Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

In Memoriam Jibut Soemadi, Penerjun Legendaris Indonesia

14 Juni 2011   22:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:30 1734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_214965" align="aligncenter" width="720" caption="saat-saat terakhir menjelang pesawat lepas landas (doc WS)"][/caption] ‘Gd evening,Mbak, subuh kami ke Mrghy dg mbl. Drop off jagoan dsna.Then nunut pasukan ke Husein utk terjun. Dmkian skilat petir’.

Begitulah bunyi pesan singkat jenaka yang saya terima pada pukul 08:15:33 tanggal 12 Juni 2011 malam dan pengirimnya adalah sosok penerjun payung yang telah malang melintang di cakrawala dunia mengharumkan nama Indonesia dengan prestasi-prestasi skydiving yang fantastis. Dia adalah Yudho Baskoro yang di kalangan para penerjun akrab dipanggil Mas Jibut Soemadi. SMS tadi adalah panduan bagi saya untuk menyesuaikan waktu wawancara karena kami akan berbincang di sela waktu kosong sebelum dia take off bersama pasukan dan drop off alias terjun di Lanud Husein Sastranegara.

[caption id="attachment_214971" align="alignleft" width="300" caption="Penerjun legendaris dan sosok ayah yang baik (dok WS)"]

134875749192088225
134875749192088225
[/caption] Pertama kali ‘menemukan’ Mas Jibut di profil Perkumpulan Terjun Payung – International Skydiving Indonesia (PTP-ISI) yang diberikan teman saya Tutie, Ketua ISI saat ini, dan dari sana saya menemukan catatan panjang yang sangat menakjubkan. Pemilik kualifikasi Instructor/Examiner Accelerated Free Fall (instruktur/penguji terjun bebas terakselerasi) dan Master Rigger (ahli pelipat payung terjun) ini bersama teman-temannya Flemming Dreiager asal Denmark, Michael Nagel- Jerman, dan dengan dukungan (alm) penerjun kawakan Johny Nasution mendirikan ISI, sebuah intitusi pendidikan sekaligus penyelenggara kegiatan terjun payung yang memenuhi kualifikasi internasional pada tahun 1994. Event Bali-Lombok Boogey digelar pada tahun itu juga untuk mempromosikan ISI di dunia internasional dan momen konfigurasi udara tersebut sukses menggaet sekitar 150 penerjun lokal maupun asing sebagai pesertanya.

Menurut Mas Jibut dalam percakapan terakhir kami di Lanud Husein Sastranegara Bandung pagi itu, sebenarnya ISI telah dirintis untuk skala lokal sejak tahun 1992 dan terus berkembang hingga Paracenter mereka di kawasan Lido – Sukabumi tumbuh menjadi centra kegiatan terjun payung teraktif di Asia. Berbagai kegiatan berskala internasional dari mulai kursus Tandem Master, pelatihan khusus kerjasama di udara sampai dengan Kejuaraan Dunia Antar Parasut (1998) pernah berlangsung di sini. ISI juga dipercaya sebagai koordinator berbagai acara pemecahan rekor nasional untuk berbagai formasi terjun, seminar-pesta ­boogey (puluhan-ratusan penerjun melompat dari ketinggian tertentulalu bersama-sama membentuk sebuah formasi di udara), dan terakhir ISI mengkoordinir pemecahan rekor dunia kategori Kerjasama Di Udara 100-way dimana para penerjun melompat dari pesawat Hercules C-130 di atas Bandara Ngurah Rai – Bali (2004). Mereka juga langganan menyabet medali emas pada berbagai kejuaraan nasional, termasuk Pekan Olahraga Nasional (PON), pada periode 1996-2004.

Kasus kecelakaan pesawat yang menghantam Paracenter Lido dan menewaskan dua penerjun pada tahun 2004 membuat ISI yang saat itu manajemennya sudah tidak ditangani lagi oleh Mas Jibut menjadi mati suri. Namun kiprahnya sebagai pelatih,penasehat, dan konsultan terjun payung terus berlanjut. Jam terbangnya yang sudah sangat tinggi (5000 kali terjun) ditambah kharisma dan hasratnya yang besar untuk membagi ilmu pada para penerjun pemula membuat banyak pihak, termasuk TNI Angkatan Darat dan Angkatan Udara, mempercayakan pendidikan para penerjun mereka pada Mas Jibut. Sebagai penerjun sipil, pencapaian prestasi itu layak diberi predikat summa cum laude.

