Gedebruk! Entah dari mana munculnya bocah imut umur dua tahunan yang mendadak terpeleset, terjatuh di hamparan sajadah tepat di depan saya, lalu bangkit lagi melesat meneruskan larinya melewati shaf para ibu yang tengah memakmumi Shalat Tarawih.Â
Gumam tahiyyat akhir sempat terinterupsi sejenak dan seusai salam, istighfar usai shalat pun dipungkas dengan variasi tanya seputar makhluk kecil itu dari yang bernada kuatir sampai sedikit menghujat. Kuatir dia terluka sampai mengecam sang ibu yang dinilai kurang cakap mengendalikan polah balitanya.
Kehadiran para bocah, khususnya yang masih berusia balita dan tengah senang-senangnya bergerak serta berteriak, saat shalat berjamaah didirikan memang kerap menghadirkan dilema dan kontroversi di kalangan pemakmur mesjid.Â
Kelompok kontra dengan tegas memaklumatkan larangan membawa anak-anak kecil yang masih belum bisa duduk diam ke mesjid karena bisa merusak kesyahduan ibadah dan mengganggu jamaah yang lain. Sementara kelompok pro menilai bahwa memperkenalkan aktivitas umat yang berlangsung di mesjid pada anak-anak harus dimulai sedini mungkin untuk mendorong mereka lebih memahami keberadaan Sang Khalik, pembentukan akhlakul karimah, dan mengakomodir kebutuhan regenerasi pemakmur mesjid di masa depan.
Saya jadi teringat pada pesantren petang yang terletak di dekat rumah orangtua, Pesantren Darul Hidayah di Cibangkong (Bandung), tempat saya dan adik-adik beserta teman-teman sebaya kami mengaji alias menimba berbagai ilmu yang terkait dengan agama Islam seusai shalat Ashar sampai saat azan Magrib berkumandang. Kehadiran para balita dan anak-anak siswa kelas satu-dua SD dengan segala polah mereka yang menggemaskan pun sudah mewarnai malam-malam Ramadhan kala itu.
Kebijakan yang ditempuh para ustadz untuk mengelola isu bocah-bocah yang hobi berseliweran lintas shaf saat Shalat Tarawih ditegakkan adalah dengan mengumpulkan mereka untuk salat berjamaah di ruang terpisah dalam mesjid.Â
Pelaksanaannya dengan pola delapan raka'at Tarawih plus tiga raka'at Witir, pemilihan surah-surah pendek, dan menunjuk ustadz yang biasa mengajar anak-anak untuk menjadi imam. Setelah itu mereka pun dibubarkan pulang ke rumah masing-masing. Anak-anak usia SD bisa pulang sendiri, sementara para balita biasanya sudah ditongkrongi para kakak atau pengasuh yang akan membawa mereka kembali ke rumah masing-masing. Begitulah enaknya kalau mesjid dekat rumah.
Bagi anak-anak yang lebih besar dengan hobi mengobrol atau bercanda saat kuliah tujuh menit (kultum) dan Shalat Tarawih didirikan, sudah siaga seorang ustadz yang dikenal 'killer'Â dengan tongkat rotan panjang.Â
Dia akan berpatroli di belakang shaf dan kemunculannya di belakang kelompok bocah yang asyik ngerumpi atau jahil-jahilan antar teman, sudah cukup membuat mereka terdiam lalu sejurus fokus kembali pada aktifitas ibadah yang tengah berlangsung. Namanya juga anak-anak, mereka akan berisik kembali saat Sang Ustadz menjauh. Itulah sebabnya Sang Ustadz harus siap hilir-mudik tanpa suara hingga usai Shalat Tarawih.
'I believe children are our future/ teach them well/and let them lead away'Â Nyanyi Whitney Houston dalam salah satu hits-nya yang melegenda 'The Greatest Love of All'. Anak-anak adalah pewaris masa depan dan tugas generasi terdahulu, terutama orangtua, untuk mendidik mereka sebaik mungkin agar kelak bisa melepas mereka menjadi pemimpin-pemimpin panutan di masa depan.Â
Ibu dan ayah bisa mengobrol dengan anak-anak tentang mesjid, seputar pengertian dan aktifitas yang biasa dilakukan di sana serta panduan etika saat tengah berada di sana.Â