keliling gratis bagi para penumpang pesawat yang harus transit di situ, minimal waktu menunggu 5,5 jam akan dihadiahi tur selama 2,5 jam dengan pemandu yang juga gratis.
Panggilan kampung tengahlah yang sukses membujuk kami untuk meninggalkan kawasan air terjun nan sejuk itu memburu lapak makanan halal yang tersedia tak jauh dari situ. Masing-masing dapat sekotak pasta dengan topping potongan daging ayam plus saus kare Melayu dan segelas Thai tea . Sementara makan, saya melihat ada seorang oma dengan seragam kaos kuning dan celana kulot sigap membereskan kotak-kotak bekas makan para pengunjung. Sesekali dia bercakap dalam bahasa Mandarin dengan pengunjung yang sebahasa dengannya. Atau Inggris campur Melayu pada tamu yang dianggapnya tak cakap berbahasa Mandarin.
Urusan mempekerjakan warga senior, yang berusia 60 tahun ke atas, Singapura nampaknya menarik untuk ditiru. Selain oma yang bebersih  di lapak makanan, di berbagai area bandara kita juga melihat oma-opa yang mengurusi kebersihan toilet, merapikan troli bagasi, dan lainnya. Selain itu di sekitar area terminal bis bandara terlihat pula para penyandang disabilitas berseragam kuning menjalankan aktifitas mereka.
Beres mengisi perut, kami pun menaiki bis yang nyaman dan bersih melintasi rute asri bak tengah berkendara di Kebun Raya Bogor menuju rumah Uncle Chua yang merupakan salah satu  host  teladan di aplikasi AirBnB. Yupz, kami memutuskan menginap di rumah warga setempat yang memang menyewakan salah satu bagian rumahnya untuk para wisatawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H