Mungkin karena sudah terlampau pernah khusyuk dan kelewat radikal dalam mengamati kata dan huruf, yakni ketika sebagai editor di sebuah penerbit di Yogyakarta, saya jadi gampang peka terhadap pelbagai kesalahan penulisan sebuah kata atau ejaan, baik itu karena faktor ketidaksengajaan penulisnya, atau memang karena faktor kejahilannya. Kejahilan ini bisa terjadi karena banyak sebab, mungkin karena dasar sang penulis tidak tahu dan tidak paham seluk-beluk ihwal sesuatu yang ditulisnya, atau bisa juga karena faktor kurang baca saja. Dan, bagi saya, kesalahan kecil meski hanya soal kurang satu huruf saja, misalnya, tetap saja salah, dan membuat saya sangat risih. Sebab ini bisa terkait dengan kredibilitas dan kekurangperhatian pada detil.
Misalnya soal AHWA, yang beberapa hari yang lalu sempat menjadi isu yang hangat dan bahkan panas terkait dengan mekanisme pemilihan Rais Aam NU di arena muktamar. Bagi kalangan awam, apalagi yang kurang aktif mengikuti perkembangan berita seputar muktamar NU (dan Muhammadiyah), tentu terasa asing mendengar atau membaca istilah (akronim) AHWA. Maka sangat bijak jika kemudian media massa, entah cetak atau online, menjelaskan atau mencantumkan, apa kepanjangan dari AHWA itu? Apa, sih, AHWA itu? Kenapa ia menjadi istilah yang sedemikian “seksi” dalam mukmatar NU kemarin itu?
Yang menjadi masalah, khususnya bagi pembaca yang mantan aktivis perbukuan kayak saya ini, adalah ketika antara media satu dengan yang lain tidak seragam dalam menulis kepanjangan dari istilah AHWA itu. Misalnya pada dua koran yang saya baca pada hari Rabu (5/8): Kedaulatan Rakyat (KR) dan Kompas. Koran lokal Yogya, KR, dalam salah satu berita tentang mukmatar NU, menulis di halaman paling belakang bahwa AHWA adalah singkatan Ahlul Halli wal Aqdi. Sementara itu, koran nasional Kompas, pada berita tentang muktamar NU, di halaman depan, menulis AHWA singkatan dari Ahlul Halli wa Aqdi. Hanya beda satu huruf saja, L (lam).
Seperti sudah menjadi rahasia umum, untuk rank rujukan berita atau opini, Kompas konon dianggap lebih kredibel dibanding KR. Apalagi yang disebutkan pertama bertaraf nasional, sedangkan yang terakhir hanya kondang di kawasan DIY dan paling jauh karesidenan Kedu. Entah apa sebabnya, dan sejak kapan kesan seperti itu dibangun. Apa memang kenyataannya demikian, atau hanya mitos belaka.
Tetapi, ketika saya membandingkan kedua surat kabar ini dalam hal yang mungkin bagi kebanyakan pembaca remeh-temeh, yakni soal kepanjangan sebuah akronim (AHWA), yang saya tangkap justru sebaliknya: KR itu lebih kredibel dan teliti, sedangkan Kompas itu ceroboh dan kemproh! Apakah itu wartawan atau redaktur Kompas tidak punya waktu untuk berselancar sedikit, sebentar saja, browsing berita, tentang apa kepanjangan dari AHWA, dan bagaimana cara penulisannya yang benar? Mending kalau berita atau tulisan ini "nylesep" di halaman tengah, atau di halaman akhir. Lha ini di halaman pertama je brow! Dibaca lebih banyak orang. Di sini saya merasa ada hal yang memalukan.
Ini memang perkara sepele, hanya soal satu huruf, tetapi menunjukkan bagaimana standar ilmiah, profesionalitas, dan kapasitas SDM yang dimiliki oleh sebuah institusi penerbitan yang menjadi konsumsi begitu banyak orang, apalagi sudah dikenal bonafiditasnya. Sehingga, dengan ini saya serukan kepada Kompas, atau wartawan Kompas, #AyoMondok…!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H