Senin, 27 April 2015 yang lalu, Aiman Wicaksono dari Kompas TV melakukan penelusuran serius terhadap praktik prostitusi pasca penutupan Dolly oleh Walikota Surabaya, Risma. Faktanya teramat ironis dan mengerikan. Lebih dari 60 persen PSK yang dulu beroperasi secara legal di Gang Dolly, kini masih tetap melayani tamu. Padahal, dari hasil pendataan sebelum penutupan, ada lebih dari 1400-an PSK di sana. Bisa dibayangkan, berapa ratus kini PSK yang tetap menjajakan jasa esek-eseknya.
Bedanya, kini mereka buka praktik (melayani tamu) secara ilegal, artinya secara sembunyi-sembunyi. Namun, di sisi lain, mereka kini justru merasa lebih bebas dan mandiri. Bebas, artinya bisa kapan dan di mana pun bertransaksi, sesuai perjanjian dengan klien. Perjanjian itu bisa lewat perantara, atau langsung dengan PSK yang bersangkutan melalui telepon. Tempatnya bisa di hotel, penginapan, atau bisa juga langsung di kos-kosan si PSK (di kompleks Dolly atau di luar). Jika musti di hotel atau penginapan, harus ada tambahan biaya ngojek (utamanya bagi PSK) dan ongkos ngamar. Ini yang membuat biaya agak membengkak dibanding ketika Dolly belum tutup. Namun, yang menguntungkan para PSK, kini mereka mandiri, artinya bisa mengatur uang hasil kerjanya sendiri. Dulu, di Dolly, pengelolaan keuangan di tangan mucikari atau Mami. Ada potongan, sehingga pendapatannya kurang memuaskan. Kini, mereka bisa mendapatkan uang secara penuh dari para tamu, meski memang harus ada pengeluaran lain (ngojek, bayar hotel/penginapan, dll).
Sebenarnya, ketika penutupan Dolly itu, pemerintah memberi pesangon sebesar Rp 5 juta kepada setiap PSK, dengan harapan mereka bisa berhenti beroperasi dan membuka usaha lain. Tetapi, tentu saja uang sekecil itu jauh dari memadai untuk mewujudkan apa yang diharapkan pemerintah. Apalagi, mereka juga dilepas dan dibiarkan begitu saja. Tidak ada bimbingan atau arahan lebih lanjut, atau monitoring untuk benar-benar memastikan para PSK itu sudah tak lagi menerima tamu. Jadi, ketika faktanya mereka kini masih beroperasi secara ilegal, bahkan liar, ya harap maklum. Sebab, mereka terdesak kebutuhan yang kian tinggi saban hari, untuk anak-anak mereka, orangtua mereka di kampung, dst.
Dalam tayangan, Aiman berkunjung ke Yayasan Abdi Asih yang terletak tidak jauh dari Dolly. Menurut ketua yayasan, Titik Sulistyawati, Abdi Asih sudah berkiprah lebih dari 30 tahunan untuk mengentaskan para PSK Dolly agar bisa bermasyarakat dengan baik dan memulai usaha lain. Untuk proyek seperti itu, tidak satu dua hari jadi. Butuh bertahun-tahun. Harus ada bimbingan secara terus menerus sekian lama, tidak hanya dari aspek ketrampilan sesuai bakat dan minat masing-masing PSK, tetapi juga dari aspek sikap-mental, yakni perubahan mindset. Itulah yang selama ini dilakukan Abdi Asih dalam menangani PSK Dolly yang ingin keluar dan ganti profesi yang halal. Karena perannya yang nyata itu, ada seorang jurnalis Perancis yang memberi apresiasi, sehingga mau membantu operasional yayasan hingga kini. Yang aneh, masyarakat kita sendiri tidak ada yang peduli, atau setidaknya memerhatikan kiprah Abdi Asih. Pemerintah saja, pasca penutupan Dolly hingga hari ini, sama sekali tidak mengajak bicara Yayasan Abdi Asih. Padahal, yayasan seperti Abdi Asih ini mustinya diajak bicara, diajak bekerjasama, berkoordinasi, karena pengalaman mereka yang cukup lama, dan peran mereka yang nyata, dalam membina dan membimbing para PSK keluar dari Dolly dan memulai hidup baru.
Faktor Kemiskinan
Aiman mewawancarai beberapa PSK secara acak. Ada yang menarik, bahwa secara umum mereka beralasan pada satu hal kenapa mereka masih saja menerima tamu, menjajakan seks, yakni: kemiskinan. Rerata mereka bukanlah penduduk Surabaya atau Jawa Timur. Kebanyakan dari luar daerah, yang latar belakang keluarganya miskin. Di daerah asalnya, mereka tidak punya penghasilan yang memadai, pekerjaan tetap, untuk memenuhi kebutuhan keluarganya: makan, sandang, sekolah anak-anak, dan seterusnya. Mereka jadi PSK di Dolly, karena tuntutan ekonomi. Penghasilan sebagai PSK lumayan, setidaknya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga. Jika harus alih profesi lain, mereka minim dari segi ketrampilan dan modal. Memang terkesan klise, tetapi itulah pengakuan mereka.
Khusus tentang modal, misalnya, Aiman bertanya: Bukankah mereka sudah diberi pesangon 5 juta dari pemerintah? Mendapat pertanyaan itu, seorang PSK 55 tahun asal Yogya (tanpa disebut namanya) menjawab ringkas, “Mana cukup 5 juta untuk buka usaha?” Baginya, jumlah itu terlalu sedikit. Untuk merintis usaha, katakanlah membuka warung kelontong, uang 5 juta hanya untuk membuat tokonya. Sedangkan untuk belanja barang yang akan dijual, butuh modal lagi. Ia menaksir, setidaknya butuh Rp 25 juta untuk membuka usaha baru. Apa pemerintah sudi menggelontorkan uang sebanyak itu kepada tiap-tiap PSK? Tentu saja tidak. Maunya pemerintah hanya satu: Dolly bubar, sila cari pekerjaan lain, dan ini ada uang 5 juta sebagai modal. Padahal, masalah yang dihadapi para PSK sangat kompleks. Pun, tidak semua PSK mendapat pesangon tersebut. Di sisi lain, pemerintah juga tidak meneliti dan mencermati lebih jauh minat usaha masing-masing PSK, yang tentu berbeda satu sama lain. Tentang modal Rp 5 juta itu, pun tidak ada monitoring secara serius, apa benar-benar digunakan sesuai yang diharapkan, atau justru untuk keperluan lain. Begitulah, terkesan penanganannya serampangan dan tidak terukur, sehingga hasilnya pun jauh dari harapan. Maka lihatlah faktanya kini: para PSK Dolly masih tetap beroperasi. Sebabnya satu, para PSK itu rerata miksin. Mereka butuh makan, anak-anak mereka butuh sekolah dan uang jajan, orangtua mereka di kampung butuh kiriman uang untuk menyambung hidup. Apalagi yang bisa menjadi tumpuan, kecuali menerima tamu kembali?
PMS
Ada fakta yang membuat kita trenyuh dan miris ketika Aiman mewawancarai seorang PSK belia. Usianya baru 16 tahun, jadi masih di bawah umur. Daerah asalnya tidak jauh dari Surabaya, masih Jawa Timur yang jelas. Ia menjadi tulang punggung keluarga di kampung, yakni orangtua dan adik-adiknya. Ia tidak tahu harus alih profesi apa pasca penutupan Dolly. Ketrampilan ia tak punya, ijazah SMP pun tak ada. Sesatunya pekerjaan yang bisa mencukupi kebutuhan orangtua dan adik-adiknya, juga dirinya sendiri, adalah dengan tetap menjadi PSK.