Mohon tunggu...
Lyfe Artikel Utama

[Resensi Film] Menjadi Guru Yang Gelisah

3 Mei 2015   16:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:25 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Salah satu film yang cukup menyentuh nurani saya adalah The Emperor’s Club, garapan Micahel Hoffman (2002). Film ini berkisah tentang militansi seorang guru di sebuah sekolah berasrama (boarding school) khusus lelaki Saint Benedict, di Amerika, pada 1970-an. Kevin Kline memerankan William Hundert, seorang pendidik yang militan dan sangat berintegritas.

Hundert selalu konsern pada masalah karakter anak didik. Ia merasa gagal sebagai pendidik jika ada satu saja muridnya yang masih berperangai buruk. Bagi Hundert, keberhasilan sejati seorang pendidik adalah terbentuknya karakter moral anak didiknya yang kuat. Melalui materi yang jadi sepesialisasinya: kebajikan Yunani dan politik Romawi, Hundert ajak siswa-siswanya mengkaji, merenungi, untuk kemudian menghampirkan mereka pada kesadaran filosofis dan moral. Dengan begitu, ia berharap, anak-anak didiknya kelak tidak hanya memiliki kemampuan kognetifyang brilian, tetapi juga karakter moral yang luhur.

Dengan bekal kemampuan kognetif yang luas serta karakter yang baik itu, Hundert berharap kelak anak-anak didiknya menjadi manusia-manusia yang bukan hanya mencapai kesuksesan-kesuksesan besar dalam hidup, tetapi lebih dari itu memberi kontribusi yang signifikan bagi masyarakat, bukan malah menjadi sampah masyarakat. Kepada semua anak didik barunya, Hundert selalu meminta mereka membaca sebuah kutipan yang tertulis di selempeng logam antik yang terpampang di atas pintu masuk kelas di sisi dalam. Kutipan itu bunyinya: “I am Shutruk Nahhunte, king of Anshand and Sussa, soroveign of the land of Elam. I destroyed Sippar, took the stele of Niran-Sin, and brought it back to Elam, where I erected it as an offering to my God” (Shutruk Nahhunte, 1158 BC)

“Menghancurkan Sippar?” Tanya Hundert kepada murid-muridnya. “Tetapi, tunggu dulu. Kenapa pencapaian besar Shutruk itu tidak termaktub dalam buku sejarah mana pun? Kenapa? Karena, ambisi dan pencapaian besar, namun tanpa kontribusi apa pun, menjadi tak bermakna apa-apa. Jadi, anak-anakku, sekarang yang jadi pertanyaan: apa kontribusi yang akan kalian berikan kepada sejarah? Bagaimana sejarah akan mengingat kalian?”

Hundert berharap semua anak didiknya akan mengingat kutipan itu, dan menjadikannya sebagai inspirasi tentang pentingnya memiliki hidup yang bermakna, tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi terutama bagi orang lain. Sayangnya pesan ini tidak ditangkap oleh seorang murid bengal bernama Bell, anak seorang senator kondang. Ia kerap bikin onar dan mengabaikan pelajaran. Kelakuan anak ini, tentu saja, membuat Hundert gelisah, dan merasa dirinya gagal sebagai pendidik jika tidak bisa mengubah karakter Bill.

Ada sebuah tradisi tahunan bergengsi di Saint Benedict, yakni even penganugerahan “Mr Julius Caesar” bagi siswa yang paling menguasai hal-ihwal kebajikan Yunani dan sejarah politik imperium Romawi. Sebelumnya diadakan seleksi klasikal, dan akan diambil 3 siswa dengan nilai tertinggi untuk maju dalam forum semacam cerdas cermat, yang disaksikan oleh semua siswa, guru-guru, dan para orangtua murid. Ajang ini pun menjadi penting bagi Hundert, karena ia pikir bisa menjadi jalan untuk menyadarkan Bill. Anak ini jelas tidak masuk nominasi. Tetapi, demi mewujudkan misi luhurnya mengubah Bill, Hundert mencutat anak lain yang harusnya masuk nominasi ketiga dalam test akhir (penulisan esai), Blythe, dan menggantinya dengan Bell.

Hundert tentu berharap, bahwa ini akan menjadi peluang bagi Bell untuk berubah; ia akan belajar sebaik-baiknya, sehingga menjadi jawara tahun ini secara meyakinkan. Tetapi, di luar dugaan, yang terjadi justru sebaliknya. Bell berlaku curang selama cerdas cermat berlangsung, dengan membawa contekan yang diselipkan di balik jubah Julius Caesar-nya. Hundert tahu akan hal itu, lalu melemparkan pertanyaan yang sedikit di luar konteks, sehingga menjegal Bell untuk jadi juara. Hundert sungguh menyesali siasat dan trik yang telah dibuatnya untuk menominasikan si bandel Bell, dan merasa berhutang pada Blythe yang telah dicutatnya dari tiga besar.

Penyesalan itu masih tetap menghantui pikiran Hundert cukup lama, sampai 25 tahun kemudian, ketika ia menerima undangan reuni akbar yang diadakan oleh alumni era 1970-an itu. Semua alumni yang hadir sudah menjadi orang-orang penting di Amerika. Sponsor utamanya adalah Bell, si bandel yang kaya raya itu, yang tetap belum berubah wataknya. Bell malah menjadikan ajang itu untuk pencitraan politik di hadapan kawan-kawannya, guna mendapatkan dukungan maju sebagai senator seperti ayahnya. Hati Hundert semakin patah, dan kian remuk andai saja tidak ada kejutan dari mantan-mantan muridnya yang lain. Mereka bersembunyi di kamar Hundert dan menyambutnya dengan antusias ketika ia masuk. Mereka semua memakai jubah dan memanggil Hundert dengan sebutan “Caesar”, memberi cinderamata, bersulang, lalu satu demi satu menyampaikan apresiasi dan kebanggaannya pernah menjadi murid-murid Hundert. Mereka akan mengenang jasa-jasa sang guru hebat itu selamanya.

***

Ada dua adegan dalam film ini yang bagi saya sangat mengesankan. Pertama adalah ketika Hundert bertemu empat mata dengan Blythe di even reuni itu, lalu secara terus terang mengaku berhutang kepada mantan muridnya tersebut karena telah mencutatnya dari ranking 3, dan malah menggantinya dengan Bell, hanya demi sebuah misi yang pada akhirnya toh gagal. Di luar dugaan, Blythe malah menjawab bahwa tidak ada hutang apa pun yang harus dibayar. Sebaliknya, Blythe merasa justru pelajaran dan bimbingan Hundert selama di Saint Benedict dulu itulah yang telah mengantarkannya pada pencapaian-pencapaian besar dalam hidupnya selama ini, dan karena itu ia malah berhutang banyak kepada sang guru.

Kedua adalah di ending cerita, ketika Hundert kembali mengajar di Saint Benedict setelah sekian lama mengundurkan diri. Ia menanyai murid-muridnya satu demi satu, dan lalu memperkenalkan dirinya sendiri. Ada seorang murid yang terlambat datang, meminta maaf atas keterlambatannya dan mengenalkan diri. Ia tidak lain adalah anak dari mantan murid yang dulu ia pernah menzaliminya, Martin Blythe.

Bertolak dari dua adegan itu pula saya menjumput sebuah poin penting, bahwa guru yang baik itu selalu gelisah. Gelisah kenapa? Gelisah akan setiap kondisi anak-anak didiknya, ketika dirasa bermasalah. Ketika ada satu saja anak didik yang mengabaikan pelajaran, tertinggal pelajaran, berperangai buruk, berkarakter kurang baik, seorang pendidik sejati akan gundah dan prihatin, lalu ia coba merenung, berpikir, dan berusaha mencari cara bagaimana mengatasinya, mengubah nasib sang murid itu agar menjadi baik. Cara yang kemudian dipilih mungkin saja baik, tetapi bisa pula, amarga kahanan, kurang tepat (misalnya: ada yang harus dikorbankan), meskipun tetap saja bermuara pada satu tujuan mulia dan asa, yakni agar semua anak didiknya sukses dalam belajar serta berkepribadian baik.

Hasil dari jalan yang ditempuh pun belum tentu sesuai harapan. Sebab, kita mungkin bisa berusaha dengan aneka cara (dan trik) demi sebuah tujuan.Tetapi, pada akhirnya takdirlah yang akan menentukan jalannya. Dalam kasus Hundert di atas kita belajar bahwa kita hanya bisa berusaha, sedangkan hasil akhirnya Tuhan yang menentukan. Hundert menzalimi seorang muridnya demi kebaikan muridnya yang lain; ia mendepak Blythe dari tiga besar, demi menempatkan Bell, dengan harapan ia akan berubah karakternya. Apa yang terjadi? Murid yang digadang-gadang kebaikannya itu (Bell) justru mengecewakannya, melukai hatinya, dan sebaliknya, murid yang ia zalimi itu (Blythe) malah membalut luka sang guru, memberikan penghargaan dan penghormatan yang setinggi-tingginya.

Demikianlah, seorang guru yang berkomitmen dan punya integritas saja bisa (merasa) gagal sebagai pendidik. Seorang guru yang telah menempuh segala cara untuk mendidik siswanya saja tidak mendapat jaminan bahwa caranya itu akan berhasil, anak didiknya akan berubah baik seperti harapannya. Maka, bagaimana dengan guru yang abai terhadap kondisi anak-anak didiknya? Bagaimana guru yang mengajar hanya sekadar memenuhi prosedur syarat dan kelengkapan administratif agar bisa mendapat gaji dan tunjangan profesi? Bagaimana guru yang hanya menyampaikan materi sesuai bahan ajar saja tanpa ada inovasi, kreasi, dan pengembangan metode pembelajaran? Bagaimana guru yang hanya menyampaikan materi, tetapi abai terhadap soal kepribadian dan karakter anak-anak didiknya? Bagaimana guru yang hanya sekadar mengajar, tetapi tidak mendidik; yang sekadar menyampaikan materi tetapi tidak mengubah pola sikap dan pola pikir?

Wal akhir, pesan penting dari film ini begitu menghujam, bahwa seorang guru yang tidak hanya membekali anak-anak didiknya kemampuan kognetif, namun juga bekal bangunan kepribadian dan karakter moral yang kuat, kelak akan mendapati anak-anak didiknya itu tidak hanya sukses dalam aneka pencapaian hidup, tetapi juga memberi kontribusi bagi kehidupan. Dan, sebagai imbal baliknya, sosok guru yang seperti itu akan terkenang abadi dalam hati sanubari murid-muridnya, sebagai guru yang bukan hanya telah memberi materi pengetahuan, tetapi juga berkontribusi penting dalam dinamika sejarah kehidupan mereka. Bukan seperti Shutruk Nahhunte. Wallahu a’lam.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun