Tiada hari berlalu tanpa secangkir kopi dengan varian sesuai selera masing-masing mengalir ke dalam sistem pencernaan ratusan juta, mungkin malah mencapai milyaran, manusia di planet ini. Catatan Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), yang membukukan jumlah konsumsi domestik mencapai 1,03 kg/kapita/tahun (2014) lalu naik jadi 1,09 kg/kapita/tahun (2015) dan naik lagi jadi sekitar 1,15 kg/kapita/tahun (2016). Penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 250-260 juta jiwa pada tiga tahun pengamatan tersebut lalu ditambah para peminum kopi di berbagai belahan dunia lain seperti AS (konsumsi kopi 4,3 kg/kapita/tahun), Jepang (3,4 kg), Austria (7,6 kg), Belgia (8 kg), Norwegia (10,6 kg), dan Finlandia (11,4 kg) … tinggal dikalikan dengan jumlah penduduk masing-masing negara, maka jumlah milyaran jiwa cukup masuk di akal mengingat masih ada seratusan negara lain di dunia yang para peminum kopinya luput dari jangkauan survey.
“Secangkir kopi itu sama sekali tidak sederhana karena melibatkan kehidupan ratusan juta manusia,” Papar Ardani (27), seorang coffee barista, yang saya temui pada acara Coffee Brewing yang merupakan salah satu momen penggalangan dana organisasi Bina Antar Budaya (Indonesia) yang berafiliasi dengan AFS Intercultural Programs di penghujung Oktober (27/10) tahun ini.
Kerumitan secangkir kopi seperti halnya sepiring nasi, sepincuk gado-gado, atau hasil olahan produk pertanian lainnya dibentuk dari mulai rangkaian budidaya tanaman yang panjang, dinamika kehidupan keluarga-keluarga petani yang berjibaku dalam proses budidaya itu, sampai ke berbagai hal unik dalam komoditas kopi itu sendiri. Segenap kompleksitas itu kemudian melebur, blended,sempurna dengan perjalanan waktu membentuk cairan dengan aneka kehangatan, aroma, maupun rasa yang tertuang dalam cangkir demi cangkir kopi sepanjang gerak peradaban manusia.
For the love of coffee… the more you know, the more you understand that a lifetime journey is not enough, not even close to enough. Begitu bunyi salah satu slideyang dipajang Dani dalam temu santai kelompok kecil kami sore itu. Belajar sampai seumur hidup pun tak bakalan bisa membuat kita khatammemahami tentang biji-bijian yang proses memanggangnya saja sedemikian banyak aturan dari mulai memilih biji yang cukup umur sampai seberapa lama oven dinyalakan pada rentang suhu yang pas dengan kualifikasi siap-giling agar menghasilkan serbuk kopi yang aroma dan rasa pahitnya tepat saat diseduh kelak …
Sesruput kopi yang diedarkan di meja tiap kali Paul menyeduh dengan cara yang berbeda dari sisi suhu didih air yang pas, pengendapan serbuk paska diseduh, dan sejenisnya. Memang rasa kopi dari jenis biji yang sama ternyata bisa menghadirkan sensasi berbeda di lidah sesuai yang dikatakan Borie (47), Coffee ChiefJakarta Coffee House, yang juga hadir sebagai salah satu pemateri.
Lalu Borie memaparkan proses perburuan biji kopi yang ternyata sangat seru dari mulai mengkondisikan petani melakukan panen berdasarkan penampakan warna kulit biji kopi, pengeringan, pemanggangan, sampai ke tujuan akhir : Secangkir kopi nikmat untuk pelanggannya. Dia pun menambahkan lika-liku perniagaan kopi yang pernah dijalaninya sebagai pengusaha sekaligus pecinta kopi yang sangat peduli terhadap berbagai varian kopi lokal seperti Aceh Gayo, Mandailing, Sumatera Lintong, Java Raung, Bali Kintamani, Toraja, Papua Wamena, Flores Bajawa, Si Petung, Java Ciwidey, dan Luwak. Kopi Jawa pada abad 18 sampai pertengahan abad 19 dikenal sebagai kopi terbaik di dunia.
Coffee Brewingberakhir dengan pembagian sekantung serbuk kopi pilihan masing-masing,”Saya mau yang lightaja.” Jawab saya saat diminta memilih jenis kopi yang akan dibawa pulang dan Dani memberikan saya Java Raung yang … hmmm, harum dan teramat nikmat saat saya seduh di rumah dengan menambahkan sedikit gula plus krim di dalamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H