What
Menurut Marella Buckley, korupsi adalah tindakan penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi melalui suap atau komisi ilegal (Ridwan, 2014). Sejalan dengan pandangan ini, Indriyanto Seno Adji menyatakan bahwa korupsi merupakan bentuk White Collar Crime yang modus operandinya selalu berkembang secara dinamis dari berbagai sisi, sehingga dianggap sebagai kejahatan yang tidak kasat mata dan membutuhkan kebijakan hukum pidana dalam penanganannya (Jupri, 2019).
Secara harfiah, korupsi merujuk pada sesuatu yang bersifat busuk, jahat dan merusak. Pengertian korupsi mencakup dua aspek utama. Pertama, korupsi melibatkan tindakan penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan untuk keuntungan pribadi atau pihak lain. Kedua, korupsi terjadi ketika seseorang menggunakan barang atau uang yang dipercayakan padanya demi kepentingan pribadi, termasuk dengan menerima suap yang memanfaatkan kekuasaannya. Menurut Kamus Hukum, tindak pidana korupsi adalah tindakan curang yang merugikan keuangan negara.
Secara yuridis, pengertian tindak pidana korupsi dijelaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal ini menyatakan bahwa tindak pidana korupsi memiliki unsur mutlak, yaitu adanya perbuatan yang merugikan keuangan negara (Jupri, 2019). Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara paling sedikit empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Berdasarkan pasal tersebut, unsur-unsur korupsi mencakup:
1.Tindakan melawan hukum,
2.Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi dan
3.Berpotensi merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Frasa "melawan hukum" mencakup baik pelanggaran secara formil (dalam peraturan perundang-undangan) maupun secara materiil (bertentangan dengan norma keadilan atau norma sosial masyarakat). Selain itu, istilah "dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara" mengindikasikan bahwa korupsi adalah delik formil artinya, tindakan korupsi dianggap terjadi apabila unsur-unsur perbuatannya terpenuhi, tanpa harus melihat akibat yang ditimbulkannya.
Why
Menurut Jack Bologna, seseorang dapat melakukan kecurangan ketika dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu keserakahan, kesempatan, kebutuhan dan pengungkapan yang dikenal sebagai GONE Theory. Teori ini dikembangkan oleh Bologna pada tahun 1993, GONE Theory (Greed, Opportunity, Need, and Exposure) menjelaskan bahwa faktor-faktor ini berhubungan erat dengan kecenderungan seseorang dalam melakukan kecurangan, termasuk korupsi.
Pertama, greed atau keserakahan muncul dari keinginan tak terbatas yang ada dalam diri seseorang. Pelaku korupsi tidak pernah puas dengan apa yang sudah mereka miliki. Kedua, opportunity atau kesempatan muncul dari akses yang memungkinkan seseorang melakukan korupsi, meskipun awalnya mungkin tidak berniat melakukannya. Ketiga, need atau kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan korupsi, terutama ketika didorong oleh mentalitas konsumerisme yang berlebihan. Terakhir, exposes atau pengungkapan merujuk pada risiko atau konsekuensi yang dihadapi pelaku ketika korupsinya terungkap. Adanya hukuman yang tidak memberikan efek jera bagi koruptor menjadi salah satu alasan tindakan korupsi dapat terus berulang.
How
Kasus korupsi proyek KTP elektronik (E-KTP) di Indonesia adalah salah satu skandal besar yang menunjukkan bagaimana praktik korupsi dapat merugikan keuangan negara secara signifikan. Dengan anggaran yang sangat besar, proyek ini awalnya dimaksudkan untuk meningkatkan akurasi data kependudukan. Namun, alih-alih mencapai tujuannya, proyek ini malah menjadi sarana bagi sejumlah oknum untuk memperkaya diri sendiri. Berikut penerapan penyebab kasus korupsi e-KTP dengan pendekatan Jack Bologna:
1.Greed (Keserakahan)
Keserakahan atau greed merupakan salah satu faktor utama yang mendorong perilaku korupsi. Keserakahan adalah dorongan internal untuk mendapatkan lebih banyak kekayaan atau keuntungan, sering kali tanpa memperhatikan akibatnya bagi pihak lain. Dalam konteks proyek E-KTP, anggaran proyek yang sangat besar, mencapai triliunan rupiah menjadi daya tarik tersendiri bagi oknum-oknum yang ingin memperkaya diri.
Keserakahan memotivasi mereka untuk menyalahgunakan kekuasaan dan melakukan tindakan yang merugikan negara. Dalam proyek e-KTP, terdapat banyak pihak, baik dari kalangan pejabat pemerintah maupun pengusaha yang tergoda untuk memperoleh keuntungan pribadi dari anggaran besar ini. Hal ini menunjukkan bagaimana keserakahan mendorong individu untuk mengorbankan integritas dan tanggung jawab profesional, menciptakan siklus korupsi yang melibatkan banyak pihak di berbagai tingkatan.
Dalam kasus korupsi e-KTP tersebut terlihat bagaimana para tersangka memperlihatkan keserakahannya. Setelah rapat pembahasan anggaran, Burhanudin Napitupulu selalu Ketua Komisi II DPR meminta sejumlah uang kepada Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, Irman. Uang tersebut digunakan sebagai "uang mulus" agar anggaran proyek e-KTP yang diusulkan oleh Kemendagri disetujui oleh Komisi II DPR sebagai mitra Kemendagri. Hal ini menunjukkan keserakahan untuk memperkaya diri melalui kewenangan jabatan.
Selain itu, dari total anggaran Rp5,9 triliun, hanya 51 persen digunakan untuk belanja modal atau pengeluaran riil proyek, sementara sisanya sebesar Rp 2,5 triliun atau 49 persen dari total anggaran dialokasikan untuk keuntungan pribadi dan suap bagi para pelaku korupsi dengan rincian pembagian (1) Pejabat Kemendagri 7 persen (2) Anggota Komisi II DPR 5 persen (3) Setya Novanto dan Andi 11 persen (4) Anas dan Nazaruddin 11 persen (5) sisanya sebesar 15 persen akan diberikan sebagai keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan. Hal ini menunjukkan bahwa keserakahan telah mengalihkan tujuan awal dari proyek tersebut menjadi sarana untuk memperkaya diri.
2.Opportunity (Kesempatan)
Kesempatan merupakan situasi di mana seseorang memiliki akses atau peluang untuk melakukan korupsi. Kasus e-KTP merupakan proyek besar dengan anggaran yang sangat besar menciptakan peluang bagi para pelaku untuk melakukan korupsi. Selain itu, lemahnya sistem pengawasan, kekuasaan yang dimiliki oleh pihak tertentu dan celah dalam pengelolaan anggaran negara menjadi faktor utama yang memungkinkan terjadinya tindakan korupsi.
Anggaran proyek e-KTP membutuhkan persetujuan DPR, khususnya Komisi II yang merupakan mitra Kemendagri. Para pejabat Kemendagri dan rekanan proyek merasa perlu berkompromi dengan anggota DPR sehingga menciptakan situasi rawan suap. Hal ini menjadi kesempatan bagi pihak-pihak di DPR untuk meminta suap dengan menggunakan wewenang persetujuan anggaran.
Dalam proses pengadaan barang, Sugiharto ditunjuk oleh Irman sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Selama pelaksanaan, Sugiharto menetapkan dan menyetujui Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang telah digelembungkan. Hal ini menunjukkan bahwa kelemahan dalam proses pengadaan memungkinkan penggelembungan anggaran tanpa ada pengawasan yang memadai, sehingga tercipta kesempatan untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Proses persetujuan anggaran dan pengadaan barang dalam proyek e-KTP seharusnya diawasi oleh berbagai pihak untuk mencegah penyalahgunaan anggaran. Namun, pengawasan yang lemah baik dari internal Kemendagri maupun eksternal, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memberikan celah bagi para pelaku untuk melakukan korupsi tanpa hambatan.
Dengan adanya kesempatan yang terbuka, para pelaku memanfaatkan celah dalam sistem yang lemah untuk melakukan tindakan korupsi. Mereka merasa bebas untuk mengeksploitasi kelemahan tersebut tanpa takut terdeteksi atau menerima hukuman, karena pengawasan yang tidak efektif memberi ruang bagi mereka menjalankan aksinya.
3.Need (Kebutuhan)
Dalam kasus korupsi proyek e-KTP, kebutuhan ini tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan dasar seperti makanan atau tempat tinggal, tetapi juga keinginan untuk mencapai kemewahan, status sosial yang tinggi, serta mempertahankan kekuasaan dan pengaruh.
Para pelaku korupsi dalam kasus e-KTP, seperti pejabat Kemendagri dan anggota DPR, mungkin merasa "berhak" mendapatkan lebih dari yang semestinya berdasarkan posisi atau wewenang yang mereka miliki. Mereka terjebak dalam pola pikir konsumerisme berlebihan, di mana pemenuhan kebutuhan tidak hanya untuk kebutuhan dasar, tetapi juga untuk gaya hidup mewah, keuntungan finansial jangka panjang dan akses ke jaringan bisnis yang menguntungkan.
Pertama, kebutuhan untuk mempertahankan gaya hidup. Beberapa pelaku mungkin merasa tertekan untuk mempertahankan atau meningkatkan gaya hidup mewah mereka sehingga mendorong mereka mencari tambahan pendapatan secara ilegal, seperti menerima suap atau memanipulasi anggaran. Mereka merasa posisi mereka memberi peluang untuk memperoleh uang dengan cepat dan mudah melalui korupsi.
Kedua, kebutuhan untuk mempertahankan kekuasaan dan pengaruh. Bagi sebagian pejabat, kebutuhan ini lebih terkait dengan aspek politik dan sosial. Mereka mungkin merasa bahwa untuk tetap berkuasa atau mempertahankan posisi politik mereka, mereka harus memenuhi kebutuhan tertentu, seperti membiayai kampanye politik atau menanggung biaya tak terduga dalam aktivitas politik. Oleh karena itu, mereka memanfaatkan kekuasaan mereka untuk melakukan korupsi demi memenuhi kebutuhan tersebut.
Mentalitas konsumerisme berlebihan mendorong individu untuk terus mengejar keuntungan pribadi tanpa memperhitungkan dampak negatifnya terhadap masyarakat atau negara. Akibatnya, mereka lebih cenderung melakukan tindakan korupsi karena merasa bahwa kebutuhan dan keinginan pribadi lebih penting daripada integritas atau etika profesional.
4.Exposure (pengungkapan)
Dalam konteks hukum di Indonesia, penerapan hukuman terhadap pelaku korupsi sering kali dipertanyakan karena dianggap tidak setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukan dan kerugian yang diakibatkannya. Hukuman bagi pelaku korupsi di Indonesia memang sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi yang memberikan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan bahkan hukuman mati dalam keadaan tertentu.
Meskipun sudah ada ketentuan tersebut, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak pelaku korupsi yang mendapatkan hukuman yang jauh lebih ringan daripada apa yang seharusnya mereka terima. Sebagai contoh, Setya Novanto, salah satu tersangka utama dalam kasus korupsi e-KTP yang menyebabkan kerugian negara hingga triliunan rupiah, hanya dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Bagi banyak pihak, hukuman ini dirasa tidak cukup memberikan efek jera, mengingat skala kerugian yang ditimbulkan oleh korupsi tersebut.
Salah satu masalah utama dengan hukuman bagi pelaku korupsi di Indonesia adalah kenyataan bahwa penjara yang seharusnya menjadi tempat untuk memberikan efek jera, justru sering kali menjadi tempat peristirahatan bagi para pelaku.
Penjara yang mewah, seperti yang dimiliki oleh Setya Novanto di Lapas Sukamiskin, menimbulkan pertanyaan tentang apakah hukuman yang diberikan benar-benar efektif dalam memberikan efek jera. Sebagaimana yang dibenarkan oleh Tejo Harwanto selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas 1A Sukamiskin bahwa kamar yang dihuni Setya Novanto memiliki luas kamar yang lebih besar dari kamar lainnya dengan luas 300-500 cm. Ia juga mengatakan bahwa kamar dengan ukuran luas tidak hanya dihuni salah satu tersangka kasus korupsi e-KTP tersebut, tetapi ada sekitar 40 sel dengan ukuran serupa, seperti hunian Nazzaruddin yang juga merupakan salah satu tersangka kasus korupsi e-KTP, Joko Susilo dan Tubagus Chaeri Wardhana atau Wawan.
