“Awalnya sih bukan dibuat untuk pameran ini tapi karena memang Edo suka dengan kapal pinisi …” Tutur Edwin ‘Credo’ Makarim (20), akrab dipanggil Edo, yang merupakan pelukis termuda di antara 117 pelukis yang karya-karya mereka ditampilkan dalam Pameran Seni Rupa & Imaji Bahari Nautika Rasa yang berlangsung pada 13-25 September 2016 di Galeri Nasional Indonesia, Jl Merdeka Timur, Jakarta. Selain lukisan, pameran yang dibuka oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti (13/9) itupun memajang patung dan foto bertema bahari.
Konstruksi kapal pinisi yang dilihatnya di Bulukumba, Makasar, saat melakukan karya wisata bersama teman-teman SMA-nya akhir tahun 2015 silam rupanya betul-betul memahatkan kesan mendalam di benak lelaki muda putra kedua pasangan Agus Basuki Yanuar – Revita Tantri itu untuk mengabadikannya di atas kanvas. Dia bahkan lumayan intens berburu informasi di internet seputar seluk-beluk kapal layar sekunar tradisional yang legendaris tersebut.
“Dua tiang layar kapal melambangkan syahadat dan tujuh layarnya melambangkan jumlah ayat dalam surat Al Fatihah.” Edo mengutip hasil perburuan datanya,”Proses pembuatannya juga melibatkan banyak ritual … “
Sketsa lukisan yang dinamai ‘Pinisi’ itu telah dirampungkan Edo sejak lama, namun proses pewarnaannya sendiri punya romantika lain,”Begitu Om Chandra bilang lukisan ini mau diikutkan dalam pameran bahari, baru deh Edo ngebut menyelesaikan pewarnaannya.” Papar Edo sembari tertawa dan berkisah betapa dia harus melakukan kerja maraton siang-malam sekitar setengah bulan sebelum lukisan acrylic di atas kanvas berukuran 200 x 300 cm itu siap dipajang sehari sebelum pameran dibuka.
Sebuah kapasitas berkarya yang teramat inspiratif dari sosok Edo yang paska kelahirannya mengalami masalah dengan darah yang membuat perkembangan kemampuan motorik dan bicaranya terhambat hingga, sebagaimana ditulis oleh Agus sang ayah, 12 tahun pertama dalam kehidupannya harus dijalani dalam rangkaian terapi demi terapi.
Saat Edo kecil belum lancar berbicara, ayahnya akan menggambar semacam komik tentang berbagai hal yang dijalani dalam keseharian mereka. Lalu Agus akan menceritakan kisah dalam setiap gambar melalui sebuah percakapan sederhana antar mereka berdua. Setelah melewati rentang beberapa tahun, giliran Edo yang menggambar komik untuk bercerita pada ayah dan keluarganya. Dia akan memperlihatkan gambar karyanya yang direspon dengan upaya menterjemahkan maksud Edo dengan bahasa lisan.
Begitulah, buku gambar dan pensil warna menjadi alat komunikasi pertama Edo dengan lingkungan sosial terdekatnya. Saat menginjak usia lima tahun, Edo sudah mampu menceritakan makna gambarnya dan secara bertahap akhirnya dia bisa berbicara tanpa bantuan gambar.
Sederet nama lain kemudian masuk dalam kiprah melukis Edo, misalnya saja Om Chandra alias pelukis Chandra Maulana pemilik ‘deDada Studio and Gallery’ dan pelukis senior Hanafi Muhammad yang juga pemilik Studio Hanafi. Perkenalan dengan kedua pelukis tersebut telah memperkaya wawasan Edo yang awalnya sangat akrab dengan tema lukisan panorama air, kini sapuan kuasnya sudah merambah ke obyek-obyek yang lebih beragam bahkan masuk ke tema abstrak. Lelaki muda ini juga sangat senang bereksplorasi membuat lukisan dalam bentuk serial. Tema ‘kopi’ diolah Edo dari mulai biji sampai penyajiannya ke dalam mug dalam berbagai ukuran , perspektif, dan teknik pewarnaan. Tentu saja dia pun terbuka untuk tema-tema lepas yang menarik minatnya tanpa harus terikat pada pakem serialisasi itu.