Tentu saja sebagaimana layaknya jenis olahraga lain yang masing-masing memiliki resiko tersendiri, resiko terjun payung adalah jatuh dari ketinggian ekstrim dan cedera fatal pada tulang dengan tiga peluang; yaitu sembuh, cacat permanen, atau tewas. Mas Jibut pernah mengalami kecelakaan fatal pada event Kejuaraan Dunia Militer 2004 di Jeddah- Arab Saudi, ketika –entah kenapa- posisi seharusnya payung di atas dan penerjun di bawahnya malah jadi terbalik. Dia terhempas dengan tulang remuk di bagian paha sampai kaki dan mengalami koma sampai dua bulan lamanya di rumah sakit setempat. Saat Rabb memulihkan hidupnya pada Januari 2005, perjuangan baru telah menanti : Memulihkan tulang sisi kanan tubuh yang nyaris hancur, berlatih berjalan dengan bantuan tongkat, dan di atas segalanya adalah bekerja keras mengatasi trauma. Hasilnya dia kembali bergabung dalam tim kejuaraan dunia terjun payung dan menang!

Postur kurus yang relatif ‘mungil’ dengan tinggi sekitar 155 cm ternyata tidak identik dengan nyali kecil, pengalaman koma tak membuatnya jera. Saat saya tanyakan apa alasan yang membuatnya tidak kapok menekuni terjun payung, Mas Jibut dengan bersungguh-sungguh mengatakan,”Takut.” Dan dia mengulangi jawabannya,”Sebenarnya tak ada beda pada penerjunan pertama atau kesekian ribu kali, saya tetap saja merasa takut, terutama setelah insiden 2004 di Jeddah itu.” Sebagai awam, saya menafsirkan bahwa rasa takut dan keberhasilan menaklukkannya dengan selamat mendarat kembali di tanah adalah semacam kebahagiaan adiktif bagi para penerjun payung yang membuat mereka ketagihan untuk terus menerus mengulanginya.

‘Anakku laki 8 thn n bakal aku tinggal ndiri d Mrghyu. Tlg ntar bantu liat2in yo. Kamsiaaaaa’

Itu SMS yang saya terima pada pukul 08:22:21 di malam yang sama. Dia menitipkan putra semata wayangnya, Arzi, yang sejak Mas Jibut bercerai dengan istrinya selalu dia bawa kemana pun dia [caption id="attachment_214974" align="alignright" width="300" caption="Ketabahan anak ini sangat menyentuh hati ... (dok WS)"]

1348757795149317140
1348757795149317140
[/caption] pergi, termasuk saat dia menjalankan tugas sebagai jump master di berbagai tempat. Pagi itu 13 Juni 2011 setelah Mas Jibut take off sekitar pukul 08.00 WIB, saya bersama sahabat saya Purti yang juga Humas ISI bergegas memburu lokasi terjun mereka di Lanud Sulaiman. Berhenti sebentar untuk belanja minuman dan makanan ringan, mobil pun melaju ke Lanud Sulaiman Margahayu. Sekitar setengah 10-an, kami memutuskan sarapan nasi rawon di warung yang tak jauh dari gerbang lanud.Namun baru beberapa suap, ponsel Purti berdering dan dia dengan panik setengah kalut menoleh pada saya,”Ada trouble, Mas Jibut jatuh!”

Mobil dipacu menuju lokasi pendaratan terjun payung. Percakapan via ponsel kembali berlanjut dan Purti yang sangat terguncang tak mampu menahan tangis. Mas Jibut tewas. Kedekatan emosional yang tumbuh karena kepercayaan yang sangat kuat pada jump master-nya itu membuat Purti sangat sulit menerima kenyataan bahwa sang pelatih yang begitu berdedikasi dan sangat mengutamakan keselamatan anak didiknya itu kini telah pergi menemui Khalik-nya. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiuun. Yonas, salah satu muridnya, mengalami black out (pingsan) saat melayang di udara dan Mas Jibut berusaha membantunya membuka payung, namun karena posisi sudah terlalu rendah, tarikan gravitasi tak lagi mampu di atasi. Mereka berdua terhempas dengan tulang belulang remuk di landasan.

Saat menunggu pemberangkatan jenazah di RS Hasan Sadikin Bandung, sepupu Mas Jibut menuturkan bahwa belakangan ini almarhum kembali intensif mengerjakan shalat. Jadi bisa dipahami rasa percayanya yang dalam pada Rabb telah membuat Mas Jibut memutuskan untuk berbuat ‘sesuatu’ saat muridnya Yonas tak sadarkan diri di udara dan dia sepenuhnya mempercayakan perlindungan buah hatinya, Arzi, pada Yang Maha Perkasa.

Berusaha menyelamatkan siswa yang mengalami kesulitan saat melayang dengan resiko membahayakan keselamatan sendiri memang bukan pilihan populer di kalangan penerjun, namun Mas Jibut telah melakukannya. Tak peduli spekulasi atau justifikasi macam apa yang berkembang kemudian terhadap keputusan itu, yang pasti menutup lembaran kehidupan dengan berbuat baik saat melakukan ‘permainan’ yang sangat disukai bukanlah sebuah akhir yang buruk. Selamat jalan Yudho ‘Jibut Soemadi’ Baskoro.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun