Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengebiri Kedewasaan Anak dengan "Over Parenting"

25 Juli 2018   10:39 Diperbarui: 27 Juli 2018   09:33 2213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: nytimes.com

Anak yang memiliki nilai akademik tinggi di sekolah maupun kampus adalah impian kebanyakan orangtua (ortu) di dunia hingga mereka melakukan berbagai cara untuk dapat merealisasikannya. Dari mulai berjuang memasukkan anak ke sekolah/kampus favorit sampai turun tangan mengerjakan PR atau tugas sekolah yang mestinya dikerjakan sendiri oleh sang anak pun dijabani. 

Belum lagi kepanikan yang mencengkram ubun-ubun saat mendapati buku tugas atau hasil kerajinan anak ketinggalan di rumah padahal harus diserahkan pada guru hari itu juga, maka dipaculah kendaraan menuju sekolah untuk menghantar barang yang tertinggal.

Tak hanya sampai di sana, terkadang urusan kegiatan belajar-mengajar bahkan penegakan sanksi untuk ketidakdisiplinan yang merupakan wewenang para guru di sekolah pun ikut diintervensi. Di Indonesia pernah marak kasus guru-guru yang digelandang masuk penjara akibat ortu siswa mereka tak terima buah hatinya menanggung sanksi atas kebandelan yang telah dilakukan. 

Memang ada sebagian oknum guru yang bertindak melampaui batas hingga layak dipidanakan, namun lebih banyak lagi kasus ortu lebay yang tidak mau menerima kenyataan bahwa kebadungan anak mereka memang sudah  over dosis dan perlu penanganan khusus. Konflik tertutup maupun terbuka antar guru-ortu pun sudah jadi rahasia umum.

Kehebohan khas di atas bisa saja berlanjut sampai anak selamat lulus sekolah menengah atas dan harus menentukan kampus mana atau perusahaan apa yang ingin dimasukinya. Keinginan punya anak yang berada di level atas rata-rata agar bisa dibanggakan pada sanak kerabat pun direalisasikan dengan mematok anak, tak peduli dia punya minat atau bakat tersendiri, untuk masuk ke jurusan/perusahaan yang dianggap papi-maminya bergengsi. 

Bisa jadi obsesi itu sudah dijejalkan pada anak sejak usia dini hingga ada banyak kasus anak merasa 'nggak gue banget' saat memasuki sesi kehidupan akademik/profesi yang semula dianggap sebagai impian terbesar dalam hidupnya akibat pencekokan sistematis para ortu. Uang sogokan pun, di mata ortu jenis ini, sah saja digelontorkan untuk memuluskan prosesnya.

Lantas apa efeknya terhadap anak yang dibesarkan dengan fenomena  over parenting  di atas?

Julie Lythcott-Haims, penulis buku How to Raise an Adult dan seorang dekan di Stanford University, mengemukakan bahwa:

"Campur tangan berlebihan kita sebagai orang tua dalam menjaga, mengarahkan, dan menangani segala aspek kehidupan anak dari mulai urusan keselamatan fisik/emosi sampai keamanan akademik/reputasi/profesi sebenarnya itu adalah bentuk pemuasan ego kita sendiri yang nantinya akan membuat anak bertumbuh dewasa secara usia namun tetap bergantung pada kita untuk (selalu) memberi tahu apa yang harus mereka lakukan dan bagaimana caranya."

Kondisi di atas, menurut Julie, akan menghancurkan prospek anak untuk bisa menjaga diri mereka sendiri sebagai manusia merdeka seiring pertumbuhan usia dan perkembangan jaman secara aktual karena orang tua telah merebut kesempatan anak untuk mempelajari serta menguji-coba berbagai kecakapan/ketrampilan yang dibutuhkan untuk dapat memenangkan kehidupan di dunia nyata yang kelak bakal dijalaninya sendiri.

Sementara itu Jessica Lahey, penulis buku  The Gift of Failure yang juga seorang guru menegaskan bahwa ketimbang bersitegang, ortu dan guru sebaiknya bersinergi untuk menunjukkan pada anak-anak bahwa mereka sangat menghargai proses belajar. 'Menunjukkan' alias proses keteladanan adalah jauh lebih berpengaruh pada anak  ketimbang sekedar berbusa-busa  berkampanye tentang pentingnya edukasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun