Tetapi kalau negerimu tidak mau ditolong Kalau terus saja ia membutakan matanya dan mentulikan telinganya Selalu saja ia tidak mau mewakili hatimu, sementara engkau selalu saja belajar untuk mewakili hatinya Bahkan selalu saja ia merendah-rendahkanmu, menganggapmu tidak ada Memandangmu sebelah mata AKu katakan kepadamu , tentramlah hatimu dan nikmatilah kemerdekaanmu (Emha Ainun Najib – Kenduri Sholatullah) Bagaimanapun juga, Syari’ati adalah sebuah penggal berharga dalam kehidupanku, meski tidak secara mendalam kucerna, tetapi impulse nya sangat kuat mendorongku untuk terus berjalan, menjelajah dan jangan pernah merasa puas untuk kemudian menentukan satu titik pemberhentian. Perkenalan dengan Syari’ati awalnya lebih dilatar belakangi ketidak nyamanan atas penerjemahan gagasan-gagasan Hasan Al Banna, Sayid Quthub dan An-Nabhani oleh para pengikutnya. Gagasan-gagasan yang di titik awal persinggungannya terlihat begitu mencerahkan dan menjanjikan itu menjadi terlihat membosankan dan absurd ketika dikungkung dalam bingkai “harakah”. Dimana kemudian menjelma menjadi sebuah “perang kekuasaan” atau sebuah pelanggengan “status quo”, mulai dari yang paling sederhana seperti perebutan Sie Kerohanian Islam di masing-masing Fakultas, sampai pada perebutan masjid kampus. Tak hanya itu, fenomena ini kemudian bahkan merembet ke tengah-tengah masyarakat. Saling fitnah dan caci antar kelompok, jamak terjadi bahkan mungkin warna yang dominan di era perebutan “lahan kekuasaan” itu. Yang terjadi kemudian adalah semacam penina bobokan para muharrik, seolah bila nama mereka berkait dengan nama besar pergerakan seperti “IM” ataupun “HT” maka LPJ hidup untuk yaumul makhsyar seolah sudah tersusun dengan sendirinya. Sang Pelintas Batas Adakah kaitan Université de Parisatau lebih dikenal dengan Universitas Sorbonne (Collège de Sorbonne) dengan jiwa-jiwa petualang. Coba kita lihat antusiasisme seorang Ikal dalam sampul belakang novel Edensor “Aku ingin mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit kesulitan, menggoda mara bahaya, dan memecahkan misteri dengan sains. Aku ingin menghirup berupa-rupa pengalaman lalu terjun bebas menyelami labirin liku-liku hidup yang ujungnya tak dapat disangka[1]”.Hanya mungkin karena latar belakang politik negeri asal dan bidang studi yang digeluti, akhirnya jenis petualangan Syari’ati dan Andrea Hirata menjadi berbeda. Yang jelas, Ali Syari’ati bukan anggota The Pathetic Four yang memilih petualangan sebagai backpacker. Syari’ati intens menyelami wacana Islam lintas madzhab dan firqah dalam Islam, ia juga tak segan menyapa Marx, dan terlibat intens dengan para pemikir terkemuka seperti Franzt Fanon, Sartre, Henry Bergson, Albert Camus, Louis Masignon dan banyak pemikir lain. Mungkin seperti Hirata yang mencoba memprotes Keyness dengan menyanjung Adam Smith yang ia sejajarkan dengan Rhoma Irama. Yang jelas selama di Perancis, Ali Syari’ati dikenal sebagai pemikir radikal dalam isu-isu tentang Dunia Ketiga. Pena Syari’ati juga dikenal tajam ketika berhadapan dengan sisi-sisi sesat pemikiran Barat. Harapan rezim Syah untuk menjinakkan Syari’ati dengan jalan mengirimnya belajar di Universitas Sorbonne luput. Ali Syari’ati justru bertambah radikal dan semakin cerdas. Syari’ati banyak bicara tentang raushanfikr, yakni kaum terpelajar yang dengan sungguh-sungguh menganut ideologinya secara sadar. Sebab, ideology dan kesadaran itulah yang akan membuat orang terpanggil dan sanggup berkorban untuk mencapai cita-cita ideology nya[2]. Syari’ati mengkritik kaum ilmuwan modern yang atas nama “netralitas ilmiah” telah menjual diri mereka pada kekuasaan, perusahaan-perusahaan besar untuk kepentingan material, dan melupakan rakyat yang tertindas. Dalam pandangan keagamaannya, Ali Syari’ati dengan keras mengecam karya-karya seperti magnum opusnya al Majlesi, Bihar al Anwar yang menurut Syari’ati telah menyebabkan kerusakan yang dahsyat bahkan di tangan para pendakwah[3]. Para ulama Syi’ah tradisional tersebut telah menyebarkan Islam yang fasis dan nabi yang rasis. Para ulama Syi’ah tradisional telah melembagakan budaya untuk memperolok Abu Bakar, Umat bin Khattab dan Utsman bin Affan, yang dengan demikian memperdalam kebencina antara pengikut Syi’ah dan Sunni. Dalam kuliah-kuliahnya, Ali Syari’ati membedakan antara Syi’isme Ali dan Syi’isme Syafawi. Mengacu pada hadits yang dicatat dalam Bihar al-Anwar, karya Mohammad Baqer Majlesi, mengenai pernikahan Imam Husain dengan Syahrbanu, anak perempuan Yazdegerd, raja terakhir Dinasti Sasanid, Syari’ati menegaskan bahwa agamawan Syafawi mencoba untuk memadukan konsep monarki dengan ketentuan agama dari para Imam Syi’ah. Keturunan Ali sebagai lambang kekuasaan agama dan anak Yazdegerd melambangkan kekuasaan monarki. Guna memberikan Islam monarki ini parafuqaha Syafawi memperdaya massa dengan melibatkan diri dalam pemalsuan riwayat, pengakuan dari para Imam Syi’ah. Syari’ati menyerupakan Syi’isme Ali bersesuaian dengan Sunnisme Muhammad, sedangkan Syi’isme Syafawi identik dengan Sunnisme Bani Umayah. [4] Tidak berhenti sampai di situ, Ali Syari’ati dengan tegas menyatakan keabsahan Kekhalifahan Oleh Abu Bakar Ash Shidiq. Syari’ati menyatakan bahwa Nabi Muhammad sangat gembira melihat para sahabatnya berjama’ah ketika beliau sakit. Nabi kemudian bangun dan ikut bermakmum pada Abu bakar. Hal tersebut semacam isyarat tentang siapa yang kelak akan menggantikan Nabi Muhammad salam memimpin umat. Namun yang paling penting adalah system syura atau musyawarah yang dipergunakan dalam pemilihan Abu Bakar[5]. Hal ini tentu bertentangan dengan doktri pokok Syi’ah yang menyatakan bahwa para imam didelegasikan turun temurun. Mereka yang tidak mengakuinya adalah kafir, demikian pandangan Syi’ah Imamiyah yang menurut Syari’ati adalah produk kerajaan Syafawiyah. Pendapat Syari'ati ini mendapat perlawanan dari para ulama tradisional Syi'ah yang ritus-ritusnya di cirikan dengan wujud pemujaan fanatik dan non intelektual kepada Ali dan keluarganya, dan secara bersamaan membenci apa pun yang menyerupai pengampunan terhadap sunni. Bahkan dalam catatan ust. Farid Ahmad Oqbah, makam pembunuh Umar Bin Khattab, yakni Abu Lu'lu' sampai sekarang masih dipelihara, dan hari kematiannya selalu dirayakan. Salah seorang ulama Syi'ah tradisional, Muhammad Ali Ansari Al Qomi, berkomentar pedas tentang Syari'ati " Sebagai orang alim dan penceramah agama seharusnya anda memelihara jenggot. Anda seharusnya memulai ceramah anda dengan mengacu pada nama Allah dan kemudian Rasulullah, menyebut siapa saja nama yang seyogyanya anda seru untuk memohon salawat. Anda seharusnya menyelesaikan ceramah anda dengan mengutuk dan mempersetankan musuh-musuh ahlul bait (kaum sunni). Anda seharusnya mengaitkan dengan Imam Husain dan membuat para penderngar bercucuran air mata. Anda seharusnya berdoa bagi perbaikan kesejahteraan kaum Muslim dan menyelesaikan ceramah anda dengan menyebut nama imam kedua belas yang masih gaib." Dalam pandangan pandangan ulama Syi'ah dua belas Imam, pembedaan antara Syi'isme Ali dan Syi'isme Syafawi adalah pengkhianatan pertama di dunia Syi'ah. Padahal pandangan seperti ini sudah pernah disuarakan pendahulu Syari'ati, yakni oleh Ahmad Kasravi. Menurut Kasravi, para penguasa Syafawi lah yang melembagakan budaya untuk memperolok Abu Bakar, Umar dan Utsman yang berakibat memperdalam kebencian antara pengikut Syi'ah dan Sunni. Untuk pendapatnya ini, Ahmad Kasravi harus menebus dengan nyawanya, ia mati dibunuh anggota Feda'ian-e Islam pada tanggal 10 Maret 1946. Epilog Syari’ati memang unik, sebab siapapun bisa merasa memilikinya sekaligus juga berhak untuk menyatakan diri berseberangan dengannya. Oleh banyak orang, ia dianggap sebagai Bapak Revolusi Iran, namun ideologi imamiyah yang dianut Iran itu pula yang membunuh hidupnya. Genre pemikiran Syari’ati memang susah untuk disubordinasikan pada definisi yang sudah “resmi” di ranah akademik. Kalau kita menengok pemikiran Syari’ati dalam “Agama versus Agama” Nampak jelas pemakaian pisau analisis pertentangan kelas nya Marx, sementara di buku Haji, ia tampil sekontemplatif Syaikhul Akbarmengenai pendakian menuju Allah SWT. Penghayatan yang utuh atas kesyahidan Sayidina Hussein dalam Syi’ah, Islam Madzhab Merah, dan penghormatan kepada Abu Bakar dan Umar bin Khattab (sesuatu yang terlarang di kalangan Syi’ah Imamiyah) dalam “Antara Ummah dan Imamah”. Di sisi lain, Syari’ati terlihat liberal ketika berbicara tentang polygamy dan jilbab. Sosialis Ber Tuhan, kata sebagian anak PRD (Partai Rakyat Demokratik) yang masih sholat dan puasa. Syi’ah yan Sunni dan Sunni yang Syi’i kata Jalaludin Rahmat di salah satu artikelnya. Maka apa yang disimpulkan Ali Rahnema ketika menutup buku karyanya yang berjudul “Ali Syari’ati, Biografi Politik Intelektual Revolusioner” menjadi pas. “Dia menatap Timur melalui mata Barat dan menatap Barat melalui mata Timur. Syari’ati memperkuat Islamnya dengan acuan kepada sumber-sumber non Muslim dan referensi Syi’ahnya kepada sumber non-Syi’ah. Dia adalah seorang pemberontak kepada dirinya sendiri, masyarakatnya, agamanya, masa lalu dan masa kininya. Sebagai seorang ikonoklas dan utopis, Syari’ati berperang dengan “apa yang ada” dan mencari guna menciptakan “apa yang seharusnya ada” (hal. 575). Kalau ada satu kata yang tidak saya setujui dalam paragraph tersebut adalah kata “Ikonoklas” yang tafsirnya akan merujuk pada dekonstruksi ala postmodernisme. Sebab Syari’ati tidak sedang mendekonstruksi, ia sedang “menggali kesejatian Islam” yang harus ia pertanggung jawabkan nanti di hari Kebangkitan. Meski untuk mempertahankan kebenaran itu, Syari’’ati akhirnya dibunuh lewat sajian teh yang terlah dicampur racun oleh polisi rahasia Iran SAVAK pada tanggal 18 Juni 1977. “Saya adalah embun yang terperangkan dalam cakar malamnya kehidupan, tidak bernama, tidak berumah, berharap tenggelam dalam matahari kematian” bait terakhir puisi Syari’ati yang berjudul Man chistam (Siapakah Saya ?) terasa pas sebagai deskripsi diri Syari’ati. [1] Kutipan dari sampul belakang novel Edensor, buku ketiga tetralogi lascar pelangi karya Andrea Hirata. [2] Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr, Historiografi Islam Kontemporer, Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002). Hal. 214. [3] Ali Rahnema, Ali Syari’ati, Biografi Politik Intelektual Revolusioner, (Jakarta : Erlangga, 2000). hal.311. Ali Syari’ati juga mengkritik karya-karya dan perilaku sosiopolitik dari tokoh Syi’ah tradisional yang masyhur seperti Abbas Qomi, pengarang Mafateh Al Jinan dan Montahi al-Amal, bahkas kitab hadits rujukan Syi’ah seperti Usul-e Kafi dari Al Quleyni. [4] Ali Rahnem, Idem¸hal. 467 [5] Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr, Idem, hal. 213 Boyolali, 25-01-2012. pkl. 02:48
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H