Fasilitas layaknya hotel bintang lima memungkinkan para pelaku korupsi untuk hidup dalam kenyamanan, sementara mereka seharusnya menjalani hukuman yang mencerminkan kejahatan yang telah mereka lakukan. Jika penjara di Indonesia memiliki fasilitas seperti ini, maka jelas tidak ada rasa takut atau penyesalan bagi para pelaku korupsi dan sebaliknya mereka justru merasa seperti sedang menjalani liburan.
Realitas menunjukkan bahwa hukum Indonesia tidak cukup memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), jumlah kasus korupsi yang ditindak pada tahun 2022 mencapai 579 kasus, hal ini menunjukkan peningkatan dari tahun sebelumnya yang hanya 533 kasus. Angka ini mencerminkan bahwa meskipun sudah ada sistem hukum yang mengatur tindak pidana korupsi, pelaku masih merasa aman untuk melakukan tindakan korupsi. Salah satu alasan utamanya adalah kurangnya penegakan hukum yang tegas dan konsekuen terhadap pelaku korupsi sehingga menyebabkan pelaku tidak takut terhadap hukuman yang akan mereka terima.
Keterbukaan dan peningkatan proses pembahasan anggaran yang lebih cermat diyakini dapat mencegah terulangnya skandal korupsi anggaran, seperti yang terjadi pada proyek KTP elektronik yang diperkirakan merugikan negara hingga sekitar Rp2,3 triliun.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati setelah memberikan pidato kunci dalam acara Indonesia Economic Outlook di London beberapa tahun yang lalu, tepatnya 20 Maret 2017. Sri Mulyani menekankan dua aspek penting dalam mencegah penyalahgunaan anggaran. Pertama, keterbukaan dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran. Kedua, perbaikan dalam pengelolaan biaya, khususnya dengan memastikan kepastian terkait biaya per unit atau unit cost.
Unit cost adalah metode perhitungan biaya yang digunakan untuk menentukan biaya per satuan produk atau layanan dengan membagi total biaya dengan jumlah atau kualitas output yang dihasilkan. Hal ini memungkinkan pemerintah untuk lebih efektif dalam mengelola anggaran, mengurangi penggelembungan biaya (mark-up), serta memastikan bahwa dana negara digunakan secara lebih efisien dan tepat sasaran.
Proyek e-KTP yang memiliki anggaran sekitar Rp5,9 triliun, potensi kerugian negara yang mencapai Rp2,3 triliun tersebut menggambarkan betapa besar dampak dari korupsi yang terjadi. Kasus ini, digambarkan sebagai 'megakorupsi', menyoroti pentingnya implementasi sistem yang lebih transparan dan akuntabel dalam setiap tahap penganggaran dan pengadaan barang atau jasa pemerintah, untuk mencegah kerugian negara yang lebih besar di masa depan.
Selanjutnya, kasus korupsi yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan, yaitu kasus korupsi PT Timah Tbk yang menyeret suami aktris terkenal Indonesia, Harvey Moeis. Berikut penerapan penyebab kasus korupsi PT Timah Tbk dengan pendekatan Jack Bologna:
1.Ketamakan (Greed)
Para tersangka dalam kasus ini, termasuk ALW selaku Direktur Operasi), MRPT selalu Direktur Utama) dan EE selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk menunjukkan ketamakan yang kuat terhadap keuntungan finansial pribadi. Mereka menyadari adanya peluang untuk memperoleh lebih banyak keuntungan dengan cara membeli hasil penambangan ilegal melebihi harga standar, meskipun mereka mengetahui bahwa penambangan tersebut melanggar hukum. Keinginan untuk memperoleh lebih banyak kekayaan dan mempertahankan posisi mereka di perusahaan mendorong mereka untuk terlibat dalam korupsi ini.
2.Peluang (Opportunity)
Kesempatan untuk melakukan tindakan korupsi timbul dari lemahnya pengawasan dan kontrol dalam proses bisnis PT Timah, khususnya terkait pengadaan bijih timah. Melihat pasokan bijih PT Timah Tbk lebih sedikit dibandingkan smelter swasta karena banyaknya penambangan ilegal, para para petinggi PT Timah Tbk, tersangka ALW selaku Direktur Operasi, MRPT selalu Direktur Utama dan EE selaku Direktur Keuangan yang seharusnya menindak aktivitas tersebut, justru memanfaatkan situasi tersebut dengan mengambil langkah melanggar hukum, seperti menjalin kerja sama ilegal dengan penambang liar melalui perusahaan-perusahaan boneka dan menyusun kontrak kerja sama yang tidak transparan untuk mengakomodasi pasokan bijih timah ilegal.
3.Kebutuhan (Need)
Kebutuhan tersangka dalam hal ini lebih mengarah pada pemenuhan ambisi pribadi dan profesional, seperti mempertahankan kekuasaan, memperbesar keuntungan perusahaan, serta memenuhi gaya hidup yang mewah. Mereka mungkin merasa bahwa berkolaborasi dengan smelter untuk membeli hasil penambangan ilegal adalah cara untuk memenuhi kebutuhan finansial mereka, meskipun tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip etika dan hukum. Seperti salah satu tersangka, Harvey Moeis yang menggunakan uang hasil perbuatan legal tersebut untuk memenuhi gaya hidup mewahnya dengan membeli sejumlah bangunan dan bidang tanah di daerah Jakarta. Tidak hanya digunakan untuk transaksi di dalam negeri, Harvey juga menggunakannya untuk membayar sewa sebuah rumah di Malvern Oasis Melbourne, Australia senilai Rp5,76 miliar hingga pembelian tas bermerek sebanyak 88 buah, 141 perhiasan serta menyimpan uang dan logam mulia menggunakan Safe Deposite Box (SDB) di Bank CIMB Niaga atas nama Sandra Dewi, istrinya.
4.Pengungkapan (Exposure)
Persekongkolan antara PT. Timah dengan pengusaha tambang ilegal, termasuk pembelian pasokan timah di atas harga standar yang melibatkan prosedur tidak sah menunjukkan bagaimana perusahaan negara dapat terlibat langsung dalam memfasilitasi pelanggaran hukum bersama pihak swasta yang seharusnya ditindak tegas. Yuris Rezha Kurniawan, Peneliti Pusat Kajian AntiKorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menyoroti berbagai modus korupsi di sektor ini, seperti suap untuk memperoleh izin dan manipulasi data produksi guna mengurangi penerimaan negara.
Kasus dugaan korupsi PT. Timah yang melibatkan praktik tambang ilegal mencerminkan persoalan struktural dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Menurut Yuris, hal ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengawasi kegiatan pertambangan ilegal yang seharusnya menjadi prioritas untuk dijaga dan diawasi. Selain itu, aparat penegak hukum justru dianggap memberikan ruang atau "karpet merah" bagi aktivitas bisnis yang melanggar hukum. Sulitnya pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam ini disebabkan oleh lemahnya sistem pengawasan pemerintah dan penegakan hukum yang lebih cenderung berpihak pada kepentingan bisnis daripada prinsip keadilan. Kasus ini menjadi cerminan perlunya reformasi mendalam dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk pengawasan dan penegakan hukum yang lebih tegas serta transparan.
Korupsi menjadi masalah besar yang mengancam kesejahteraan masyarakat Indonesia. Berdasarkan data dari Transparency International Indonesia, sekitar 30-40 persen dari APBN dan APBD hilang akibat korupsi (Zaenudin et al., 2018). Pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah tercatat sebagai kasus korupsi terbesar, mencapai 70 persen. Presiden Indonesia ke-7, Joko Widodo menegaskan bahwa korupsi tidak hanya merugikan finansial negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap kemanusiaan (Suyatmiko, 2021). Untuk mengatasi masalah ini, beliau mengatakan penggunaan sistem e-government dalam birokrasi yang lebih efisien sehingga dapat memperbaiki pelayanan publik dan memperkuat transparansi serta akuntabilitas pemerintahan. Beliau juga menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam mendorong perubahan sosial sebagai kunci pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Memberantas korupsi di Indonesia memerlukan upaya berkelanjutan yang melibatkan semua pihak. KPK mengimplementasikan tiga strategi utama dalam pemberantasan korupsi, yaitu Penindakan, Pencegahan, dan Pendidikan.
