Sheikh Sa’di sedang berada di Kota Baghdad ketika tentara Mongol menyerbu dan menghacurkan kota itu di tahun 1256 M. Ia menyaksikan sendiri kekejaman tentara Hulagu Khan. Dalam sebuah sajak panjang dituturkannya bagaimana tentara Hulagu Khan membunuh kemudian memotong kepala ribuan lelaki dan wanita, anak-anak maupun orang dewasa kemudian menumpuk bangkai mereka hingga meneyerupai bukit. Tidak hanya itu, mereka juga menghancurkan istana, masjid, sinagog, madrasah, universitas-universitas dan perpustakaan-perpustakaan yang ada di kota Baghdad. Jutaan buku pengetahuan yang dikumpulkan selama berabad-abad musnah seketika, dibakar dan dibuang ke sungai Tigris. Harta benda yang berharga, ribuan intan permata dan berton-ton emas dijarah dan diangkut dengan ratusan gerobak. Setelah puas mereka berpesta pora, ribuan wanita muda yang cantik dikumpulkan di lapangan dan diperkosa . Abad itu memang menjadi titik nadhir dunia Islam, sebuah periode paling buruk dalam sejarah klasiknya. Di sebelah barat, Perang salib yang telah berlangsung sejak abad 11 belum juga berakhir dan terus mencabik-cabik kehidupan kaum muslimin. Sedangkan di sebelah timur, bangsa Mongolia dibawah pimpinan Jengis Khan menyapu bersih pusat-pusat kekuasaan Islam, yang berpuncak pada tragedi penghancuran Baghdad oleh Hulagu Khan. Bangkitnya Sipritualisme Islam Yang menarik, di tengah situasi yang yang diliputi keputusasaan mendalam inilah dunia intelektual dan tashawuf berkembang sangat pesat. Nama besar Ibnu Taimiyah yang dikenal sebagai bapak pembaharu di bidang Teologi dan fiqh, Ibn Katsir di bidang tafsir muncul di era ini. Juga muncul nama Imam Nawawi yang dikenal sebagai master dalam Ilmu-ilmu Al Qur’an. Sehingga meskipun perpustakaan-perpustakaan Islam dimusnahkan akan tetapi dinamika intelektual di tubuh umat tetap tinggi. Didunia tashawuf, ada Hujjatul Islam Al Ghazali dan Syekh Abdul Qadir Jaelani yang merupakan peletak dasar tashawuf dan etika, kedua tokoh ini hidup puncak perang salib yang ditandai dengan jatuhnya Yerusalem ke pihak lawan. Pasca Al Ghazali dan Syekh Abdul Qadir Al Jilani, di dunia Timur, pasca kejatuhan Mongol muncul Jalaludin Rumi yang mengajarkan pentingnya Cinta Transedental yang memiliki kekuatan mengubah jiwa dari negatif ke positif, dan Sa’di yang karyanya banyak berbicara tentang masalah sastra etika. tashawuf. Oleh karena itu Anemarie Schimel, ketika memberi kata pengantar dalam bukunya The Trumphal Sun : A Studyof the Works of Jalaludin Rumi menguraikan : “Cukup mengherankan, periode yang penuh bencana politik ini merupakan periode yang penuh kegiatan keagamaan dan tashawuf. Gelapnya kehidupan duniawi ditindakbalas dengan maraknya kegiatan spiritual, yang entah apa penyebabnya. Nama sejumlah penyair, sarjana, seniman kaligrafi terkemuka bermunculan...pendek kata, hampir di setiap pelosok dunia Islam dijumpai wali-wali, guru kerohanian, penyair dan pemimpin besar ilmu tasawuf.” Iman dan Cinta Sheikh Sa’di Sheikh Sa’di, dalam mukadimah karyanya yang berjudul Gulistan menuliskan “Aku berniat menulis kitab ini untuk menghibur yang membacanya dan pedoman bagi siapa yang menginginkan Taman Bunga, Gulistan, yang daun-daunnya tidak tersentuh kesewenang-wenangan pergantian musim, dan kecemerlangan sinarnya abadi, tak dapat dirubah oleh musim gugur.... Apa gunanya seikat bunga untukmu ? Ambillah sehelai daun dari Gulistan –taman bungaku-. Sekuntum kembang biasanya hanya bertahan lima enam hari, tetapi bunga-bunga dalam Gulistan akan senantiasa berkilauan cahayanya.” . Menurut Sa’di, melalui jalan cinta dan iman, seseorang dapat memetik hikmah dan