Dulu, banyakorang yang berpikiran sempit dan “sadis”, dengan menuduh bahwa HIV adalahpenyakit kutukan Tuhan bagi wanita yang suka 'menjajakan diri' dan lelakihidung belang. Orang-orang mengucilkan pasien HIV/AIDS, atau populer disebuODHA (orang dengan HIV/AIDS), bukan semata-mata didasari anggapan secara salah bahwavirusnya bisa menular meski hanya berdekatan secara fisik, tetapi juga memaksudkannya sebagai sanksi moral-sosial kepada penderita. ODHA dipandang sebagai makhluk amoral (pezina, peselingkuh, dll), sehingga layak dikucilkan.Padahal, kenyataannya, banyak juga penderita HIV/AIDS bukan dikarenakan iamelanggar moral (berzina, berselingkuh, melacur), tetapi karena tertulari pasanganresminya. Sudah bukan rahasia lagi, penderita HIV/AIDS terbanyak kedua adalahibu rumah tangga (IRT), dan ini menjadi fenomena umum di banyak daerah dalamkonteks sebaran virus HIV/AIDS. Pertanyaan retorisnya, siapa yang menularimereka?
Publik (awam)juga seakan-akan bersyukur, dalam istilah Jawa: ngapokna, ketika diketahui bahwa virus HIV/AIDS tidak bisapenangkalnya, tidak bisa lepas dari tubuh, tidak ada obat penyembuhnya, danberujung kematian. Pikir mereka, itulah ganjaran bagi para pelanggar moral,dikutuk Tuhan dengan penyakit yang mematikan.
Tetapi itu dulu,ketika sains dan teknologi medis belum berkembang seperti sekarang. Ilmupengetahuan semakin maju, dan kian memberi angin segar bagi peningkatankesehatan manusia secara lebih baik, sekarang dan ke depan. Kini sudah ada obatArv (antiretroviral) yang bisadiminum oleh penderita HIV, saban hari, untuk menekan perkembangan virus,meningkatkan zat imun tubuh (lazim disebut CD4), sehingga tidak sampai ke tarafAIDS, dan penderita HIV bisa menjalani hidup secara normal, menikah, bekerja,punya anak yang sehat (tanpa tertular), dan bahkan bisa berumur panjang sepertimanusia lain yang sehat. Obat itu pun bisa diperoleh secara gratis, pasientinggal mengambilnya sendiri di RS kabupaten atau provinsi. Pemerintahmenganggarkan sekitar Rp. 12 juta/tahun/penderita. Hanya saja, untuk ideal sepertiitu, penderita harus sudah meminumnya semenjak masih dalam taraf HIV, dan ituhanya akan terjadi ketika sejak dini sudah ada kesadaran dari penderita (yakni:kalangan berisiko) untuk memeriksakan diri secara sukarela, melakukan VCT ( Voluntary Counseling Test), sehinggaterketahui bahwa ia “false positive”HIV, dan selanjutnya berhak mendapatkan Arvtadi. Sebab, hanya pasien HIV sendiri yang tahu bahwa dirinya terjangkit virustersebut, bukan orang lain.
Sayang beribusayang, rerata orang (penderita HIV) memeriksakan dirinya ketika sudah dalamtaraf AIDS. Pun pemeriksaan itu bukan didasari kesadaran akan adanya virus itu dalamdirinya, tetapi pemeriksaan atas gejala-gejala AIDS yang sudah atau mulai ia rasakandalam waktu lama (tak kunjung sembuh), seperti: demam, ngedrop, gatal-gatal, sariawan, diare, batuk, flu, diare, danpelbagai gangguan infeksi lainnya. Bukti atas kecenderungan atau pola sepertiini, misalnya, adalah kasus penyebaran HIV/AIDS di Gunungkidul, DIY, di mana,anehnya, dari sekitar 220-an penderita HIV/AIDS (per September 2015 saja,tercatat 214 pasien), yang terbanyak justru penderita AIDS-nya, bukan HIV-nya.Ini terjadi tentu karena kebanyakan memeriksakan diri ketika sudah timbulgejala-gejala AIDS, ketika virus HIV sudah mengendap dalam tubuhnya sekitar 4-5tahun. Ketika masih dalam taraf HIV, yakni kurun 4-5 tahun sebelumnya, mereka (parapenderita) masih enjoy saja, karenamemang tidak merasakan gangguan apa-apa, layaknya orang sehat lainnya (yangtidak mengidap HIV).
Karena sudahtelat, maka pemberian Arv menjadikurang signikan. Ketika gejala-gejala yang timbul sudah kelewat parah, intervensiArv menjadi kurang “bertenaga”. Persisnya,bahwa zat CD4 (daya imun) yang dihasilkan oleh Arv sebagai benteng peredam perkembangan virus menjadi kurang dariyang diharapkan (minimal di angka 500), sehingga angka harapan bisa hidup lebihlama bagi penderita AIDS pun jadi lebih kecil. Pemberian Arv pada saat gejalaAIDS sudah muncul, konon secara umum hanya bisa memberikan zat CD4 di kisaranangka 350-an.
Yang lebihkrusial lagi dalam konteks penanganan HIV/AIDS ini, khususnya di Indonesia,adalah soal stigmatisasi di tengah masyarakat. Stigma buruk kepada ODHA jelasikut berperan dalam memperlambat pemulihan kondisi kesehatan ODHA, alih-alihbahkan bisa menggagalkan (mati lebih cepat). Sebab, penderita merasakan tekananbatin karena dikucilkan masyarakat, belum lagi pandangan-pandangan buruk secaramoral atas dirinya. Hal ini tentu akan menghambat proses pemulihan kesehatan jikasang penderita tidak kuat secara mental. Beda halnya dengan di luar negeri, dimana stigma buruk tidak ada sama sekali. Sehingga, para ODHA bisa menampilkandiri ke publik, bisa bersosialisasi secara normal, diterima dengan layak. Ini jelassangat membantu pemulihan ODHA, sehingga hari depannya lebih baik, makin sehat,dan bisa berumur panjang sebagaimana orang sehat pada galibnya.
Sesungguhnyakalau kita cermati ada yang konyol dari sikap dan perlakuan masyarakat terhadapODHA, khususnya jika dibandingkan dengan penderita TBC, atau yang kini lebihdikenal dengan TB Paru. Karena stigmatisasi buruk, juga karena pandangan yangsalah kaprah, orang-orang cenderung menjauhi secara fisik ODHA, dengan alasantakut tertular. Mereka berpikiran secara salah bahwa kita bisa tertular virusAIDS hanya karena berdekatan secara fisik dengan ODHA. Padahal, yang benar,virus tersebut hanya bisa menular melalui 4 cara: hubungan seks, ibu hamilkepada janin, pemanfaatan jarum suntik secara bersama-sama & tidak steril(khususnya dalam kasus penggunaan narkoba secara berjamaah), serta tranfusidarah. Saya punya data nyata, di sebuah desa di kecamatan X di Gunungkidulpesisir, seorang ODHA sepanjang sakit hingga meninggalnya tidak ada seorang puntetangga yang menengoknya. Yang mengurus segala keperluan hidupnya adalahibunya, seorang janda tua pula.
Di sisi lain, TBParu bisa menular justru melalui “berdekatan secara fisik” antara penderitadengan orang lain (yang sehat). Sebab, TB Paru secara umum menyebarkan kumannyalewat udara. Ketika, misalnya, seorang penderita TB Paru bersin dan batuk tanpamasker, meludah atau buang dahak secara sembarangan, sementara di dekatnyabanyak orang lain yang juga tidak memakai masker, maka potensi penularannyasangat besar. Anehnya, berbeda dengan kasus penderita AIDS yang justru dijauhi(meski tidak menulari kecuali lewat 4 cara di atas tadi), kita justru melihatdi kampung-kampung, di RS-RS, banyak orang secara beramai-ramai mengunjungi,istilah Jawanya: endang, penderita TBParu, secara asal-asalan, tidak memakai masker, berbincang dengannya secaraberdekatan, tanpa ada rasa takut sedikit pun jika sampai tertular (misalnya saatpenderita bersin, batuk, meludah).
Maka, sangat mendesakbagi kita sesungguhnya, semua pihak, pemerintah dan masyarakat, untukmenanamkan kesadaran kepada publik awam, khususnya kalangan berisiko, agarmemeriksakan diri terkait kemungkinan terjangkit virus HIV. Pemeriksaan ituharus dilakukan secara sukarela, itulah kenapa dinamakan VCT (Voluntary CounselingTest). Dalam konteks Gunungkidul, misalnya, banyak sekali kaum pria yangmerantau dan pulang hanya beberapa bulan, atau bahkan beberapa tahun, sekali.Mereka ini, bisa jadi juga istri-istri mereka di rumah, sesungguhnya adalahkalangan berisiko. Sehingga, sangat dianjurkan mereka melakukan pemeriksaansejak dini, supaya bisa segera mendapatkan penanganan maksimal dan ke depanharapan hidupnya lebih baik. Akhir-akhir ini, perkembangan virus HIV/AIDS diGunungkidul cukup mengkhawatirkan, rerata 3 kasus/bulan. Itu saja baru datayang tampak (berdasarkan diagnosis Puskesmas dan RSUD).
Hal yang takkalah penting, adalah penanaman pemahaman kepada publik, bahwa HIV/AIDS tidakakan menular hanya karena berdekatan secara fisik, atau berbagi menggunakanalat rumah tangga, dengan ODHA. Ia, sekali lagi, hanya bisa menular melalui 4cara sebagaimana terpapar di atas. Sehingga, tidak ada alasan untuk menjauhiODHA. Stigmatisasi juga sudah saatnya dihilangkan, karena pada nyatanya tidaksemua ODHA adalah pelaku pelanggaran moral (pezina, pelacur, peselingkuh, dll).Selain itu, ODHA juga manusia, sehingga terlepas dia melanggar moral atautidak, ia berhak hidup sehat dan bersosialisasi secara normal.
Di sisi lain,masyarakat juga musti diberi wawasan dan kesadaran bahwa secara umum penularan TBParu terjadi secara langsung ketika sedang berhadap-hadapan dengan sipenderita, yaitu melalui ludah dan dahak yang keluar dari batuk dan hembusannafas penderita, sementara kedua-duanya (penderita dan orang lain/sehat) tidakmemakai masker. Secara tidak langsung dapat juga melalui debu, serta alatmakanan dan minuman yang mengandung kuman TB Paru. Melalui medium air, TB Parujuga bisa bertahan dan menyebar. Maka sesungguhnya potensi penularan penyakitjustru terjadi dalam kasus orang sehat berdekatan secara fisik, saling berbagimenggunakan alat rumah tangga (yang tidak steril, tentu saja), dengan penderitaTB Paru.