Keputusan pemerintah Indonesia untuk mempercepat berlakunya larangan ekspor bijih nikel mengagetkan kalangan yang punya kebutuhan terkait produk tambang itu di London (Bloomberg,28 Oktober 2019). Hal tersebut mengakibatkan kenaikan harga nikel sebesar 1,2 persen menjadi USD 16,980 per ton di London Metal Exchange. Harga sempat melambung hingga mencapai USD 18,060 di awal September saat pertama kalinya Indonesia mengumumkan rencana mempercepat larangan ekspor bijih nikel. Hal tersebut membuat saham para pengusaha nikel menguat sampai 7 persen.
Keputusan yang dibuat berlandaskan kesepakatan antara pemerintah dengan pengusaha pertambangan itu tentu saja bukan tanpa resiko. Salah satunya, sejumlah perusahaan Indonesia yang sudah meneken kontrak ekspor harus segera menemukan cara untuk menghindari berbagai penalti yang sudah disepakati dengan negara importir. Selama ini China merupakan konsumen terbesar bijih nikel Indonesia.
Impor bijih nikel China naik ke level tertinggi pada bulan September, itu menunjukkan bahwa pengguna di sana terburu-buru untuk mengamankan persediaan material tersebut. Apalagi negeri tersebut menyerap hampir semua bijih nikel yang diekspor Indonesia.
Nantinya persediaan bijih nikel yang semula direncanakan untuk persediaan ekspor ke China akan dijual kepada pabrik-pabrik pengolahan tambang lokal dengan harga setara ekspor namun dikurangi pajak dan biaya pengiriman.
Percepatan larangan ekspor yang semula akan dilaksanakan pada tahun 2022 tersebut berpotensi menghilangkan pasokan sebesar jutaan ton dari pasar yang nantinya dikuatirkan akan berujung pada kelangkaan bijih nikel secara global. Fenomena ini, menurut sejumlah pengamat dan praktisi, bisa mengundang maraknya praktek ekspor ilegal.
Kebijakan percepatan larangan ekspor ini, menurut Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad sebagaimana dilansir CNBC Indonesia (3/10), berpotensi menyebabkan ketidakpastian hukum dalam dunia investasi di Indonesia yang tentunya akan membuat para investor berpikir ulang untuk menanamkan modal mereka.
Salah satu argumen pemerintah melakukan percepatan adalah mengejar nilai tambah dari ekspor barang tambang yang sudah diolah sendiri namun Tauhid menyarankan untuk menghitung ulang apakah pertambahan itu cukup berharga untuk diburu.
Penghentian ekspor biji nikel juga akan berdampak pada pencatatan ekspor komoditas tersebut bahkan bisa sampai ke titik nol dan dikuatirkan, menurut Tauhid, akan berdampak pada defisit neraca berjalan (current account deficit, CAD).
CAD terjadi bila impor sebuah negara lebih besar dari nilai ekspornya. Biro Pusat Statistik mencatat nilai impor Indonesia per Juli 2019 mencapai USD 15,51 milyar, sementara ekspornya untuk periode yang sama membukukan USD 15,45 milyar. Data ini menguatkan harapan kita agar percepatan larangan ekspor biji nikel bersinergi dengan kecepatan realisasi rencana pemerintah untuk membangun pabrik-pabrik pengolahan tambang baru plus regulasi ekspor hasil olahan bijih nikel dengan pertambahan nilai yang signifikan. Apalagi pemerintah berencana melakukan hal serupa untuk bahan mentah pertambangan lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H