1.Penindakan: Strategi ini berfokus pada penindakan koruptor melalui proses hukum, dimulai dari laporan masyarakat, penyelidikan, penyidikan, hingga eksekusi putusan pengadilan. Pengaduan masyarakat sangat penting dalam proses ini dan KPK memperkuat sistem whistleblowing untuk mendorong pelaporan tindak pidana korupsi.
2.Pencegahan: KPK berupaya memperbaiki sistem yang membuka peluang terjadinya korupsi, seperti proses pelayanan publik yang rumit atau perizinan yang bisa disalahgunakan. Pencegahan dilakukan dengan memberikan rekomendasi perbaikan kepada kementerian atau lembaga terkait, serta mendorong transparansi melalui sistem online dan pengawasan terintegrasi.
3.Pendidikan: KPK mengedukasi masyarakat mengenai dampak korupsi dan pentingnya budaya antikorupsi melalui kampanye dan program pendidikan. Salah satu langkah konkret adalah pengenalan mata kuliah pendidikan antikorupsi di perguruan tinggi dan penyuluhan kepada anak-anak, dengan harapan melahirkan generasi yang bebas dari korupsi.
Daftar PustakaÂ
Risky Putra, Nandha., Rosa Linda. 2022. Korupsi di Indonesia: Tantangan perubahan sosial. Integritas: Jurnal Antikorupsi, 8 (1), 17.Â
Wahyu Widiastuti, Tri. 2009. Korupsi Dan Upaya Pemberantasannya. Jurnal Wacana Hukum, 8 (2), 109-110.Â
Setiawan,Irfan., Christin Pratami Jesaja. 2022. Analisis Perilaku Korupsi Aparatur Pemerintah Di Indonesia (Studi pada Pengelolaan Bantuan Sosial Di Era Pandemi Covid-19). Jurnal Media Birokrasi, 4 (2), 36-37.
Visual Interaktif Kompas. Jejak Korupsi e-KTP. https://vik.kompas.com/korupsi-e-ktp/
Diakses pada 12 Nov 2024
BBC News Indonesia. 20 Maret 2017. Sri Mulyani: Dua hal bisa cegah korupsi seperti kasus e-KTP. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39329629
Diakses pada 12 Nov 2024Â
Shanie Leticia. 20 Juni 2023. MAHASISWA BERSUARA: Mencari Hukuman Setimpal untuk Koruptor. https://bandungbergerak.id/article/detail/15703/mahasiswa-bersuara-mencari-hukuman-setimpal-untuk-koruptor
Diakses pada 12 Nov 2024Â
Lizsa Egeham. 17 Sep 2018. Sel Mewah Setya Novanto di Lapas Sukamiskin. https://www.liputan6.com/news/read/3645369/sel-mewah-setya-novanto-di-lapas-sukamiskin
Diakses pada 12 Nov 2024Â
Story Kejaksaan. Usai Hm Jadi Tersangka Korupsi Timah, Giliran Komisaris PT RBT Diperiksa Kejagung. https://story.kejaksaan.go.id/hot-issue/usai-hm-jadi-tersangka-korupsi-timah-giliran-komisaris-pt-rbt-diperiksa-kejagung-107439-mvk.html?screen=1
Diakses pada 12 Nov 2024Â
Inspektorat Kota Banda Aceh. Trisula Strategi Pemberantasan Korupsi KPK untuk Indonesia Bebas Korupsi. 15 Mei 2024. https://inspektorat.bandaacehkota.go.id/2024/05/15/trisula-strategi-pemberantasan-korupsi-kpk-untuk-indonesia-bebas-korupsi/
Diakses pada 12 Nov 2024
Gusti Grehenson. 2 April 2024. Pukat UGM: Kasus Korupsi Timah Tunjukkan Lemahnya Pengawasan Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum. https://ugm.ac.id/id/berita/pukat-ugm-kasus-korupsi-timah-tunjukkan-lemahnya-pengawasan-pemerintah-dan-aparat-penegak-hukum/
Diakses pada 12 Nov 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H