Skenario yang sangat fleksibel untuk ditarik-ulur sesuai perkembangan rating hingga, kalau perlu, tambahan episode dengan konten yang bikin mual para pemirsa kritis pun terus diproduksi adalah salah satu ciri sinetron Indonesia era 90-an sampai sekarang dan rupanya fenomena itu merembet pula ke dunia nyata di negeri tercinta ini sampai ke level top executive pemerintahan. Episode mulur teraktual saat ini adalah kembali tertundanya eksekusi hukuman mati atas sepuluh terpidana kasus distribusi narkoba karena ada lima orang di antara mereka yang masih menjalankan upaya hukum untuk lolos dari vonis itu. Tiga di antaranya adalah Mary Jane Viesta Veloso asal Filipina, Serge Areski Atlaoui asal Perancis, dan Martin Anderson asal Ghana yang mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung ( Republika Online, 18 Maret 2015, 18.22 Wib) dan , yang menggelikan, duo ‘Bali Nine’ asal Australia Andrew Chan dan Myuran Sukumaran berupaya mementahkan penolakan grasi Presiden Jokowi melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Upaya hukum duo ‘Bali Nine’ yang dinilai Jaksa Agung, HM Prasetyo, sebagai ‘tidak lazim’ (KOMPAS.COM, 18 Maret 2015, 19.48 Wib) itu toh nyatanya dilayani juga oleh sistem peradilan di republik tercinta ini dan hasil sementaranya, pelaksanaan hukuman mati bagi para terpidana penghancur moral generasi pewaris masa depan bangsa kita itu akan tertunda sampai berbulan-bulan ke depan.
Penolakan grasi memiliki makna bahwa Presiden Jokowi menolak untuk meringankan/merubah jenis pidana, mengurangi jumlah pidana, dan menghapus pelaksanaan pidana. Tindakan duo ‘Bali Nine’ menggugat penolakan grasi tersebut dengan memperkarakannya di PTUN terkesan ‘ajaib’ karena lembaga peradilan yang dibentuk berdasarkan UU no 5/1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan UU no 9/2004 Tentang Perubahan Atas UU no 5/1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara itu bertugas untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warganegaranya. Sengketa yang dimaksud terjadi karena adanya tindakan-tindakan pemerintah yang melanggar hak-hak warganegara.
Kerancuan semacam itu, dalam sudut pandang awam saya, mestinya tak perlu memakan waktu lama untuk disikapi karena memang terlalu mengada-ada , namun ada sebersit tanya menyeruak di benak seusai membaca pernyataan berikutnya dari Prasetyo yang dilansir dalam media yang sama bahwa efek tindakan hukum duo ‘Bali Nine’ juga berimbas pada tertundanya pelaksanaan hukuman mati bagi lima terpidana lain yang sudah clear proses hukumnya karena rencananya eksekusi untuk 10 terpidana mati kasus narkoba akan dilaksanakan secara bersaman, jadi ,” Kita tunggu semuaajalah. Nanti kalaunggakbersamaan kan justru akan merepotkan kita. Kita inginnya supaya segera selesai semua," ucap Prasetyo. Kenapa tidak diselesaikan saja dulu eksekusi bagi para terpidana.yang memang sudah kelar proses hukumnya?
Berbagai tekanan dari pemerintah negara-negara lain seperti Australia, Brazil, dan Perancis yang warganya termasuk dalam rombongan terpidana mati tersebut nampaknya lumayan berhasil membuat perangkat pemerintahan, khususnya, peradilan negeri ini menjadi gamang dalam menjalankan otoritasnya padahal mayoritas bangsa yang mereka pimpin sudah menyatakan dukungan bahkan dorongan agar eksekusi bisa segera dilaksanakan. Dukungan senada juga mengemuka dalam forum Dialog Terbuka ‘Eksekusi Pidana Mati : Menegakkan Kedaulatan Hukum Dalam Pemberantasan Narkoba’ yang digelar Mahasiswa Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta beberapa waktu lalu.
Pakar politik internasional Prof Andik Purwasito, DEA, salah satu pembicara dalam forum tersebut mengemukakan bahwa pelaksanaan pidana mati kasus narkoba berpotensi merupakan sebuah langkah yang tepat untuk memperlihatkan pada dunia internasional kalau Indonesia adalah negara yang berani bersikap keras, berani dikucilkan, siap tidak populer, dan siap menanggung resiko dalam ajang peperangan melawan narkoba. Hal itu, menurut Andik, diharapkan dapat menumbuhkan efek jera pada bandar dan pengedar serta efek takut pada para pengguna narkoba. Keberanian mengeksekusi terpidana kasus narkoba juga merupakan bagian dari realisasi tanggung jawab pemerintah dalam melindungi generasi muda dari bahaya narkoba sekaligus membangun generasi yang tangguh secara moral, berkomitmen dalam bela negara, memiliki visi yang jelas, kuat secara ekonomis, dan konsisten menerapkan nilai-nilai luhur/norma sesuai budi pekerti luhur.
Pada forum yang sama Ketua Gerakan Anti Narkoba (Granat) Solo, Lenny Andoko, SH; menekankan bahwa narkoba merupakan bentuk penjajahan yang sistematis, kejahatan kemanusiaan yang tidak kalah bahaya dari perang secara konvensional. Suatu bentuk atau cara pemusnahan manusia dengan jalan bukan peperangan secara menggunakan senjata api. Indonesia sudah memasuki darurat narkoba, dimana jumlah korban penyalahgunaan narkoba sudah demikian banyak.
Mirisnya lagi, tambah Lenny, adalah ketika kalangan akademisi bahkan yang bertitel profesor bisa terlibat dan terjerumus ke dalam penyalahgunaan narkoba. Pemerintah seharusnya memang serius dalam melakukan pencegahan peredaran serta penyalahgunaan narkoba di Indonesia. Bukan hanya pengguna yang harus ditindak, tetapi juga yang jauh lebih penting adalah para pemain di bagian hulu dari alur produksi narkoba ini.
Barangkali sudah waktunya membuat deadline yang takkan diubah-ubah lagi untuk mengeksekusi para terpidana mati kasus narkoba, termasuk duo ‘Bali Nine’ yang berpotensi mengacak-acak tata peradilan di negeri tercinta ini, dan secepatnya, Pak Presiden. Jangan kuatir, mayoritas di antara kami akan siap mendukung Anda sepenuhnya untuk urusan melindungi bangsa ini dari kerusakan moral.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H