Belum lama ini, Dr Muhammad Shahrour, seorang pemikir Muslim asal Damaskus, Syiria, menggagas tafsir yang otentik atas ayat poligami. Secara khusus, Shahrour berfokus pada kata tuqsithu (qisth) dan ta’dilu (‘adl) dalam QS al-Nisa’: 3, ayat yang memang menjadi rujukan dasar tentang syariat poligami. Kata tuqsithu berasal dari kata qasatha dan ta’dilu berasal dari kata ‘adala. Kata qasatha dalam pemahaman orang Arab mempunyai dua pengertian yang kontradiktif. Makna yang pertama adalah al-’adlu (lihat: QS al-Maidah [5]: 42, al-Hujurat [49]: 9, al-Mumtahanah [60]: 8), sedangkan makna yang kedua adalah al-zhulm wa al-jur (QS al-Jinn [72]: 14). Begitu pula kata al-‘adl, mempunyai dua arti yang berlainan, bisa berarti al-istiwa’ (sama, lurus) dan bisa berarti al-a’waj (bengkok). Dari analisis tersebut, Shahrour lalu berkesimpulan bahwasanya ada perbedaan dalam mengartikan dua kalimat tersebut, al-qasthdan al-‘adl.Mayoritas ulama mengartikannya secara sama (sinonim), yakni adil, dan tidak ada persoalan lebih lanjut: adil yang bagaimana?Sebaliknya, Shahrour menafsirkan secara baru, bahwa tuqsithu adalah sikap adil dalam suatu/satu sisi, sedangkan ta’dilu sikap adil di antara dua sisi.
Dari analisis atas makna mufradat kata-kata kunci (key words) QS al-Nisa’[4]: 3 itulah, maka Shahrour menerjemahkan ayat tersebut dalam versi baru sebagai berikut:
“Jika kamu khawatir tidak bisa berbuat adil terhadap anak-anak yatim, maka nikahilah para janda (ibu dari anak-anak yatim itu) sebanyak dua, tiga, atau empat. Dan jika kamu khawatir tidak bisa adil terhadap, tidak kuasa memelihara, anak-anak yatim mereka (para janda yang kamu nikahi), maka cukuplah bagimu satu istri saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu akan lebih menjaga dari perbuatan zalim [karena tidak bisa memelihara anak-anak yatim].”
Jadi, berbeda dengan konstruksi klasik maupun modern, Shahrour berpendapat bahwa poligami sah dan boleh-boleh saja, asal dengan dua syarat: pertama, ada perasaan khawatir tidak bisa bertindak adil terhadap anak-anak yatim; kedua, istri kedua dan seterusnya (maksimal 4) adalah janda (al-armalah, al-aramil), dan terutama lagi adalah janda yang memiliki anak-anak kecil (belum dewasa); ketiga, harus bisa berbuat adil kepada anak-anak yatim yang dibawa oleh para janda tersebut juga kepada anak-anaknya sendiri (dari istri pertama). Jika salah satu saja dari ketiga syarat itu yang tidak terpenuhi, maka, kata Shahrour, poligami menjadi gugur dan terlarang.
Konteks Logis
Mengapa Shahrour mengajukan tiga syarat tersebut, dan ketiga-tiganya musti dipenuhi? Shahrour beralasan, bahwa ini terkait dengan konteks logis dalam perintah poligami dalam ayat tersebut. Dalam hal ini, Shahrour mengajukan analisis sintagmatis, bahwa makna suatu kata pasti dipengaruhi oleh hubungannya secara linear dengan kata-kata di sekelilingnya. Konteks logis pertama bersifat tematik. Di ayat sebelumnya (QS al-Nisa’: 2), Tuhan berbicara tentang santunan terhadap anak yatim, dengan titik tekan perintah untuk memberikan hak-hak mereka (baca: mengembalikan harta mereka saat dewasa), serta larangan mencampuraduk antara yang buruk dengan yang baik, mencampur antara harta pribadi dan harta anak yatim yang ada dalam pengasuhan kita. Intinya, bahwa kita harus bertindak adil (al-qisth) terhadap anak-anak yatim. Mengurangi hak milik anak yatim, mencampur harta kita dengan harta mereka dan mengkonsumsinya secara semrawut, adalah suatu ketidakadilan, suatu kesalahan/dosa besar (huban kabira). Karena konteksnya adalah santunan terhadap anak yatim itulah, maka, menurut Shahrour, perintah poligami dalam QS al-Nisa’: 3 tidak berdiri sendiri, melainkan dikaitkan dengan masalah menyantuni anak yatim. Sehingga, jelas sekali tesis Shahrour: jika tiada kekhawatiran berlaku tidak adil kepada anak yatim, ya tidak usah poligami; atau, setelah poligami (dengan janda pemilik anak yatim) ternyata tidak bisa berlaku adil di antara anak dari istri pertama dengan anak yatim yang dibawa istri kedua dst, ya juga tidak usah poligami; cukup beristri satu saja.
Konteks logis berikutnya bersifat lingusitik. Perintah poligami dalam ayat tersebut ber-shighat al- syarth, kalimat syarat, yakni melalui konstruksi in-fa, jika-maka, wa in khiftum.. (jika kamu merasa khawatir…), fa inkihu… (maka nikahilah olehmu…). Karena bentuknya kalimat syarat, maka seakan-akan kalimat tersebut berbunyi: “… maka nikahilah olehmu wanita yang baik, dua, tiga, empat… (fa inkihu ma thaba lakum min al-nisa’ matsna wa tsulatsa wa ruba’), dengan syarat: … jika kamu merasa khawatir tidak bisa berlaku adil kepada anak-anak yatim (in khiftum an la tuqsithu fi al-yatama…). Kata wa (hurf wawu) dalam wa in khiftum adalah ma’thufah, yakni masih terkait erat dengan frasa sebelumnya (ayat 2), yang berbicara tentang hak anak yatim. Oleh karenanya, maksud dari “tidak bisa berbuat adil kepada anak yatim” (an la tuqsithu fi al-yatama) di ayat 3 adalah “mengabaikan hak-hak anak yatim dan mencampur aduk antara harta pribadi dan harta anak yatim” (ayat 2). Sehingga, makna kata al-yatama dalam ayat 3 itu, menurut Shahrour, bukanlah “perempuan-perempuan yatim yang kamu nikahi” (sebagaimana konstruksi tafsir klasik-konservatif), melainkan anak yatim dalam pengertian umum: baik lelaki maupun perempuan, yang kehilangan ayah (faqidu al-ab), sertabelum dewasa (masih kanak-kanak)
Kemudian, masih dari sisi linguistik, dalam ayat 3 tersebut ada dua kata, yakni tuqsithu (dari al-qisth) dan ta’dilu (dari al-‘adl), yang secara umum sama-sama dimaknai “berlaku adil”—sebagaimana sudah terpapar di atas dalam elaborasi Shahrour. Kata tuqsithu muncul terkait dengan syarat poligami (fa inkihu), sedangkan ta’dilu terkait dengan konsekuensi setelah poligami (matsna wa tsulats wa ruba’).Dalam analisis Shahrour, pengertian qisth itu adalah keadilan yang berada dalam satu sisi (saja), sedangkan ‘adl adalah keadilanyang terdiri dari dua sisi. Namun, sekali lagi ditekankan, bahwa keadilan ini, baik yang sebagai makna dari al-qisth maupun al-‘adl, hanya terkait dengan masalah perhatian terhadap anak yatim. Dari sinilah, kemudian disimpulkan Shahrour, al-qisth adalah bertindak adil kepada anak-anak yatim saja (satu sisi), dengan memenuhi hak-hak mereka dari kanak-kanak hingga dewasa, tidak mencampur harta pribadi dengan harta mereka; sedangkan al-‘adl adalah berlaku adil kepada anak-anak kita sendiri dan anak-anak yatim (dua sisi). Karena dipahami al-qisth (teks: an la tuqsithu, “kamu tidak bisa bertindak adil”) sebelum poligami—sebagai syaratnya, lalu al-‘adl (teks: an la ta’dilu, “kamu tidak bisa bertindak adil) sesudah poligami—sebagai akibat atau dampaknya (dikarenakan kerepotan mengurus anak banyak), maka kemudian dipahami secara logis bahwa yang dimaksud al-nisa’ dalam ayat tersebut, yang menjadi istri kedua dst (maksimal 4), adalah al-armalah, al-aramil, yakni ibu dari anak-anak yatim tadi, alias janda beranak.
Hal itu didukung pula oleh struktur linguistik lain dalam ayat tersebut, yakni adanya kata “an la ta’ulu”. Dalam tradisi orang Arab, kata ini berasal dari ‘ala-ya’ulu, yang memiliki arti katsrah al-‘iyal, terlampau banyak anak. Analisis alamiah-logisnya, karena istri kedua dan seterusnya adalah para janda yang membawa serta anak-anak mereka yang masih kecil, maka menimbulkan kerepotan dan kepayahan bagi si suami (pelaku poligami), sehingga akan berpotensi melahirkan sikap tidak adil, “an la ta’dilu”, terhadap baik anak dari istri pertama maupun istri kedua dst (dua sisi). Untuk menghindari sikap sedemikian, yakni sikap tidak adil kepada anak sendiri dan anak yatim (dua sisi), cara yang paling praktis adalah monogami, cukup satu istri saja, “fa wahidatan”. Dengan hanya memperistri satu perempuan, seseorang (lelaki) akan terhindar dari kemungkinan banyak anak, “an la ta’ulu”. Sebab, banyak anak (katsrah al-‘iyah)—jika tidak memiliki kemampuan mengurus (utamanya secara finansial)— akan berpotensi melahirkan sikap tidak adil di antara anak-anak.
***
Hemat penulis, tafsir Shahrour atas ayat poligami itu sangatlah menarik. Bukan saja karena ia memiliki suatu nilai dobrak di dalam ranah hokum Islam, lebih dari itu karena ia memberi suatu wawasan dan sudut pandang baru dalam memahami ajaran poligami Islam. Bahwasanya, poligami hendaknya tidak semata-mata didasari oleh motif pemenuhan kebutuhan biologis yang menggelora, sehingga seakan-akan hanya berkaitan dengan seks. Lebih dari itu, poligami adalah ajaran yang berdimensi sosial, sehingga seyogianya praktik poligami diorientasikan terutama dalam rangka menanggulangi masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat, wabil khusus yang terkait dengan masalah nasib anak yatim dan janda.
Solusi Holistik