pengetahuan tertinggi yang dengannya bisa mendapatkan pencerahan dan luasnya kasih sayang Tuhan, hanya melalui pikiran dan moral, masyarakat yang sakit disebabkan berbagai krisis dapat dipulihkan kembali menjadi masyarakat yang beradab dan bermartabat. Sheikh Sa’di dan Rumi terus menemani umat yang sedang mengalami kepedihan luar bisa. Sentuhan melalui puisi dan prosa itu mampu menjaga keteguhan ke Islam masyarakat. Keterasingan penguasa dri hati rakyatnya inilah yang menjadikan salah satu anak Hulagu Khan, yakni Tagudar Khan menjatuhkan pilihan kepada Islam. Namanya dirubah menjadi Ahmad Khan, gelar Ilkhan Khan pun diubahnya menjadi Sultan. Keislaman Ahmad Khan tidak disukai oleh para petinggi Mongol, Ahmad Khan dikudeta dan dihukum mati Argun Khan, keponakannya sendiri. Ahmad Khan tercatat sebagai syuhada pertama di kalangan muslim Mongol . Meski demikian para sufi tidak berhenti dalam membina masyarakat dan menasehati penguasa, sebab meski menjadi penguasa, orang Mongol masih bergantung kepada ilmu orang Islam dalam mengatur negara. Bahkan sejak zaman Hulagu Khan kesekretariatan negara tetap dipegang orang Islam yakni Juwaini, sedangkan kementrian besarnya dipegang oleh Ath Thusi. Rashid al Din, sejarawan pada masa itu menguraikan bagaimana Hulagu Khan jatuh cinta pada seni, arsitektur dan filsafat di dunia Islam. Peng Islaman Mongol secara total terjadi pada masa raja Ghazan Khan yang menurut Hamka, masuk Islam beserta 100.000 tentaranya . Raja Ghazan dikenal sebagai raja yang adil dan taat beribadah. Sa’di telah menyatukan bangsa yang tadinya datang sebagai penjajah menjadi menyatu dan tidak ada lagi perasaan menjajah dan terjajah. Ada satu sajak Sa’di yang menggambarkan kondisi ini. Segenap ras manusia adalah sebuah keluarga besar / Di atas segalanya mereka berasal dari hakekat yang sama / Jika kau tak pernah merasakan derita orang yang tertindas dan teraniaya / Tidak patutlah kau disebut keturunan Adam . Pada periode Raja Ghazan Khan inilah Sheikh Sa’di meninggal di tahun 1291 M. Pengalaman hidupnya sangat kaya sebab beliau setidaknya mengalami beberapa fase krusial dalam peradaban Islam, yaitu fase kebesaran Baghdad sebelum penyerbuan oleh Mongol, kemudian kehancuran Baghdad, era dakwah kepada bangsa Mongol dan masuk Islamnya bangsa Mongol secara keseluruhan di Irak dan Persia. Penutup Sufisme sebagai ruang sipritual Islam dalam sejarahnya telah mengajarkan bagaimana seharusnya manusia mencari kemenangan sejati. Jihad Qubra Imam Al Ghazali dan Sheikh Abdul Qadir Jaelani telah melahirkan generasi Shalahudin Al Ayubi. Sedangkan Spiritualitas Jalaludin Rumi dan cinta Sheikh Sa’di telah mengembalikan fithrah bangsa Mongol ke ajaran Islam. Dalam tashawuf, iman mewujud dalam cinta yang dengannya manusia bisa membedakan adil dengan dzalim, haq dengan bathil, menyelaraskan antara roja’ dengan khouf. Memandang nilai dunia dalam kacamata seorang zahid, menggerakkan jiwa menggapai as sa’addah (kebahagiaan), dan menyelami samudra ma’rifat dengan dialog yang intim dengan Sang Khaliq. “Selama hanya tubuh yang kau rawat dan kau manjakan, jiwamu tidak akan subur, juga tidak akan teguh”, ajar Rumi dalam Matsnawi. Dengan tashawuf para ulama telah berhasil menaklukkan hati musuh-musuhnya. Sebagaimana diamanahkan oleh Al Qur’an, “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia (QS Al Fushilat : 34). Sebuah penaklukan spiritual yang dalam bahasa walisongo populer dengan “nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake.” Puncak sebuah kemenangan sejati. Wallahu a'lamu bish showab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H