Aung San Suu Kyi adalah seorang aktivis demokrasi yang memenangkan Nobel perdamaian atas keteguhannya menolak kediktatoran junta militer di Myanmar. Perjuangannya menghasilkan kemenangan besar dalam Pemilu 2015 sekaligus menghantar pemerintahan sipil penuh pertama di negeri itu setelah setengah abad lamanya berada di bawah kendali militer.
Tetapi reputasinya ternoda karena caranya merespon persekusi sistematis yang dialami oleh etnis Rohingya, minoritas Muslim,yang tinggal di negara bagian Rakhine barat. Sekitar satu juta kaum Rohingya, menurut Reuters, sekarang hidup dalam kemelaratan di kamp-kamp pengungsi Bangladesh dan beberapa ratus ribu di antaranya memilih bertahan di Myanmar di kamp-kamp dan desa-desa yang dikondisikan menyerupai penjara bagi ras-ras yang dianggap rendah oleh rezim setempat.
Suu Kyi secara terang-terangan menyatakan semua krisis tersebut adalah kesalahan para 'teroris' Rohingya yang dialamatkannya pada para militan yang menyerang pos-pos keamanan pada Agustus 2017, mendorong tentara untuk melakukan operasi penumpasan, dan mencap semua laporan tentang kekejaman yang terjadi, termasuk perkosaan beramai-ramai dan pembunuhan massal, sebagai berita palsu (Reuters, 21 November 2019).
Sikap tersebut tentu saja mengundang kegeraman kalangan internasional yang peduli pada hak asasi manusia, namun sejauh ini aspirasi tersebut baru berbentuk kecaman dan himbauan yang disuarakan melalui media massa. Sampai akhirnya Gambia, sebuah negara kecil berpenduduk mayoritas Muslim di kawasan Afrika Barat, setelah berhasil mengantongi dukungan dari 57 negara yang tergabung dalam Organisation for Islamic Cooperation (OIC) mengajukan tuntutan hukum secara resmi ke International Court of Justice (ICJ, Mahkamah Internasional).
Gambia menuduh rezim Myanmar telah melakukan genosida (pembantaian etnis) terhadap Muslim Rohingya dan Suu Kyi, selaku Penasehat Negara dalam kapasitasnya sebagai Menteri Urusan Luar Negeri, akan memimpin tim perwakilan pemerintah Myanmar untuk menghadiri sesi-sesi dengar publik di ICJ yang rencananya akan digelar pada 10 -- 12 Desember 2019 mendatang di Hague (Belanda).
Seorang juru bicara partai Suu Kyi, National League for Democracy, mengatakan,"Mereka menuduh Aung San Suu Kyi gagal menyuarakan pelanggaran hak asasi manusia,"papar juru bicara Myo Nyunt, " (Jadi) dia memutuskan untuk menghadapi gugatan itu sendiri."
Sementara juru bicara militer Myanmar, Brigadir Jendral Zaw Min Tun mengungkapkan pada Reuters bahwa keputusan dibuat setelah militer berkonsultasi dengan pemerintah,"Kami, dari militer, akan sepenuhnya bekerjasama dengan pemerintah dan kami akan mengikuti semua instruksi yang diberikan oleh pemerintah."Katanya.
Baik Gambia maupun Myanmar adalah penandatangan Konvensi Genosida 1948, yang tidak hanya melarang negara melakukan genosida tetapi juga memaksa semua negara penandatangan kesepakatan itu mencegah dan menghukum kejahatan genosida.
"Aung San Suu Kyi terus menerus membantah penindasan yang dilakukan oleh pemerintahan Myanmar terhadap Rohingya."Ujar John Quinley, spesialis hak asasi manusia dari Fortify Rights,"Kaum Rohingya di seluruh dunia, termasuk yang mengungsi di kamp-kamp Bangladesh, mendukung pengajuan kasus di ICJ dan menghendaki keadilan bagi orang-orang mereka."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H