Mohon tunggu...
arif wibowo
arif wibowo Mohon Tunggu... -

mlaku-mlaku golek ilmu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sate Guk Guk, The Untold Stories

2 November 2011   16:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:08 3829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Wah mas, rica-rica ki enak tenak", kalimat itu terlontar polos dari mahasiswa baru kedokteran UNS asal Jepara, di hari pertama ia kost. Spontan, para senior kostnya langsung koor tertawa. "Kowe ngerti ra, rica-rica digawe saka apa ?". Pak calon dokter itu pun menggeleng. "Kuwi daging kirik le .. mulane nek meh mangan ngajak-ajak". Seketika itu juga, raut muka mas calon dokter itu memucat nda tak berapa lama kemudian ia lari ke kamar mandi .. hoek ..hoek .. muntah. Bagi masyarakat Solo di tahun 1990-an, masakan rica-rica hanya tersaji di warung sate jamu, istilah untuk sate asu atau sate daging anjing. Penggemarnya cukup banyak, terbukti, warung sate jamu ini tersebar luas, hampir di seluruh wilayah kota Solo. Dan cukup laris, mungkin karena rasanya yang memang enak, seperti kata mahasiswa baru tadi, sate jamu diyakini juga mempunyai efek panas untuk peningkatan gairah. Selain itu, bagi saya yang terlahir dalam tradisi Syafi'i sudah tidak ada perbedaan tentang keharaman daging anjing, tapi di Solo, saya menemui beberapa muslim yang berpendapat bahwa daging anjing itu tidak haram, paling banter makruh katanya. Ketika saya tanya, teman yang berprofesi sebagai pengacara itu menjawab, "saya tidak mau makan daging anjing karena cara penyembelihannya tidak syar'i". Saya hanya tersenyum, kemudian secara iseng memberikan tantangan, "kalau disembelih secara syar'i dan dimasak secara halal berarti doyan ?". Dengan enteng ia menjawab, "ya nggak masalah." Langsung saya timpali, "Ok, sekarang kita beli anjing, nanti saya yang nyembelih, kemudian tak nyuruh orang untuk mengolah dagingnya dan saya awasi, kalau berani ayo berangkat sekarang." Dan ternyata beliaunya tidak berani menerima tawaran tersebut. Saat ini, tidak akan lagi dijumpai warung sate jamu di kota Solo.Supaya tidak ada kejadian lagi orang salah masuk warung, seperti mahasiswa baru tadi, namanya diganti Warung Sate Guk-Guk dan bannernya harus ada gambar kepala anjing. Dan ternyata, tetap ramai dikunjungi orang, berarti sate daging anjing memang sudah mendapat di lidah sebagian warga Solo. Hanya saja, mungkin yang belum banyak diketahui adalah bagaimana proses pembuatan menu makanan daging anjing tersebut dari awal sampai akhir. Saya mengetahui hal ini juga tidak sengaja, saat ramai-ramainya Pemilihan Walikot di Solo, tahun 2005, kebetulan saya ngobrol di rumah salah satu teman, yang dekat dengan tempat penjagalan anjing. Awalnya saya heran, kok mulai pukul 02.00 dini hari, selalu ada lolongan anjing, tapi tidak panjang, kemudian terdiam, selang beberapa saat terdengar lagi. Kata teman saya, suara itu dari tempat penjagalan anjing. Cara membunuhnya, Kepala anjing itu dikepruk pakai kayu, kemudian anjing tersebut diikat dalam karung, di masukkan (dilelebke) ke sungai, sampai mati. Hal ini dimaksudkan supaya darah anjing tersebut tidak keluar, sehingga dagingnya lebih gurih. Dalam sehari, di tempat penjagalan tersebut, tidak kurang dari 30 ekor anjing yang dikepruk. Saya agak bergidik membayangkan, sebab kalau model menyembelih anjing dengan jalan "ngepruk kepala" kemudian "menenggelamkan" saya pernah memergoki pelaku pengeprukan ini di jembatan di belakang kampus Pertanian, saat jalan-jalan sehabis sholat shubuh. Seseorang sedang memasukkan anjing yang sekarat ke dalam karung, kemudian menenggelamkannya di jembatan belakang Fakultas Pertanian. Sebagai muslim, yang apalagi sudah tidak tinggal di Solo, jelas tidak mungkin untuk meminta penutupan, warung sate guk-guk yang tersebar di seantero kota ini. Tapi apakah tidak mungkin, perlunya pengawasan supaya dalam penjagalannya, anjing-anjing tersebut diperlakukan lebih "manusiawi", tidak dengan model penyiksaan seperti itu. Seperti yang juga pernah saya dengar, katanya dalam penyembelihan babi, ada juga yang dengan cara menusuk leher babi dengan besi panas, sehingga aliran darah ke otak terhenti kemudian mati, tapi darah tidak keluar dari tubuh. Cara ini sekali lagi katanya untuk mempertahankan cita rasanya. Namun, apakah hanya sekedar untuk memenuhi "syahwat lidah" ini kemudian manusia punya hak untuk menyiksa ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun