Iklim dunia yang kian panas belakangan ini sebenarnya merupakan dampak dari peningkatan secara signifikan volume gas rumah kaca (GRK) di udara. Ada enam jenis GRK yang berfungsi sebagai panel cahaya, yakni karbondioksida (CO2), dinitroksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksafluorida (SF6), perfluorokarbon (PFC). Panel cahaya bertugas menangkap sinar dan panas matahari untuk menghangatkan planet Bumi agar kondusif sebagai tempat tinggal seluruh spesies mahluk hidup yang berada di dalamnya. Namun akumulasi GRK yang kini melebihi ambang batas kewajaran telah memicu peningkatan temperatur Bumi secara progresif dan bila hal ini tidak ditangani secara tepat; maka akan mempercepat penurunan ketersediaan air, degradasi kualitas air dan udara, serta peningkatan kejadian-kejadian ekstrim terkait iklim (Republika, 30 April 2010).
Di sisi lain adanya residu gas klorofluorokarbon (CFC) alias freon di atmosfer dimana setiap molekulnya mampu merusak 100.000 molekul ozon (Gerald Foley, 1993) telah menyebabkan terjadinya penipisan pada selimut pelindung tersebut hingga terjadi peningkatan intensitas radiasi ultraviolet di permukaan Bumi. Penipisan yang lambat laun menimbulkan lubang pada lapisan ozon tersebut dapat memicu peningkatan jumlah penderita kanker kulit dan katarak, meluasnya kerusakan mata rantai makanan di lautan, serta degradasi kualitas hasil pertanian maupun peternakan yang pada akhirnya mengancam ketahanan pangan dunia. Upaya mengendalikan volume GRK di udara nampaknya memang merupakan prioritas utama dalam memelihara kualitas kehidupan yang baik.
Indonesia; sebagai salah satu negara yang ikut meratifikasi United Nation Framework Convention on Climate (UNFCC) tertanggal 1 Agustus 1994 melalui UU no.6/1994 dan Protokol Kyoto tertanggal 28 Juli 2004 melalui UU no.17/2004, juga sebagai negara keempat terbesar di dunia dalam jumlah penduduk hingga kontribusi CO2-nya sangat signifikan di udara ; memiliki kewajiban untuk berperan aktif dalam upaya mengendalikan volume GRK sampai ke ambang batas yang aman bagi kehidupan. Hasil penelitian United Nation Environment Programme (UNEP) pada 2007 menunjukkan bahwa 37 persen GRK terdiri atas 23 triliun ton CO2 per tahun atau 700 ton per detik yang berasal dari penggunaan listrik berbahan bakar fosil. Menurut Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pelestarian Lingkungan, Liana Bratasida, yang dilansir dalam situs www.alpensteel.com, dalam dekade terakhir konsentrasi CO2 meningkat 2.900 juta ton per tahun dibandingkan dengan 1.400 juta ton per tahun pada dekade sebelumnya..
Berdasarkan hal tersebut di atas, solusi terbaik menekan GRK adalah dengan mengupayakan penghematan pemakaian listrik secara signifikan dan bersamaan itu pula memperbesar populasi konsumen ‘pemakan’ CO2 berupa spesies-spesies flora yang memiliki klorofil sebagai alat pengubah CO2 menjadi O2 yang sangat dibutuhkan oleh seluruh mahluk hidup.
Pada kampanye hemat listrik yang telah begitu gencar bergaung belakangan ini sebagai respon terhadap seringnya terjadi pemadaman bergilir, selain dampak positif berupa turunnya biaya rekening listrik, hendaknya disosialisasikan pula bahwa mengirit konsumsi listrik berarti menyelamatkan Bumi dari kerusakan parah dan menjaganya agar tetap kondusif sebagai habitat yang nyaman bagi umat manusia sampai generasi-generasi berikutnya.
Penanaman kembali hutan-hutan rusak yang merupakan konsumen terbesar CO2 harus dilakukan secara lebih serius dan sistematis mengingat dari total 120 juta hektar hutan yang ada di Indonesia, 56 juta hektar di antaranya termasuk kategori hutan rusak (Berita Sore, 19 Maret 2008). Bila untuk reboisasi sejuta hektar hutan rusak memerlukan waktu satu tahun, maka dibutuhkan kurang lebih 56 tahun untuk menghijaukan kembali seluruhnya ditambah pula kegagalan pemerintah menghentikan pembalakan liar kian mempersulit upaya pemulihan tersebut. Kampanye Penanaman Sejuta Pohon yang terus digalakkan Kementrian Lingkungan Hidup seyogyanya didampingi upaya pendidikan masyarakat lintas usia dan golongan agar lebih peduli lingkungan dalam pola hidup yang dijalani. Ujung tombak pemerintahan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, seperti perangkat kecamatan dan keluruhan, memerlukan persuasi dan insentif dari para atasan agar mereka lebih bersemangat dalam menggerakkan warga untuk memberikan andil yang berarti dalam upaya menekan GRK dengan menghijaukan lingkungan tempat tinggal mereka.
Pada skala rumah tangga, semangat penanaman sejuta pohon dapat diwujudkan dengan menanam tanaman hias berjenis semak untuk menangkal kebisingan dan debu bagi rumah-rumah yang terletak di pinggiran jalan yang padat lalulintasnya, tanaman rambat dengan ketebalan 5 sentimeter mampu meredam panas matahari hingga menghemat pemakaian listrik untuk pendingin ruangan, pohon buah-buahan seperti mangga atau jambu dapat menyerap serta menyimpan air hujan hingga mempertinggi kadar resapan air tanah, aneka tanaman obat atau bumbu dapur pun bisa menjadi pilihan dalam rangka memperbesar populasi tanaman pemakan CO2 sekaligus produsen O2 secara lebih efektif.
Penghijauan bumi juga merupakan sebentuk kebaikan bagi manusia maupun makhluk-makhluk lainnya sebagaimana sabda Nabi Saw,” Tidaklah seorang muslim menanam satu pohon; lalu burung, manusia, atau binatang lain memakan buahnya; melainkan baginya pahala sedekah.” (HR Ahmad, Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H