Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Profesionalisme Seorang Penerbang Bravo

5 Juli 2011   02:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:56 904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_120644" align="alignleft" width="300" caption="...pose keren sebelum take-off ...(dok WS)"][/caption] Hari masih sangat dini dan Bandung diselimuti sensasi dingin yang lumayan menggigit saat mobil yang kami tumpangi meluncur ke arah Lanud Husein Sastranegara untuk memburu sosok Marsma TNI (Purn) dr Norman T Lubis, SpM (K). Lumayan panjang juga rentetan titel narasumber yang bakal kami wawancarai itu. Janji bertemu jam delapan, jadi kami masih ada waktu mengganjal perut dengan sepiring nasi goreng dan secangkir teh panas di salah satu lapak makanan yang ada di area food court seberang gerbang keberangkatan bandara. Sedan biru milik Bang Norman melintas dan kami bergegas menyudahi sarapan untuk menemuinya. Maklum lelaki satu ini terkenal sangat tepat waktu dan 'galak', kami segan kalau harus memberikan kesan buruk padanya. Suasana bandara sangat lengang di akhir pekan itu, hanya ada beberapa pesawat tipe kecil untuk 2-3 penumpang terparkir di landasan. Seseorang menanyakan apakah kami sudah membuat janji bertemu dan setelah diiyakan, kami pun diantar menemui Bang Norman.Meleset dari dugaan saya semula,bukan figur tinggi-besar berkumis tebal yang muncul beberapa saat kemudian menyalami kami dengan sikap ramah namun terkesan sangat profesional. Perawakannya ramping, gerakannya gesit, terkesan mahal senyum, dan Bang Norman terlihat lebih muda duapuluh tahun ketimbang usia sebenarnya yang sudah mendekati kepala tujuh. Saat kami berbicara, daya ingatnya yang relatif sangat baik terhadap berbagai peristiwa di masa lalu dan analisa cerdas yang disuarakan dengan ketegasan khas pria Sumatera Utara menambah nilai plus baginya. Dia menceritakan pengalamannya saat menjadi relawan mahasiswa dari Resimen Mahawarman yang diterjunkan bersama-sama ABRI di daerah Kalimantan Barat di era konfontasi Indonesia - Federasi Malaysia yang melahirkan Operasi Dwikora (1962-1966). "Waktu itu anggota Resimen Mahasiswa (Menwa) gabungan dari Yon II Unpad, IPB-Bogor, dan IKIP-Bandung yang dikirim ke sana dibagi menjadi tiga kelompok sesuai daerah sasaran; yakni Sempawah, Bale Karangan, dan Singkawang." Tutur Bang Norman,"Mahasiswa kedokteran seperti saya ditugaskan melakukan bakti sosial berupa pelayanan medis dan pengobatan gratis bagi masyarakat setempat." Ujarnya seraya menegaskan bahwa fasilitas kesehatan di masa itu belum selengkap dan sepraktis di masa sekarang hingga para petugas medis juga dituntut memiliki stamina fisik yang bagus agar sanggup memondong ransel berat berisi obat-obatan dan peralatan di punggung mereka tanpa menghambat mobilisasi pasukan. Operasi Dwikora akhirnya berakhir setelah pemerintah Indonesia dan kerajaan Malaysia sepakat menghentikan konflik dalam sebuah konferensi yang digelar di Bangkok pada 28 Mei 1966. Namun di lapangan bukan berarti pertikaian terhenti, hanya saja pihak separatis Kalimantan yang dulu dibantu Indonesia untuk lepas dari Malaysia kini berbalik jadi lawan yang harus diperangi karena mereka menentang perjanjian damai itu. Sekilas Bang Norman juga menyitir seputar hegemoni tunggal alias monopoli kekuasaan dari partai-partai politik penguasa negeri ini di berbagai orde pemerintahan dan fenomena serupa di kampusnya semasa dia masih kuliah dulu serta bagaimana setiap anggota Menwa yang mengambil sikap netral bertindak sebagai peredam benturan antar kelompok sekaligus memastikan suasana kampus tetap kondusif sebagai tempat belajar bagi para mahasiswa maupun tempat bekerja bagi para pegawainya. "Ya, sudah semua,kan?" Kata Bang Norman setelah meneliti daftar pertanyaan yang tadi kami berikan padanya dan mempersilahkan kami menikmati minuman isotonik yang tersedia di meja. Di sela obrolan santai, teman yang sudah akrab dengan penerbang senior itu menanyakan kalau-kalau saya mau ikut terbang dengan Bang Norman. Tentu saja peluang itu segera saya sambar. Kami pun beranjak ke landasan dan sebuah pesawat sayap rendah AS- 202 Bravo bermesin tunggal dengan

[caption id="attachment_120645" align="alignright" width="300" caption="...banyak pesawat yang sudah tak layak terbang...(dok WS)"]

1309832600252882399
1309832600252882399
[/caption] kapasitas tiga penumpang.Warna putih di bagian atas dengan dominasi merah di seluruh badan pesawat kecil itu menerbitkan kesan gagah. Seorang asisten Bang Norman memandu saya memasuki ruang cockpit yang tak seberapa luas dan membantu saya mengenakan sabuk pengaman (berbeda dengan 'seatbelt' mobil yang mengikat penumpang dari satu sisi, tiga sabuk pesawat yang diikatkan dari tiga arah memastikan penggunanya melekat erat ke kursi -pen.). Bang Norman yang kelihatan sangat keren setelah mengenakan perlengkapan pilotnya mulai menyalakan mesin dan setelah pemanasan sekitar sepuluh menit, asistennya mengatupkan kanopi transparan di atas kepala kami.

[caption id="attachment_120646" align="alignleft" width="300" caption="...panel dashboard tua... (dok WS)"]

13098329131812810325
13098329131812810325
[/caption] Setelah komunikasi singkat dengan petugas menara pengawas, pesawat perlahan bergerak maju menyusuri landasan sampai ke area yang menyerupai zebra cross lalu berbelok seratus delapan puluh derajat balik ke rute semula dengan kecepatan kian tinggi...blash! Kami pun take off. Jalanan ramai, pemukiman nan padat, sungai, dan gunung kian mengecil bak negeri liliput. Mata pun beralih-alih dari hamparan tipis awan di langit biru, panorama nun jauh di bawah sana dan tertambat pada panel dashboard tua-lecek di hadapan kami. Seorang teman pernah bilang, banyak pesawat di Indonesia -termasuk milik TNI/AU- yang sudah tidak layak terbang lagi. AS-202/18A3 yang kini kami tumpangi adalah satu dari 170 unit Bravo yang dibuat oleh perusahaan Flug und Fahrzeugwerke Altenrhein (FFA) asal Swiss dan bisa dibilang sudah ketinggalan jaman. Saya sempat agak mual karena faktor tekanan udara di ketinggian dan keringat bercucuran seiring kian garangnya sinar matahari yang menerobos masuk lewat kanopi di atas kepala, namun selebihnya melayang di cakrawala selama sekitar duapuluh menitan itu menyisakan perasaan sangat nyaman di hati. Apalagi saat kami mendarat kembali, Bang Norman menguak kanopi dan angin berhembus menerpakan kesegaran sampai perlahan pesawat berhenti sempurna di landasan. Tanpa berlama-lama karena pilot dengan jam terbang lebih dari tigapuluh tahun itu sudah ditunggu untuk menerbangkan kliennya, kami pun berpamitan seraya mengucap terima kasih. "

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun