Belakangan ini, berita yang cukup heboh adalah komentar seorang tokoh nasional, Ade Armando, ketika di media sosial menuduh bahwa hadis Nabi tidak rasional. Komentar yang dianggap bernada menghina itu muncul ketika orang banyak memersoalkan perilaku presiden yang dalam sebuah acara jamuan yang beliau gelar untuk anak-anak yatim, di mana beliau minum berdiri dan dengan tangan kiri pula. Banyak orang, terutama kalangan yang sedari dulu dikenal kritis (untuk tidak menyebut benci) terhadap apa dan bagaimana pun polah dan perilaku presiden, yang merespon secara sinis bahwa presiden kita tidak tahu adab dan etika Islami, padahal beliau seorang Muslim. Jika presiden memiliki wawasan dan karakter keberagamaan yang bagus, tentu beliau tahu, bahwa sangat tidak etis bagi seorang Muslim makan atau minum berdiri dan dengan tangan kiri pula.
Saya dikenal sebagai seorang moderat. Sehingga, ada seorang teman yang bertanya kepada, apa saya sepakat dengan Ade Armando, yang hanya demi membela presiden (yang tak beradab Islami itu), sampai musti menghina hadis Nabi, padahal hadis adalah otoritas tertinggi kedua setelah Alquran? Teman diskusi saya itu juga menambahkan bahwa hal-hal kecil semacam cara makan atau minum yang benar, yang beradab, adalah sesuatu yang penting dalam keberagamaan seseorang. Seorang presiden yang tidak peduli akan hal-hal kecil namun penting ini, layak diragukan integritas keberagamaannya, padahal dalam konteks keindonesiaan, hal-hal yang bersifat keagamaan masih sangat dipertimbangkan.
Saya hanya menjawab, bahwa saya tidak mungkin akan mengambil posisi sampai harus menghina hadis Nabi, menyatakan bahwa hadis tidak masuk akal, bla bla bla. Saya juga tentu sepakat dan taat dengan klausul etis yang Nabi ajarkan tentang tata cara makan minum yang baik (Islami). Semoderat-moderat atau seliberal-liberal apa pun saya, saya hanyalah umat Nabi, dan saya bukan pakar atau ahli yang mumpuni dalam bidang hadis Nabi. Sebaliknya, saya selalu berproses (setidaknya itu keinginan saya) untuk menjadi umat beliau, yang mengamalkan ajaran-ajaran beliau. Jadi, tentu saja saya tidak akan memihak atau menyetujui reaksi berlebihan yang ditunjukkan oleh Ade Armando.
Hanya saja, di sisi lain, saya juga kurang cocok, bahkan sangat tidak cocok, dengan kecenderungan-kecenderungan umum yang terkadang sangat lebay, yakni mempersoalkan hal-hal yang sesungguhnya sepele, kecil, sehingga kemudian menjadi isu yang besar, heboh, dan menasional, yang hanya sia-sia dan membuang-buang energi saja. Misalnya ya tentang presiden yang minum dengan tangan kiri dan berdiri itu.
Saya secara pribadi hanya berpikir, merenung, bahwa mungkin saja presiden tidak tahu tentang tata cara makan minum yang Islami secara detil, meskipun tentu saja beliau seorang Muslim. Dan, saya kira, itu hal yang wajar dan lumrah saja. Kita sendiri, siapa saja, tidak mungkin mengerti dan mengetahui segala hal, segala aspek, secara keseluruhan; hanya tahu hal-hal yang sifatnya umum, global, tidak sampai detil. Atau, dalam pikiran saya, bisa jadi pula presiden sejatinya sudah tahu, namun beliau lupa. Bisa pula bahwa beliau tahu, beliau tidak lupa, tetapi beliau dihadapkan pada situasi dan kondisi darurat tertentu. Misalnya, tangan kanan beliau sedang memegang sesuatu, tangan kanan agak kotor, dst. Saya lebih ingin “memahami” saja, bukan “menghakimi”.
Kalau mau jawaban yang lebih saklek dan “radikal” lagi, apabila ditarik ke ranah usul fikih (legal maxims) Islam, katakanlah jika benar disimpulkan bahwa makan/minum dengan tangan kiri itu haram, terlarang, suatu dosa, apakah lantas itu berarti haram secara mutlak (tanpa toleransi dan tanpa pengecualian dalam kondisi apa pun)? Apakah kemudian bisa dipahami secara konsekuen bahwa pelanggaran terhadap hukum haram itu dapat membatalkan keimanan dan keislaman seseorang? Tentu saja tidak.
Sampai di sini, saya jadi ingin membagankan isu cara minum presiden ini ke dalam tesis Mbah Nun (Emha Ainun Nadjib) beberapa waktu lalu, yang saya tangkap dalam acara “Macapat Syafaat Kyai Kanjeng” di sebuah televise local Yogyakarta, terkait konsep Alquran tentang “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” (QS Saba’: 15). Secara kebahasaan, kalimat sloganistik tersebut berarti “Negara yang baik, sejahtera, di mana Tuhan mengampuni seluruh penduduknya”. Dalam konteks wawasan politik Jawa, slogan tersebut kurang lebih semakna dengan filosofi atau idealisme “gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja”. Dalam diskursus politik modern, itu adalah idealisme tentang negara sejahtera (welfare state).
Yang menarik dalam konsep Quranik ini adalah, kenapa di situ justru disematkan kata-kata “rabbun ghafur”, Tuhan maha pengampun atau Tuhan mengampuni? Bukankah ini sesuatu yang terasa janggal secara rasa kebahasaan, kalau bukan malah distortif? Sebab, sepintas terkesan kurang pas dan tidak ada hubungan sistematis sama sekali. Kenapa bukan rumusan yang lebih ideal dan mendekati sempurna, misalnya: “baldatun thayyibatun wa ahluha muthi’un ila Allah”, artinya, “negara sejahtera lahir batin, di mana semua penduduk negerinya taat kepada perintah Allah”? Atau, bisa juga, “baldatun thayyibatun fi ridha Allah”, “negara sejahtera lahir batin, dalam naungan ridha Allah”.
Ini menarik, kata Cak Nun. Kita bisa menggali akar konseptualnya dengan pertanyaan mendasar: kenapa seseorang di ampuni, kenapa sebuah negeri mendapat ampunan, dan kenapa Tuhan mengampuni? Seseorang diampuni karena bersalah. Penduduk suatu negeri beroleh ampunan, karena mereka berdosa dan khilaf. Sebab, Tuhan hanya akan mengampuni jika (terlebih dulu) ada tindakan yang salah, karena ada dosa dan khilaf yang dilakukan manusia. Dus, ketika konsep “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” ini dipahami sebagai sebuah konsep atau idealisme politik, apa makna di balik itu?
Maknanya adalah, demikian Mbah Nun, bahwa kerja dan kinerja seorang penyelenggara negara, siapa pun dia, dari tingkat tertinggi sampai terbawah, dinilai atas dasar pencapaian-pencapaiannya yang berdampak pada kemaslahatan sebanyak-banyak rakyat atau warga bangsa. Ini sejalan dengan kaidah fikih Islam, “tasharruf al-imam ‘ala al-ra'iyyah manuthun bi al-mashlahah”, bahwa pelayanan pemerintah atau pemimpin suatu negara kepada rakyat harus diorientasikan/didasarkan pada nilai-nilai kemaslahatan (rakyat). Hanya dengan dasar dan idealisme seperti itulah, maka pada tataran lanjutnya akan terwujud “baldatun thayyibatun”, terwujud kesejateraan bagi sebanyak-banyak rakyat, baik dari segi lahiriah ataupun batiniah.
Namun demikian, dalam tata penyelenggaraan pemerintahan apa pun, selagi itu dijalankan oleh manusia (yang nota bene tempat salah dan lupa, mahall al-khatha’ wa al-nisyan), tentu tidak bisa sepenuhnya berjalan secara murni dan konsekuen sesuai prosedur atau tata aturan yang disepakati, atau selalu berjalan di atas koridor-koridor hukum dan moral (baik yang berdasarkan konvensi maupun bersifat kodrati), meskipun jika dilihat dari sisi outputnya menunjukkan hasil, yakni ada manfaat dan yang besar lagi nyata. Selalu saja ada celah kekurangan di sana-sini, kesalahan-kesalahan kecil, baik itu bentuknya pelanggaran terhadap prosedur tata penyelanggaraan negara, atau bahkan pengabaian atas nilai-nilai mora-kebaikan, entah itu dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara negara maupun sebagai pribadi (person). Itulah kenapa kemudian Tuhan menyematkan “rabbun ghafur”, yang berarti bahwa Tuhan maha mengampuni, maha memaafkan, atas dosa-dosa kecil yang mungkin kita lakukan (yang kita sengaja atau tidak kita sengaja), yang mungkin itu bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan, melawan prosedur, dsb, di tengah-tengah proses kerja dan pengabdian kita kepada bangsa dan negara. Namun, tentu saja dengan catatan, bahwa kesalahan-kesalahan itu hanyalah bersekala kecil, tidak prinsipil, tidak disengaja atau karena memang tidak bisa terhindarkan (darurat). Maksudnya, jika dibuat skala perbandingan, kesalahan atau kekehilafan kecil semacam itu tidaklah bernilai apa pun dibanding dengan output atau hasil yang tercapai, yang dalam konteks nasional berupa terwujudnya kesejahteraan bagi sebanyak-banyak rakyat (baldatun thayyibatun).